Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Pemilihan dan pengumpulan data indikator mutu merupakan salah satu fokus pada standar peningkatan mutu dan keselamatan pasien dalam akreditasi Rumah Sakit. Pada penyelenggaraan mutu di RS dikatakan bahwa komite/tim mendukung proses pemilihan indikator dan melaksanakan koordinasi serta integrasi kegiatan pengukuran data indikator mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit. Beberapa indikator yang perlu disusun diantaranya Indikator Nasional Mutu (INM), Indikator Mutu Prioritas Rumah Sakit (IMP-RS), dan Indikator Mutu Prioritas di Unit (IMP-Unit).

Pemilihan indikator mutu prioritas rumah sakit adalah tanggung jawab pimpinan dengan mempertimbangkan prioritas untuk pengukuran yang berdampak luas/ menyeluruh di rumah sakit. Sedangkan kepala unit memilih indikator mutu prioritas di unit kerjanya. Semua unit klinis dan non klinis memilih indikator terkait dengan prioritasnya. Hal yang perlu diantisipasi oleh RS yang besar jika ada indikator yang sama yang diukur di lebih dari satu unit. Misalnya, Unit Farmasi dan Komite/Tim PPI memilih prioritas pengukurannya adalah penurunan angka penggunaan antibiotik di rumah sakit. Program mutu dan keselamatan pasien berperan penting dalam membantu unit melakukan pengukuran indikator yang ditetapkan.

Komite/Tim Penyelenggara Mutu juga bertugas untuk mengintegrasikan semua kegiatan pengukuran di rumah sakit, termasuk pengukuran budaya keselamatan dan sistem pelaporan insiden keselamatan pasien. Integrasi semua pengukuran ini akan menghasilkan solusi dan perbaikan yang terintegrasi. Adapun peran dari komite/tim penyelenggara mutu yakni: 1) terlibat dalam pemilihan indikator mutu prioritas baik ditingkat rumah sakit maupun tingkat unit layanan. 2) Penyelenggara mutu melaksanakan koordinasi dan integrasi kegiatan pengukuran serta melakukan supervisi ke unit layanan, dan 3) Mengintegrasikan laporan insiden keselamatan pasien, pengukuran budaya keselamatan, dan lainnya untuk mendapatkan solusi dan perbaikan terintegrasi.

Pengumpulan data indikator mutu dilakukan oleh staf pengumpul data yang sudah mendapatkan pelatihan tentang pengukuran data indikator mutu. Pengumpulan data indikator mutu berdasarkan peraturan yang berlaku yaitu pengukuran indikator nasional mutu (INM) dan prioritas perbaikan tingkat rumah sakit meliputi:

  1. Pengumpulan Indikator nasional mutu (INM) yaitu indikator mutu nasional yang wajib dilakukan pengukuran dan digunakan sebagai informasi mutu secara nasional, diantaranya:
    1. Kepatuhan kebersihan tangan
    2. Kepatuhan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
    3. Kepatuhan identifikasi pasien
    4. Waktu tanggap seksio sesarea emergensi
    5. Waktu tunggu rawat jalan
    6. Penundaan operasi elektif
    7. Kepatuhan waktu visite dokter penanggung jawab pelayanan
    8. Pelaporan hasil kritis laboratorium
    9. Kepatuhan penggunaan formularium nasional
    10. Kepatuhan terhadap clinical pathway
    11. Kepatuhan upaya pencegahan risiko pasien jatuh
    12. Kecepatan waktu tanggap terhadap complain
    13. Kepuasan pasien dan keluarga
  2. Indikator mutu prioritas RS (IMP-RS)
    1. Indikator Sasaran Keselamatan Pasien (minimal 1 untuk tiap sasaran)
    2. Indikator Pelayanan Klinis Prioritas (minimal 1)
    3. Indikator Tujuan Strategis RS  KPI (minimal 1)
    4. Indikator Perbaikan Sistem (minimal 1)
    5. Indikator Manajemen Risiko (minimal 1)
    6. Indikator Penelitian Klinis & Program Pendidikan Kedokteran (minimal1, apabila ada)
    7. Indikator mutu prioritas unit (IMP-Unit)
  3. Indikator mutu prioritas unit (IMP-Unit) adalah indikator prioritas yang khusus dipilih kepala unit terdiri dari minimal 1 indikator.

