Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Kesalahan medis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius dan mengancam keselamatan pasien. Kesalahan medis dapat terjadi melalui tindakan; omission yakni tidak melakukan sesuatu yang harusnya dilakukan (misalnya mis-diagnosis, terlambat bertindak, tidak melakukan pertolongan), dan commision yaitu melakukan sesuatu yang harusnya tidak dilakukan (misalnya tindakan keliru, obat salah, tindakan/ prosedur yang salah).

Error yang terjadi juga dapat disebabkan oleh human error, meliputi Resiko Lapse dan slips. Slips merupakan error sebagai akibat kurang, atau tak mengambil tindakan/ lalai dalam melakukan tindakan, misalnya lupa melakukan upaya medik, sedangkan Lapses error yang terkait dengan kegagalan memori lupa/ tidak ingat, misalnya keliru memutar knob pada suatu alat medik.

Dalam sebuah penelitian yang dikemukakan oleh (Brenan. Et al, 1991) menyatakan bahwa sebagian besar cedera pada pasien dari manajemen medis dikarenakan oleh cedera dari hasil perawatan di bawah standar. Risiko juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang bisa terjadi atau akan terjadi, misalnya pada hasil laboratorium bahwa hasil yang didapatkan tidak bisa sempurna 100% karena masih ada kemungkinan hasil tersebut bisa akurat maupun tidak akurat.

Terkadang kita hanya terjebak dengan mengenali risiko yang bersifat fisik saja, sedangkan masih ada error lainnya yang dapat mencakup masalah dalam praktek, prosedur, dan sistem. Di bawah ini lingkup manajemen risiko dalam pelayanan kesehatan (Kemkes RI, 2018):

  1. Risiko yang terkait dengan pelayanan pasien atau kegiatan pelayanan kesehatan: adalah risiko yang mungkin dialami oleh pasien atau sasaran kegiatan UKM, atau masyarakat akibat pelayanan yang disediakan oleh FKTP, misalnya: risiko yang dialami pasien ketika terjadi kesalahan pemberian obat.
  2. Risiko yang terkait dengan petugas klinis yang memberikan pelayanan: adalah risiko yang mungkin dialami oleh petugas klinis ketika memberikan pelayanan, misalnya perawat tertusuk jarum suntik sehabis melakukan penyuntikan.
  3. Risiko yang terkait dengan petugas non klinis yang memberikan pelayanan: adalah risiko yang mungkin dialami petugas non klinis, seperti petugas laundry, petugas kebersihan, petugas sanitasi, petugas lapangan ketika melaksanakan kegiatan pelayanan.
  4. Risiko yang terkait dengan sarana tempat pelayanan: adalah risiko yang mungkin dialami oleh petugas, pasien, sasaran kegiatan pelayanan, masyarakat, maupun lingkungan akibat fasilitas pelayanan.
  5. Risiko finansial: adalah risiko kerugian finansial yang mungkin dialami oleh FKTP akibat pelayanan yang disediakan.
  6. Risiko lain diluar 5 (lima) risiko di atas: adalah risiko-risiko lain yang tidak termasuk pada lingkup risiko a. sampai dengan e., misalnya kecelakaan ambulans, kecelakaan kendaraan dinas yang digunakan.

Selain hal di atas, kita dapat mengenali tipe error berdasarkan 4 tipe error menurut (Linda T. Et al, 2000) meliputi:

  1. Diagnostik
    • Kesalahan atau keterlambatan dalam diagnosis
    • Gagal menggunakan tes yang ditunjukkan
    • Penggunaan tes atau terapi yang ketinggalan zaman
    • Kegagalan dalam bertindak berdasarkan hasil pemantauan atau pengujian
  2. Pengobatan
    • Kesalahan dalam kinerja operasi, prosedur, atau pengujian
    • Kesalahan dalam mengelola perawatan
    • Kesalahan dalam dosis atau metode penggunaan obat
    • Keterlambatan dalam perawatan atau dalam menanggapi tes abnormal
    • Perawatan yang tidak pantas (tidak diindikasikan)
  3. Pencegahan
    • Gagal memberikan pengobatan profilaksis
    • Pemantauan atau tindak lanjut pengobatan yang tidak memadai
  4. Lain
    • Kegagalan komunikasi
    • Kegagalan peralatan
    • Kegagalan sistem lainnya

