Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Akreditasi Pusat Kesehatan Masyarakat, Klinik, Laboratorium Kesehatan, Unit Transfusi Darah, Tempat Praktik Mandiri Dokter (TPMD), dan Tempat Praktik Mandiri Dokter Gigi (TPMDG) adalah pengakuan terhadap mutu pelayanan pusat kesehatan masyarakat, klinik, laboratorium kesehatan, unit transfusi darah, TPMD dan TPMDG setelah dilakukan penilaian bahwa pusat kesehatan masyarakat, klinik, laboratorium kesehatan, unit transfusi darah, TPMD dan TPMDG telah memenuhi standar akreditasi. Pengaturan Akreditasi bertujuan untuk meningkatkan dan menjamin mutu pelayanan dan keselamatan bagi pasien dan masyarakat; meningkatkan perlindungan bagi sumber daya manusia kesehatan dan Puskesmas, Klinik, Laboratorium Kesehatan, UTD, TPMD, dan TPMDG sebagai institusi; meningkatkan tata kelola organisasi dan tata kelola pelayanan di Puskesmas, Klinik, Laboratorium Kesehatan, UTD, TPMD, dan TPMDG; dan mendukung program pemerintah di bidang kesehatan.

Peraturan ini berisi ketentuan bagi lembaga penyelenggara akreditasi, tahapan kegiatan akreditasi, pendanaan penyelenggaraan akreditasi, pembinaan dan pengawasan, termasuk informasi mengenai peralihan bagi puskesmas dan klinik yang yang telah memiliki status Akreditasi berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2015 tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, Tempat Praktik Mandiri Dokter, dan Tempat Praktik Mandiri Dokter Gigi, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2015 tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, Tempat Praktik Mandiri Dokter, dan Tempat Praktik Mandiri Dokter Gigi.

Lampirkan Terkait:

 

 

 

Penyelenggaraan mutu dan keselamatan pasien merupakan proses kegiatan yang berkesinambungan (continuous improvement) yang dilaksanaan dengan koordinasi dan integrasi antara unit pelayanan dan komite-komite (Komite Medik, Komite Keperawatan, Komite/Tim PPI, Komite K3 dan fasilitas, Komite Etik, Komite PPRA, dan lain-lainnya). Oleh karena itu Direktur perlu menetapkan pengorganisasian Komite/Tim Penyelenggara Mutu yang bertugas membantu Direktur atau Kepala Rumah Sakit dalam mengelola kegiatan peningkatan mutu, keselamatan pasien, dan manajemen risiko di rumah sakit (STARKES, 2022).

Komite Mutu adalah unsur organisasi non struktural yang membantu kepala atau direktur rumah sakit dalam mengelola dan memandu program peningkatan mutu dan keselamatan pasien, serta mempertahankan standar pelayanan rumah sakit, yang memiliki keanggotaan paling sedikit terdiri atas tenaga medis; tenaga keperawatan; tenaga kesehatan lain; dan tenaga non kesehatan. Jumlah personil keanggotaan Komite Mutu akan disesuaikan dengan kemampuan dan ketersediaan sumber daya manusia yang ada di Rumah Sakit. Susunan organisasi dan keanggotaan penyelenggara mutu di RS yakni paling sedikit terdiri atas ketua, sekretaris; dan anggota. Dimana ketua dan sekretaris dapat merangkap sebagai anggota. Ketua tidak boleh merangkap sebagai pejabat struktural di Rumah Sakit, yang dipilih dan diangkat oleh Kepala atau Direktur Rumah Sakit.

19sep

Dalam melaksanakan tugasnya, berikut ini kegiatan yang dilakukan oleh Komite/ Tim Penyelenggara Mutu dalam membantu kepala atau direktur rumah sakit dalam mengelola dan memandu program peningkatan mutu dan keselamatan pasien dan manajemen risiko di Rumah Sakit yang tertuang dalam Permenkes 80 tahun 2020, diantaranya:

  1. Menyusun kebijakan, pedoman dan program kerja terkait pengelolaan dan penerapan program mutupelayanan Rumah Sakit;
  2. Memberi masukan dan pertimbangan kepada Kepala atau Direktur Rumah Sakit terkait perbaikan mutu tingkat Rumah Sakit;
  3. Melakukan pemilihan prioritas perbaikan tingkat Rumah Sakit dan pengukuran indikator tingkat Rumah Sakit serta menindaklanjuti hasil capaian indikator tersebut;
  4. Melakukan pemantauan dan memandu penerapan program mutu di unit kerja;
  5. Melakukan pemantauan dan memandu unit kerja dalam memilih prioritas perbaikan, pengukuran mutu/indikator mutu, dan menindaklanjuti hasil capaian indikatormutu;
  6. memfasilitasi penyusunan profil indikator mutu dan instrumen untuk pengumpulan data;
  7. Memfasilitasi pengumpulan data, analisis capaian,validasi dan pelaporan data dari seluruh unit kerja;
  8. Melakukan pengumpulan data, analisis capaian, validasi, dan pelaporan data indicator prioritas Rumah Sakit dan indikator mutu nasional Rumah Sakit;
  9. mengkoordinasikan dan mengkomunikasi dengan komite medis dan komite lainnya, satuan pemeriksaan internal,dan unit kerja lainnya yang terkait, serta staf;
  10. Pelaksanaan dukungan untuk implementasi budaya mutu di Rumah Sakit;
  11. Pengkajian standar mutu pelayanan di Rumah Sakit terhadap pelayanan, pendidikan, dan penelitian;
  12. Penyelenggaraan pelatihan peningkatan mutu; dan
  13. Penyusunan laporan pelakasanaan program peningkatan mutu.

Dalam melakukan proses pengukuran data, Direktur juga menetapkan: Kepala unit sebagai penanggung jawab peningkatan mutu dan keselamatan pasien (PMKP) di tingkat unit; Staf pengumpul data; dan Staf yang akan melakukan validasi data (validator). Bagi rumah sakit yang memiliki tenaga cukup, proses pengukuran data dilakukan oleh ketiga tenaga tersebut. Dalam hal keterbatasan tenaga, proses validasi data dapat dilakukan oleh penanggung jawab PMKP di unit kerja. Komite/Tim Penyelenggara Mutu, penanggung jawab mutu dan keselamatan pasien di unit, staf pengumpul data, validator perlu mendapat pelatihan peningkatan mutu dan keselamatan pasien termasuk pengukuran data mencakup pengumpulan data, analisis data, validasi data, serta perbaikan mutu.

Komite/ Tim Penyelenggara Mutu dapat melaporkan hasil pelaksanaan program PMKP kepada Direktur setiap 3 (tiga) bulan. Kemudian Direktur akan meneruskan laporan tersebut kepada Dewan Pengawas. Laporan tersebut mencakup: Hasil pengukuran data meliputi: Pencapaian semua indikator mutu, analisis, validasi dan perbaikan yang telah dilakukan. Serta, laporan semua insiden keselamatan pasien meliputi jumlah, jenis (kejadian sentinel, KTD, KNC, KTC, KPCS), tipe insiden dan tipe harm, tindak lanjut yang dilakukan, serta tindakan perbaikan tersebut dapat dipertahankan. Di samping laporan hasil pelaksanaan program PMKP, Komite/ Tim Penyelenggara Mutu juga melaporkan hasil pelaksanaan program manajemen risiko berupa pemantauan penanganan risiko yang telah dilaksanakan setiap 6 (enam) bulan kepada Direktur yang akan diteruskan kepada Dewan Pengawas (STARKES, 2022).

Disarikan oleh: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK-KMK UGM)

Sumber:

  • Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/1128/2022 Tentang Standar Akreditasi Rumah Sakit.
  • Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2020 Tentang Komite Mutu Rumah Sakit.

 

Penulis: Sabar P Siregar (Dokdiknis, Praktisi Psikiater di RSJ Prof dr Soerojo Magelang)

Ilustrasi Kasus

Seorang wanita 65 tahun yang diklasifikasikan dengan diagnosis Demensia Alzheimer, datang dengan diantar keluarganya ke Poliklinik Rawat Jalan untuk kontrol rutin. Dari alloanamnesis, wawancara dengan keluarga yang mengantarkan, didapatkan informasi bahwa seminggu belakangan, ibu ini sering gelisah, tidur hanya sebentar-sebentar dan makan hanya sedikit-sedikit.