Indikator mutu terpilih apabila sudah tercapai dan dapat dipertahankan selama 1 (satu) tahun, maka dapat diganti dengan indikator mutu yang baru. Setiap indikator mutu baik indikator mutu prioritas rumah sakit (IMP-RS) maupun indikator mutu prioritas unit (IMP-Unit) agar dilengkapi dengan profil indikator sebagai berikut:

  1. Judul indikator.
  2. Dasar pemikiran.
  3. Dimensi mutu.
  4. Tujuan.
  5. Definisi operasional.
  6. Jenis indikator.
  7. Satuan pengukuran.
  8. Numerator (pembilang).
  9. Denominator (penyebut).
  10. Target.
  11. Kriteria inklusi dan eksklusi.
  12. Formula.
  13. Metode pengumpulan data.
  14. Sumber data.
  15. Instrumen pengambilan data.
  16. Populasi/sampel (besar sampel dan cara pengambilan sampel).
  17. Periode pengumpulan data.
  18. Periode analisis dan pelaporan data.
  19. Penyajian data.
  20. Penanggung jawab.

 

Disarikan Oleh: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK-KMK UGM)

Sumber: Kementerian Kesehatan RI. 2022. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/1128/2022 Tentang Standar Akreditasi Rumah Sakit.

 

 

Clinical Pathway adalah suatu alur proses kegiatan pelayanan pasien yang spesifik untuk suatu penyakit atau tindakan tertentu mulai dari pasien masuk sampai pasien pulang yang merupakan integrasi dari pelayanan medis, pelayanan keperawatan, pelayanan farmasi dan pelayanan kesehatan lainnya. Clinical Pathway atau biasa disebut Critical Care Pathway, Integrated Care pathway (ICP), Coordinated care pathway, Caremaps®, atau Anticipated recovery pathway bukan hanya merupakan pedoman pelayanan medis karena setiap kasus dalam Clinical Pathway dibuat berdasarkan standar prosedur dari setiap profesi yang mengacu pada standar pelayanan dari profesi masing-masing, disesuaikan dengan strata sarana pelayanan rumah sakit.

Dengan penyusunan Clinical Pathway maka Manajemen Rumah Sakit dapat memanfaatkannya sebagai tools untuk meningkatkan mutu dan mengendalikan biaya. Namun demikian RS sering menghadapi kendala teknis dalam penyusunan, penerapan dan evaluasi clinical pathways, yang disamping disyaratkan oleh standar akreditasi RS namun juga diperlukan untuk memastikan clinical pathways memberikan manfaat. Adapun manfaat yang didapatkan dari implementasi clinical pathways selain adanya peningkatan mutu pelayanan yang standar berdasarkan studi kedokteran berbasis bukti, adalah efisiensi biaya.

Clinical pathway dapat memberikan cara bagaimana mengembangkan dan mengimplementasikan clinical guideline kedalam protokol local (yang dapat dilakukan). Clinical pathway juga menyediakan cara untuk mengidentifikasi alasan mengapa terjadi sebuah variasi yang tidak dapat diidentifikasi melalui audit klinik. Clinical pathway juga merupakan alat dokumentasi primer yang menjadi bagian dari keseluruhan proses dokumentasi pelayanan dari penerimaan hingga pemulangan pasien. Secara umum menurut Vanhaect et al, 2007 bahwa clinical pathway dapat meningkatkan kualitas pelayanan dari awal sampai akhir yakni Meningkatkan risk adjusted patient outcome, Mempromosikan keselamatan pasien, Meningkatkan kepuasan pasien, Mengoptimalkan penggunaan sumber daya.

Adapun menurut Pearson et al., 1995 dan Wright & Hill, 2003 clinical pathway bermanfaat a) memilih pelayanan kesehatan terbaik, b) menetapkan standar lamanya hari perawatan, prosedur pemeriksaan klinik dan jenis penalataksanaannya, c) menilai hubungan antara berbagai tahap dan membantu proses koordinasi, d) memberikan pedoman kepada seluruh staf RS termasuk tentang variasi, e) menyediakan kerangka kerja pengumpulan data, f) menurunkan beban dokumentasi dokter, g) meningkatkan kepuasan pasien melalui edukasi. Proses penyusunan clinical pathway memerlukan kerja sama antar departemen yang baik seperti dari tim medis (dokter), keperawatan dan farmasi.