Meskipun demikian, terdapat beberapa situasi/ kondisi yang memudahkan terjadi medical error yakni Tekanan waktu, Lingkungan kerja yang tidak menentu, Beban kerja yang tinggi, Menghadapi situasi, alat, kasus yang belum pernah sebelumnya, Kesibukan yang tinggi sehingga kurang istirahat, Tuntutan kecepatan dalam menangani kasus setiap saat, Petunjuk yang meragukan/tidak tepat, Terlalu percaya diri, Komunikasi yang tidak memadai, Lingkungan kerja dengan stress tinggi.

Disarikan oleh: Andriani Yulianti, MPH (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK-KMK UGM)

Sumber:

  • Brenan. Et al, 1991. Incidence of Adverse Events and Negligence in Hospitalized Patients — Results of the Harvard Medical Practice Study I; 324:370-376 DOI: 10.1056/NEJM199102073240604.
  • Leape. Et al, 1991. The Nature of Adverse Events in Hospitalized Patients — Results of the Harvard Medical Practice Study I; 324:377-384.DOI: 10.1056/NEJM199102073240605.
  • Linda T. Et al, 2000. Institute medicine “to error is human” building safer health system, Committee on Quality of Health Care in America, Institute of Medicine.
  • Kementerian Kesehatan RI, 2018. Pedoman Keselamatan Pasien dan Manajemen Resiko FKTP, Jakarta: Kementerian Kesehatan.

 

 

Dalam upaya menjaga program kesehatan dan gizi ibu dan anak di Indonesia selama pandemi COVID-19, telah dilakukan sebuah kegiatan yang merupakan kerjasama antara Kementerian Kesehatan RI dengan Universitas Gadjah Mada, beserta 20 Universitas mitra lainnya di seluruh Indonesia dengan menerapkan sistem online untuk mengevaluasi dampak pandemi penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) terhadap pelayanan kesehatan esensial dan gizi ibu dan anak di Indonesia.

Penelitian ini dilakukan oleh Helmyati S., dkk 2022 yang mengembangkan sistem pemantauan dan evaluasi elektronik untuk membantu Dinas Kesehatan Kabupaten dalam membuat penilaian cepat tentang dampak COVID-19 pada program kesehatan dan gizi ibu dan anak di wilayah mereka, dan dalam mengembangkan respons kebijakan dan program. Penelitian implementasi ini dilaksanakan pada bulan September hingga Desember 2020 di 304 Kecamatan. Strategi tersebut terdiri dari bantuan teknis untuk Dinas Kesehatan oleh 21 Universitas mitra dan mengembangkan dashboard online untuk analisis dan pelaporan situasi yang cepat.

Peneliti dilakukan dengan mengumpulkan data kualitatif tentang kelayakan dan kepatuhan terhadap intervensi, serta data kuantitatif dari database kesehatan rutin untuk menganalisis dampak COVID-19 pada indikator kesehatan dan gizi ibu dan anak. Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan sebagian besar Kabupaten, layanan kesehatan dan gizi utamanya ibu dan anak terkena dampak sedang atau parah oleh pandemi, khususnya layanan pemantauan pertumbuhan anak dan perawatan antenatal. Kepatuhan terhadap protokol intervensi bervariasi di seluruh Kabupaten, sistem ini merupakan pendekatan yang layak untuk ditingkatkan ke wilayah lain dan program kesehatan. Disimpulkan bahwa sistem monitoring dan evaluasi elektronik dapat diterapkan dan dilengkapi dengan beberapa modifikasi untuk mengakomodasi Dinas Kesehatan Kabupaten dan Universitas, serta terdapat potensi untuk meningkatkan intervensi ini dengan perencanaan dan pelatihan implementasi yang lebih baik.