Komunikasi yang tadinya sebagian masih dapat dipahami, antara pasien dan keluarga, sudah tidak dapat dilakukan lagi. Pasien tidak dapat menyampaikan apa yang dibutuhkan dan dirasakan. Sehingga seluruh kebutuhan pasien dipenuhi keluarga hanya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman keluarga selama merawat pasien ini.

Setelah melakukan alloanamnesis lebih detail, ada informasi yang disampaikan oleh keluarga bahwa pasien sudah hampir satu bulan tidak lancar buang air besar. Keluarga sudah berusaha memberi obat pencahar tapi tidak begitu berhasil. Setelah berdiskusi dengan keluarga, disepakati agar pasien dirawat inap untuk masalah gangguan buang air besarnya.

***

Dampak dari demensia sangat luas, baik untuk pasien sendiri, perawat maupun keluarganya. Dari salah satu literatur disampaikan bahwa karena terlalu banyaknya kondisi yang harus dihadapi pada penderita demensia, ada kalanya membuat bingung untuk memutuskan kondisi mana dulu yang harus ditangani. Untuk itu, prinsip utama adalah mengelola terlebih dahulu keadaan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Perbedaan antara agitasi dan menolak dirawat pada demensia

Gangguan perilaku adalah salah satu gangguan yang paling sering ditemui pada demensia. Hampir semua pasien dengan demensia pernah menunjukkan gangguan perilaku. Gangguan perilaku dapat dikategorikan, mengganggu atau tidak mengganggu sekitarnya. Semakin bertambah beratnya gangguan kognitif semakin berat juga gangguan perilaku yang dihadapi serta semakin sulit penanganannya.

Adanya gangguan kognitif dapat didasari berbagai aspek. Kondisi ketersediaan sel-sel otak yang masih berfungsi fisiologis aktif, sangat mempengaruhi fungsi kognitif. Seperti diketahui bahwa pada demensia ada kerusakan sel-sel otak yang disebabkan penyakit Alzheimer. Kerusakan itu dapat terjadi di dalam sel sendiri atau di luar sel.

Semakin luas kerusakan sel-sel otak maka ketersediaan sel-sel otak untuk fungsi kognitif akan semakin berkurang dan tentu hal ini akan sangat mempengaruhi kualitas fungsi kognitif. Patofisiologi penyakit Alzheimer sendiri belum sepenuhnya dipahami. Ilmu pengetahuan memang terus berkembang untuk memahami patofisiologi terjadinya penyakit Alzheimer yang pada akhirnya sangat berguna untuk menangani penderita-penderita demensia saat ini dan dimasa mendatang.

Agitasi pada kondisi umum adalah kondisi dimana seseorang marah karena emosinya tersulut. Ekspresi agitasi biasanya dapat berupa mondar mandir, keluyuran atau peningkatan aktivitas lainnya, dapat merupakan aktivitas verbal atau motorik. Sementara itu pada demensia, agitasi dapat merupakan salah satu sarana berkomunikasi untuk menyampaikan bahwa ada hal yang tidak menyenangkan dalam dirinya. Dengan demikian saat ditemukan agitasi pada demensia sebaiknya jangan diinterpretasi secara subyektif oleh perawat dan keluarga tetapi dicari penyebab objektif dari agitasi tersebut karena agitasi pada demensia dapat merupakan manifestasi berbagai keadaan, diantaranya adalah sebagai ekspresi rasa nyeri dan ketidaknyamanan dalam dirinya.

Pada kasus diawal tulisan ini sumber permasalahannya adalah terganggunya buang air besar kurang lebih satu bulan. Gangguan yang dialami pasien ini merupakan gangguan pada salah satu fungsi paling dasar dari kehidupan seorang manusia yaitu fungsi vegetatif. Dalam kondisi normal ketika salah satu fungsi vegetatif seseorang terganggu maka akan menyebabkan ketidaknyamanan sehingga akan segera menyampaikan apa yang dialami agar dicarikan jalan keluar.

Pada kondisi kasus diatas pada pasien ada hambatan komunikasi sehingga tidak mampu menyampaikan apa yang sesungguhnya dialaminya tetapi menyampaikan ketidaknyamanan yang dialaminya lewat perubahan perilaku dari biasanya yaitu adanya agitasi. Kesulitan komunikasi ini, memang sering menjadi tantangan tersendiri untuk menegakkan diagnosis adanya berbagai penyakit yang mungkin terjadi pada demensia. Karena keadaan inilah sering berbagai penyakit dapat terjadi pada demensia tanpa diketahui gejala-gejala awalnya.