Perpaduan ini kemudian disesuaikan dengan algoritma atau panduan berbasis bukti dari organisasi profesi dan literatur, Standar Pelayanan Medis, Standar Prosedur Operasional dan Daftar Standar Formularium untuk tindakan dan pengobatan. Standar pelayanan pada tingkat nasional dibuat dengan adanya Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan kemudian diadaptasi menjadi Panduan Praktis Klinis (PPK) yang menyesuaikan dengan keadaan setempat. Clinical pathway yang merupakan pelaksanaan langkah demi langkah ini dapat dimasukkan ke dalam PPK.

Clinical pathway dibuat dengan mengintegrasikan panduan klinis terhadap suatu penyakit tertentu yang dibuat oleh organisasi profesi dan literatur berdasarkan studi berbasis bukti. Hal ini kemudian disesuaikan dengan keadaan setempat dan dibutuhkan kolaborasi berbagai bidang (dokter, keperawatan dan farmasi dll). Clinical pathway yang disusun diprioritaskan berdasarkan high volume, high risk dan high outcome. Bagi RS yang akan menggunakan clinical pathways sebagai alat kendali mutu pelayanan kesehatan harus benar-benar merencanakan, menyusun, menerapkan dan mengevaluasi clinical pathways secara sistematis.

Saat ini Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK FK-KMK UGM) secara rutin menyelenggarakan bimbingan teknis untuk memfasilitasi Rumah Sakit diseluruh indonesia dalam menyusun, menerapkan dan mengevaluasi clinical pathways. Peserta akan dilatih menetapkan topik spesifik clinical pathways yang akan disusun sesuai dengan diagnosa ICD X atau tindakan ICD IX, kemudian menetapkan siapa saja yang ada dalam tim tersebut, yang dapat terdiri dari para dokter dan perawat serta PPA lainnya yang terlibat langsung dalam pelayanan klinis sesuai topik yang diangkat, peserta juga akan dilatih memilih Standar Pelayanan Kedokteran, Standar Asuhan Keperawata dan Standar Asuhan PPA lainnya sesuai topik yang diambil, kemudian peserta akan diarahkan menggunakan format clinical pathways yang telah disediakan lalu menuliskan dan mengintegrasikan seluruh standar kedalam format clinical pathways. Pada akhir pelatihan peserta juga akan dibekali cara melakukan evaluasi dengan audit klinik mulai dari pemilihan topik, penetapan kriteria, pengumpulan data, cara menganalisa data, menetapkan dan melaksanakan perubahan hingga re-audit. Info lebih lengkap dapat menghubungi Andriani Yulianti (WA 081328003119) atau email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it..

Disarikan oleh: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK-KMK UGM)

Sumber: Hanevi Djasri (2022). Clinical Pathways: Konsep Dasar, Proses Penyusunan, Penerapan dan Evaluasi [Presentasi PowerPoint].

 

oleh: Hanevi Djasri

Tanggal 1 dan 2 Juni 2022, PERSI Pusat mengadakan acara sosialisasi standar akreditasi rumah sakit yang baru saja ditetapkan oleh Kemenkes. Sosialisasi daring tersebut diikuti dengan antusias oleh lebih dari 2.400 peserta dan video youtube-nya telah ditonton lebih dari 16.000 pemirsa dalam waktu tidak sampai 12 jam, sungguh luar biasa.

Semangat tersebut diharapkan tetap tinggi pada tahap penerapan standar akreditasi, yang terdiri dari kegiatan membangun kebulatan tekad bersama, memperdalam pemahaman persyaratan akreditasi, melakukan baseline assessment, menetapkan rencana penerapan dan sistem pemantauan kemajuan akreditasi, membentuk tim fasilitator dan pelaksana, serta menyusun, melaksanakan, dan meningkatkan efektifitas berbagai kebijakan dan prosedur.