Baca lebih lanjut di link berikut https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/35125539/ 

 

Wabah Pandemi COVID-19 di awal tahun 2020 telah membebani tenaga kesehatan, diantaranya petugas surveilans yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan kegiatan surveilans penyakit secara rutin. Menurut Pelaporan Tahunan International Health Regulation State Party Annual Reporting (IHR SPAR) temuan di 182 negara, banyak negara tidak siap untuk menghadapi pandemi selanjutnya.

Perlu kesiapan yang diukur dengan lima aspek: (i) pencegahan, (ii) deteksi, (iii) respon, (iv) ketersediaan fasilitas pendukung, dan (v) kesiapan operasional. Satu faktor krusial yang digunakan untuk menilai kesiapan suatu wilayah/negara dalam menghadapi pandemi adalah tersedianya data dan informasi kesehatan yang memadai. Data tersebut sangat penting untuk penyediaan layanan kesehatan dan pengambilan keputusan pemerintah selama krisis. Pentingnya transparansi data kesehatan sebelum dan selama pandemi meningkatkan kesiapan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam mengembangkan pendekatan berbasis ilmu pengetahuan untuk mengendalikan wabah.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hardhantyo M, dkk 2022 yakni mendeskripsikan kualitas pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) untuk surveilans penyakit menular yang berpotensi Kejadian Luar Biasa (KLB) dan mengukur beban kualitas pelaporan surveilans penyakit sebelum dan selama epidemi COVID-19 di Indonesia. Pendekatan yang digunakan adalah mix methode. Sebanyak 38 informan dari Dinas Kesehatan Daerah mengikuti Focus Group Discussion (FGD) dan In-Depth Interview (IDI) yang dilakukan bersama dengan informan dari Kementerian Kesehatan. FGD dan IDI dilakukan dengan menggunakan komunikasi video online. Kemudian data kelengkapan dan ketepatan laporan SKDR dari 34 provinsi dikumpulkan dari aplikasi. Data kualitatif data dianalisis secara tematis dan data kuantitatif dianalisis secara deskriptif.

Dalam penelitian ini ditemukan adanya kesenjangan dalam melaksanakan surveilans penyakit yang berpotensi KLB pada SKDR, yaitu pada aspek sumber daya manusia dan infrastruktur daerah yang tidak terdistribusi secara merata. Dari data pelaporan nasional 2017–2019 menunjukkan tren yang meningkat pada kelengkapan (55%, 64%, dan 75%) dan ketepatan laporan (55%, 64%, dan 75%). Namun, pada tahun 2020 kualitas pelaporan turun menjadi 53% dan 34% seiring dengan adanya Pandemi COVID-19. Dapat disimpulkan bahwa kelengkapan dan ketepatan laporan SKDR kemungkinan besar terkait dengan ketidakmerataan infrastruktur regional dan Epidemi COVID-19. Disarankan untuk meningkatkan kapasitas laporan dengan aplikasi SKDR otomatis pada sistem di rumah sakit dan laboratorium.

Baca selengkapnya: https://www.mdpi.com/1660-4601/19/5/2728/htm

 

 

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan bagi sumber daya manusia rumah sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan rumah sakit melalui upaya pencegahan kecelakan kerja dan penyakit akibat kerja di rumah sakit1. Saat ini, tuntutan pengelolaan program K3 di Rumah Sakit (K3RS) semakin tinggi karena pekerja, pengunjung, pasien dan masyarakat sekitar Rumah Sakit ingin mendapatkan perlindungan dari gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja, baik sebagai dampak proses kegiatan pemberian pelayanan maupun karena kondisi sarana dan prasarana yang ada di Rumah Sakit yang tidak memenuhi standar.

K3 merupakan instrumen yang memproteksi pekerja, fasilitas kesehatan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh Institusi pelayanan kesehatan. Oleh karena itu penting bagi setiap RS menyelenggarakan K3RS yang bertujuan agar terselenggaranya K3 di Rumah Sakit secara optimal, efektif, efisien dan berkesinambungan sehingga setiap Rumah Sakit wajib menyelenggarakan K3RS, meliputi membentuk dan mengembangkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Rumah Sakit dan menerapkan standar K3RS.