Semua diawali dari adanya gangguan kognitif pada demensia khususnya memori yang sangat berguna saat anamnesis. Saat dilakukan anamnesis pada penderita demensia sering lupa apa yang sudah terjadi dan pada tingkat demensia yang lebih berat, tidak dapat lagi bekerja sama saat dilakukan pemeriksaan. Tentu keadaan ini akan mempengaruhi kualitas diagnosis suatu penyakit pada demensia dan dipastikan hal ini sangat berpengaruh dengan penanganannya.

Di sisi lain agitasi juga merupakan salah satu manifestasi gejala gangguan jiwa berat (psikosis) sehingga saat agitasi terjadi pada penderita demensia sangat mungkin pasien demensia agitasi tersebut akan dikategorikan sebagai gejala psikosis. Padahal ada perbedaan yang mendasari terjadinya agitasi. Sehingga jika dasar penyebab agitasinya berbeda maka penanganannya tentu sangat berbeda. Hal lain yang sangat perlu diperhatikan adalah suasana saat terjadinya gangguan perilaku. Karena walau ekspresi gangguan perilakunya sama tetapi dapat berbeda arti dalam suasana berbeda dan tentunya hal ini akan membutuhkan manajemen berbeda.

Menolak dirawat juga merupakan salah satu gangguan perilaku yang sangat mengganggu dan menguras emosi bagi seseorang yang merawat penderita demensia. Peningkatan penolakan perawatan dari pasien demensia berhubungan dengan menurunnya kemampuan berbicara dan memahami bahasa. Kemampuan berbicara dan memahami bahasa sangat berhubungan erat dengan fungsi kognitif. Jika kedua kemampuan itu masih baik berarti fungsi kognitif masih cukup baik.

Pasien demensia yang sering bersikap kasar di tengah masyarakat, juga biasanya menolak untuk dirawat. Faktor psikopatologi yang mungkin berperan meningkatkan penolakan terhadap perawatan adalah waham, halusinasi dan depresi. Waham adalah keyakinan pikiran yang salah. Jadi pasien dengan demensia dan memiliki waham tertentu dapat akan menolak jika mau dirawat karena keyakinan pikirannya yang salah itu meyakini bahwa orang-orang di sekitarnya pasti akan mencelakakan dirinya.

Halusinasi adalah adanya pengalaman persepsi tanpa adanya stimulasi pada salah satu pancaindera. Halusinasi auditorik adalah salah satu halusinasi yang paling signifikan untuk menunjukkan seseorang mengalami gangguan jiwa berat. Halusinasi auditorik dapat berupa suara perintah supaya menolak dirawat. Pada demensia salah satu gejala depresi yang sering adalah apatis.

Tujuan perawatan adalah mencegah meningkatnya penolakan perawatan, untuk itu diperlukan sikap pengasuh yang tenang dan santai yang akan membuat suasana lebih tenang serta melihat apa yang menjadi kebutuhan prioritas.

Di sisi lain, seorang yang merawat merasa apa yang dilakukan atau akan dilakukan adalah untuk kebaikan penderita demensia itu sendiri. Sehingga ketika terjadi penolakan dirawat dari penderita demensia sering membuat yang merawat terbawa emosi. Banyak hal yang membuat pihak yang merawat jadi emosi. Diantaranya adalah kelelahan pribadi yang merawat. Kelelahan dapat terjadi karena yang merawat penderita demensia juga seseorang yang mempunyai kebutuhan pribadi dan kebutuhan itu harus dipenuhi. Jadi yang merawat harus memenuhi kebutuhan penderita demensia yang dirawat dan kebutuhan diri sendiri.

Memenuhi kedua kebutuhan ini, saat bersamaan, tentu sangat berpotensi melelahkan. Tanpa ada penolakan untuk dirawat saja, merawat penderita demensia sudah merupakan hari-hari yang melelahkan apalagi jika ada penolakan. Seakan-akan kebaikan yang sudah dilakukan semua tidak ada artinya, tentu ini sangat melelahkan. Masalah lain adalah jika yang merawat juga memiliki keluarga sendiri. Sudah pasti keluarga yang merawat penderita demensia juga membutuhkan kehadirannya.