Berbagai upaya pemenuhan standar akreditasi yang menguras sumber daya RS dan memakan waktu berbulan-bulan tersebut akan dinilai oleh para “penyurvei” (menggunakan istilah baku dalam KBBI) dari lembaga independen penyelenggara akreditasi dalam waktu 3 sampai 4 hari saja. Sehingga penting bagi pimpinan RS memilih dengan bijaksana lembaga akreditasi yang akan melakukan penilaian.

Saat ini terdapat 6 lembaga independen penyelenggara akreditasi RS dengan berbagai akronim yang hampir mirip KARS, LAFKI, LARS-DHP, LARS, LAM-KPRS, LARSI. Pimpinan RS bebas memilih sebebas-bebasnya (dan memang tidak boleh dipaksa baik secara halus apalagi terang-terangan) lembaga yang akan diminta menilai RS yang dipimpinnya, namun ternyata tidak mudah memilih yang terbaik.

The International Society for Quality in Healthcare (ISQua) telah memberikan kiat jitu memilih lembaga akreditasi terbaik. ISQua adalah komunitas internasional untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien termasuk dengan membentuk External Evaluation Association (ISQua-EEA) sebagai asosiasi lembaga evaluasi eksternal yang kemudian mengembangkan pedoman dan standar bagi lembaga evaluasi eksternal (termasuk lembaga akreditasi).

Berdasarkan beberapa kriteria inti dari ISQua-EAA, cara memilih lembaga akreditasi terbaik adalah dengan menilai berbagai aspek dibawah ini:

  1. Tatakelola: Pilihlah lembaga akreditasi yang telah berupaya mencegah dan memastikan bebas dari kemungkinan konflik kepentingan, memiliki kejelasan tatakelola organisasi yang meliputi: susunan organisasi, masa jabatan, mekanisme pengangkatan, dan uraian tugas setiap pengelola, serta jalur akuntabilitas yang melibatkan pemangku kepentingan di luar lembaga.
  2. Manajemen strategi, operasional, dan keuangan: Pilihlah lembaga akreditasi yang memiliki kejelasan rencana strategis, disusun dengan melibatkan para pemangku kepentingan (termasuk wakil pengelola RS), dilengkapi dengan tujuan dan sasaran yang dapat dicapai dan terukur.
  3. Manajemen risiko dan peningkatan mutu: Pilihlah lembaga akreditasi dengan sistem manajemen keluhan yang baik, yaitu lembaga yang: menjelaskan prosedur pengajuan komplain baik oleh pengelola RS, penyurvei, dan pemangku kepentingan lainnya, memiliki kerangka waktu yang jelas dalam menindaklanjuti keluhan, memastikan adanya umpan balik kepada pelapor, serta menggunakan temuan dari keluhan untuk peningkatan kualitas berkelanjutan.
  4. Manajemen SDM: Pilihlah lembaga akreditasi yang memiliki program orientasi bagi staf baru (termasuk para penyurvei), sehingga para staf mereka memahami dengan baik misi, visi, nilai, strategi, layanan, dan struktur lembaga mereka, serta prosedur kesehatan dan keselamatan, termasuk peran dan tanggung jawab mereka.
  5. Manjemen informasi: Pilihlah lembaga akreditasi yang memiliki sistem teknologi informasi (TI) yang baik, yaitu informatif, ramah pengguna, selalu diperbaharui, dan dipelihara, serta terdapat mekanisme keamanan. Lembaga akreditasi juga harus memiliki proses untuk memastikan bahwa semua informasi: akurat, dapat diandalkan, dapat diakses sesuai dengan undang-undang yang relevan, dan dijaga kerahasiaannya.
  6. Manajemen penyurvei: Pilihlah lembaga akreditasi yang memiliki jumlah dan komposisi keterampilan penyurvei yang cukup untuk memastikan layanan survei yang diberikan berkualitas. Lembaga akreditasi juga harus mengangkat penyurvei melalui proses yang ketat dan transparan sesuai dengan kriteria seleksi berbasis kompetensi dan persyaratan dari lembaga akreditasi.
  7. Manajemen proses survei dan hubungan dengan pengelola RS: Pilihlah lembaga akreditasi yang menyediakan informasi lengkap tentang program penilaian akreditasi yang ditawarkan dan memiliki pengaturan untuk memastikan ketidakberpihakan serta menghindari konflik kepentingan dalam hubungan dengan pengelola RS.
  8. Pengelolaan status akreditasi: Pilihlah lembaga akreditasi yang setelah pemberian status akreditasi tetap memantau secara berkelanjutan kepatuhan pengelola RS terhadap standar dan upaya mereka untuk melakukan perbaikan. Lembaga akreditasi juga harus memiliki mekanisme untuk menindaklanjuti setiap permasalahan terkait RS yang telah terakreditasi.