Diketahui bahwa Rumah Sakit merupakan tempat kerja yang padat karya, pakar, modal, dan teknologi, namun keberadaan Rumah Sakit juga memiliki dampak negatif terhadap timbulnya penyakit dan kecelakaan akibat kerja, bila Rumah Sakit tersebut tidak melaksanakan prosedur K3. Oleh sebab itu, dalam impelementasinya RS perlu membuat kebijakan tertulis dari pimpinan Rumah Sakit, menyediakan organisasi K3RS, melakukan sosialisasi K3RS pada seluruh jajaran Rumah Sakit, membudayakan perilaku K3RS, Meningkatkan SDM yang profesional dalam bidang K3 di masing-masing unit kerja di Rumah Sakit; dan Meningkatkan Sistem Informasi K3RS.

Penerapan K3RS ini tidak hanya dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost) bagi institusi, melainkan dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan di masa yang akan datang, dan pemerintah telah hadir memberikan arahan melalui peraturan Menteri Kesehatan RI No. 66 tahun 2016 yang menetapkan standar penerapan K3 untuk Rumah Sakit untuk dapat di implementasikan di masing-masing RS, serta Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1087/Menkes/SK/Viii/2010 Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Di Rumah Sakit.

Perlunya implemetasi K3RS karena kita menyadari bahwa terdapat bahaya-bahaya potensial di Rumah Sakit yakni disebabkan oleh faktor biologi (virus, bakteri, jamur, parasit); faktor kimia (antiseptik, reagent, gas anestesi); faktor ergonomi (lingkungan kerja,cara kerja, dan posisi kerja yang salah); faktor fisik (suhu, cahaya, bising, listrik, getaran dan radiasi); faktor psikososial (kerja bergilir, beban kerja, hubungan sesama pekerja/atasan) yang dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja2. Secara global, menurut WHO dan ILO bahwa penyakit dan cedera yang terkait pekerjaan bertanggung jawab atas 1,9 juta kematian pada tahun 2016. Menurut Estimasi bersama antara WHO/ILO bahwa beban penyakit dan cedera terkait pekerjaan, selama tahun 2000-2016 dalam laporan pemantauan global menyatakan sebagian besar kematian terkait pekerjaan disebabkan oleh penyakit pernapasan dan kardiovaskular. Penyakit tidak menular menyumbang 81 persen dari kematian. Penyebab kematian terbesar adalah penyakit paru obstruktif kronik (450.000 kematian); stroke (400.000 kematian) dan penyakit jantung iskemik (350.000 kematian). Cedera kerja menyebabkan 19 persen kematian (360.000 kematian).

Studi ini mempertimbangkan 19 faktor risiko pekerjaan, termasuk paparan jam kerja yang panjang dan paparan tempat kerja terhadap polusi udara, asmagen, karsinogen, faktor risiko ergonomis, dan kebisingan. Risiko utama adalah paparan jam kerja yang panjang terkait sekitar 750.000 kematian. Paparan polusi udara di tempat kerja (partikel, gas, dan asap) bertanggung jawab atas 450.000 kematian. Laporan ini sekaligus sebagai panggilan/alarm untuk menghadirkan negara dan bisnis untuk meningkatkan dan melindungi kesehatan dan keselamatan pekerja dengan menghormati komitmen mereka untuk menyediakan cakupan universal layanan kesehatan dan keselamatan kerja.

Agar dapat memahami K3RS secara komprehensif maka manajemen rumah sakit diharapkan dapat memahami pentingnya pelaksanaan K3RS di Rumah Sakit, memahami penyelenggaraan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (SMK3RS), memahami Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit yang telah ditetapkan, memahami standar sumber daya manusia K3RS, memahami pentingnya pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan K3RS yang terintegrasi dengan sistem informasi manajemen Rumah Sakit, serta mampu mempersiapkan RS memenuhi standar Akreditasi RS mengenai penyelenggaraan K3RS sesuai dengan standar akreditasi yang telah ditetapkan.

Disarikan: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK-KMK UGM)

Sumber:

  1. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 66 tahun 2016 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit.
  2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:1087/Menkes/SK/Viii/2010 Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Di Rumah Sakit.
  3. WHO. (2021). Diakses dari: https://www.who.int/news/item/16-09-2021-who-ilo-almost-2-million-people-die-from-work-related-causes-each-year