Biasanya tanggung jawab merawat penderita demensia adalah anak-anaknya. Padahal anak-anaknya itu juga pada umumnya sudah berkeluarga dan tentu itu sangat membutuhkan pengorbanan yang sangat besar dari diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan kebutuhan penderita demensia. Diantara anak penderita demensia sering juga terjadi silang pendapat karena penderita demensia kadang-kadang menyampaikan informasi yang berubah-ubah diantara anak-anaknya. Bagi keluarga sebaiknya saling mengklarifikasi satu sama lain.

Sedikit catatan bagi pengasuh (perawat)

Tidak ada cara atau metode tertentu yang sistematis dan dapat dipelajari untuk mengasuh gangguan perilaku pada semua demensia. Kesiapan hati dan sikap mau menerima untuk merawat demensia, itu yang utama. Adapun beberapa langkah yang perlu disiapkan hanyalah merupakan prinsip-prinsip umum pada pengasuhan demensia. Diantaranya, menghindari membuat tuntutan kegiatan yang menciptakan stres atau diluar batas kemampuan pasien dengan demensia. Pengasuhan dapat juga dilakukan melalui melibatkan mereka melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari misal menawarkan minum teh, meminta pasien membantu melipat cucian atau kegiatan rumah yang sederhana.

Faktor penting lainnya adalah lingkungan perawatan (suasana) misal dengan sedapat mungkin menghindari perdebatan atau konfrontasi terkait wahamnya. Karena seperti diketahui bersama bahwa waham itu tentu sulit bagi pengasuh untuk merasionalisasi atau mengoreksi waham seseorang terlebih lagi pada demensia yang mana struktur otaknya juga sudah banyak yang rusak.

Mungkin beberapa pengasuh merasa bersalah karena seperti membiarkan pasien tetap mempercayai suatu pikirannya yang salah itu, sehingga tetap berusaha menghilangkan pikiran yang salah itu dan tentu dapat menyebabkan pertengkaran yang hebat diantara keduanya.
Mengubah topik pembicaraan adalah cara lain untuk dapat melihat apa yang mendasari emosi simptom psikotik dan memberi respon yang sesuai. Pengembangan pengetahuan untuk tujuan agar pengasuh memiliki berbagai kemampuan untuk mengurangi kesulitan pasien, sangat diperlukan.

Dampak bagi pengasuh demensia

Tekanan yang dialami pengasuh pasien demensia lebih berat dibandingkan pengasuh lansia dengan hambatan fisik. Pengasuh untuk seseorang demensia, tidak mempunyai waktu untuk liburan atau menikmati hobinya, tidak punya waktu yang cukup untuk anggota keluarga lain. Juga lebih sering melaporkan banyak kesulitan yang berhubungan dengan pekerjaannya dibandingkan pengasuh seseorang dengan hambatan fisik. Stressor utama pada pengasuh pasien demensia adalah tuntutan kebutuhan yang tinggi dari pengasuhan demensia itu sendiri. Stressor kedua muncul dari aspek-aspek kehidupan pengasuh yang dipengaruhi oleh tugas-tugas pengasuhan mereka. Sehingga tingkat mortalitas pengasuh demensia juga meningkat.

Pada akhirnya mengasuh gangguan perilaku pada demensia memerlukan pengembangan pengetahuan yang komprehensif secara kontinyu. Tentu tidak mungkin mencapai pengetahuan itu dalam waktu singkat. Mengasuh penderita demensia dari waktu ke waktu, secara tidak langsung juga mengembangkan pengetahuan diri sendiri terhadap penderita demensia. Memang pengetahuan untuk pasien demensia tertentu belum tentu dapat diterapkan untuk pasien demensia lainnya. Prinsipnya adalah membuat penderita demensia nyaman dan aman sesuai kemampuan pengasuh.

Keterlibatan komunitas untuk mengelola penderita-penderita dengan demensia memang menjadi suatu keniscayaan. Langkah awal adalah adanya komunikasi antara keluarga dengan demensia disuatu wilayah tertentu. Berbagi pengalaman dengan memanfaatkan sistem informasi media sosial yang saat ini sudah lebih mudah terjangkau. Selanjutnya wadah saling berkomunikasi ini dibuat lebih terstruktur sehingga menjadi suatu wadah komunitas yang saling mendukung satu sama lain. Harus ada yang memulai dan mari kita memulai dari diri sendiri untuk saling berkomunikasi. Tulisan ini adalah sarana memulai untuk saling berkomunikasi.