Bagaimana cara pengelola RS memperoleh informasi dan menilai delapan aspek ini? Mudah, cukup cari, buka, dan pelajari website dari masing-masing lembaga akreditasi tersebut diatas.

Bagaimana kalau website-nya tidak ada atau tidak informatif? Mudah, nilai saja bahwa aspek tersebut diatas tidak terpenuhi. Kita berada di era informasi digital, bila informasi seperti itu tidak ada di website anggap saja memang tidak ada, “gitu aja kok repot”.

----

Hanevi Djasri, pada tahun 2005 menjadi anggota ISQua, tahun 2018 menjadi fellow ISQua

 

 

Lampiran: Usulan Instrumen Penilaian Lembaga Akreditasi oleh Pengelola RS

Aspek Penilaian Kode Lembaga Akreditasi
1 2 3 4 5 6
1. Tatakelola            
2. Manajemen strategi, operasional, dan keuangan            
3. Manajemen risiko dan peningkatan mutu            
4. Manajemen SDM            
5. Manjemen informasi            
6. Manajemen penyurvei            
7. Manajemen proses survei dan hubungan dengan pengelola RS            
8. Pengelolaan status akreditasi            
TOTAL Nilai            

Catatan:

  1. Penilaian dapat dilakukan dengan skala Likert 1-5
    • 1:tidak ada atau tidak ada informasi
    • 2:kurang baik
    • 3:cukup baik
    • 4:baik
    • 5:sangat baik
  2. Penilaian disarankan tidak hanya dilakukan oleh 1 orang tapi oleh tim
  3. Instrumen ini dapat dimodifikasi oleh masing-masing RS tergantung kebutuhan

 

 

Layanan dengan metode virtual kini sudah semakin banyak tersedia di tengah masyarakat. Peluang ini menjadi salah satu cara untuk meningkatkan akses masyarakat dalam mendapatkan layanan kesehatan, yang semakin berkembang sebagai dampak dari pandemi coronavirus 2019 (COVID-19). Layanan virtual tidak lagi dipandang sebagai suatu hal yang aneh bahkan sudah biasa dilakukan oleh masyarakat.

Sebuah perspektif mengenai seberapa aman layanan kesehatan virtual telah disampaikan oleh Horrison R & Manias E (2022) dalam jurnal International Journal for Quality in Health Care bahwa perawatan virtual telah menciptakan konteks pelayanan kesehatan dengan kompleksitasnya sebagai akibat dari pelayanan dengan sistem teknologi yang memerlukan model dan proses pelayanan yang baru. Komponen-komponen ini secara kolektif menciptakan lingkungan pelayanan yang tidak terduga.

Evaluasi model pelayanan virtual yang digunakan secara internasional menunjukkan bahwa risiko utama yakni terkait dengan menjaga kerahasiaan informasi pribadi atau sensitif dan memastikan akses yang adil pada layanan yang diberikan. Risiko-risiko tersebut khususnya berkaitan dengan individu yang mengalami ketidakadilan kesehatan yang ada; misalnya pada individu yang memiliki kebutuhan kesehatan dan sosial yang kompleks, literasi kesehatan yang rendah atau dari masyarakat dengan latar belakang berpenghasilan rendah. Horrison & Manias juga mengidentifikasi beberapa manfaat lainnya dan beberapa area yang berisiko dalam pelayanan kesehatan virtual terkait dengan keselamatan pasien berdasarkan bukti yang ada. Lebih lengkap publikasi artikel ini dapat di baca pada link berikut ini:

https://academic.oup.com/intqhc/article/34/2/mzac021/6560333