 

Fajrillah Kolomboy MalondaDr. Fajrillah Kolomboy Malonda. Ns., M.Kep
(Dosen Poltekes Kemenkes Palu)

Hari keselamatan pasien sedunia diperingati setiap tanggal 17 September. World Health Organization menyatakan bahwa keselamatan pasien merupakan masalah kesehatan global dan menjadi isu kesehatan yang sangat kompleks serta melibatkan banyak pihak. Setiap tahunnya terjadi 134 Juta Kasus dan berkontribusi terhadap 2,6 juta kematian yang terjadi dinegara yang berpenghasilan rendah dan menengah serta kegagalan langkah keselamatan pasien Sekitar 15% menguras biaya Rumah sakit dan menyedot pembiayaan 42 juta dolar AS setiap tahunnya.

Insiden di fasilitas pelayanan kesehatan menurut Permenkes No 11 tahun 2017 tentang keselamatan pasien meliputi Kondisi Potensial Cedera (KPC), Kejadian Nyaris Cedera (KNC), Kejadian Tidak Cedera (KTC); dan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) serta KTD sentinel. Insiden keselamatan pasien terjadi karena perawatan pasien yang tidak aman di rumah sakit seperti kesalahan diagnostik dan kesalahan pengobatan yang tergolong dalam Kejadian Tidak Diharapkan (KTD).

Hasil studi keselamatan pasien di Amerika pada akhir tahun 1990-an menemukan angka 3,9% dan 2,7% angka kejadian yang tidak diinginkan (KTD) pada pasien rawat inap. Dua puluh tahun kemudian, pengukuran dengan Global Trigger Tool menunjukkan bahwa KTD meningkat 10 kali lipat 32% (Djasri, 2012). Jenis yang tersering adalah kesalahan pengobatan, kesalahan operasi dan kesalahan prosedur serta infeksi nasokomial.

Survei yang dilakukan oleh ECRI (Emergency Care Research Institute) menyatakan bahwa sekitar 21% pasien memiliki pengalaman kesalahan medis yang berdampak pada kesehatan fisik dan emosional pasien, keuangan, konflik keluarga, kesenjangan perawatan, prosedur yang tidak perlu, dan tes ulang yang membahayakan pasien (ECRI, 2018). Akibat insiden keselamatan pasien berupa cedera yang membahayakan jiwa, kesalahan pemberian obat, pasien jatuh, infeksi nasokomial lama masa rawat, bahkan kematian yang merugian bagi pasien dan Rumah sakit.

Insiden keselamatan pasien di rumah sakit dapat disebabkan oleh faktor kesalahan aktif maupun kondisi laten. Kesalahan aktif meliputi faktor yang langsung mempengaruhi kejadian insiden seperti karakteristik tenaga kesehatan meliputi (pengetahuan, pengalaman, kemampuan, kewaspadaan, kelelahan motivasi dan sikap kerja). Sedangkan faktor laten adalah kondisi yang tidak dapat dielakan, berasal dari aturan yang dibuat oleh pembuat kebijakan dapat berupa ketersediaan sumber daya manusia atau peralatan, struktur organisasi, budaya organisasi, budaya keselamatan pasien, keterlibatan dan pengalaman/kemampuan pemimpin.

Faktor yang berpengaruh terhadap meningkatnya insiden keselamatan pasien dirumah sakit adalah lemahnya budaya keselamatan pasien, terutama budaya non blaming culture, budaya pelaporan dan budaya belajar dari insiden belum dilaksanakan secara optimal yang disebabkan karena ketakutan petugas untuk melapor (takut disalahkan), kurangnya komitmen manajemen, tidak adanya reward yang diberikan, kurangnya pemahaman petugas dan kurang optimalnya sistem pelaporan insiden keselamatan pasien.

Semoga Peringatan Hari Keselamatan Pasien sedunia menjadi momentum bagi penyelenggara negara dan pemangku kepentingan agar lebih serius menangapi sekaligus mencari solusi bagi permasalahan keselamatan pasien. Salam sehat sukses dunia akherat.

Telah Terbit di harian Opini Radar Sulteng