Konsep mutu pelayanan kesehatan telah lama dipelajari. Meskipun mutu sulit diukur, membicarakan mutu bukanlah suatu hal yang abstrak, kerangka konsep mutu sudah banyak digunakan dalam literatur yang dikembangkan oleh ahli mutu pelayanan, salah satunya oleh Avedis Donabedian mengembangkan suatu kerangka evaluasi mutu pelayanan, yang terdiri dari struktur, proses dan outcome (Donabedian, 2003). Struktur adalah kondisi yang harus dipenuhi sebagai prasyarat untuk menyediakan pelayanan. Proses merupakan berbagai aktivitas dan prosedur yang dilakukan dalam memberikan pelayanan kesehatan, sedangkan outcome menunjukkan hasil dari suatu upaya, baik di tingkat individu ataupun populasi. Struktur yang memadai diperlukan untuk melakukan proses pelayanan yang ideal, agar menghasilkan outcome yang optimal.
Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa mutu adalah kinerja yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang disatu pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta dipihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan. Dalam Permenkes No. 44 Tahun 2016 tentang Pedoman Manajemen Puskesmas juga dijelaskan bahwa upaya kesehatan bermutu merupakan upaya yang memberikan rasa puas sebagai pernyataan subjektif pelanggan, dan menghasilkan outcome sebagai bukti objektif dari mutu layanan yang diterima pelanggan.
Definisi mutu pelayanan kesehatan yang berkembang secara global cukup beragam. Salah satu yang dikenal secara luas adalah definisi dari Institute of Medicine (IOM) dan WHO. Definisi mutu oleh IOM dikembangkan pada tahun 1990 dan diterima secara luas. Mutu pelayanan menurut IOM adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada individu dan populasi yang meningkatkan kemungkinan akan outcome kesehatan yang diinginkan dan konsisten dengan pengetahuan di profesi kesehatan (The degree to which health services for individuals and populations increase the likelihood of desired health outcomes and are consistent with current professional knowledge) (Chassin dan Galvin, 1998).
Selain itu, Institute of Medicine juga menjabarkan enam dimensi umum terkait mutu yakni pelayanan yang bermutu harus aman, efektif, berpusat pada pasien, tepat waktu, efisien, dan adil. Ini juga merupakan seperangkat dimensi atau atribut yang telah diadopsi dan diadaptasi di negara-negara di luar Amerika Serikat. Pada tahun 2006, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mendefinisikan konsep dasar mutu adalah pelayanan yang diberikan harus efektif, efisien, dapat diakses, diterima, berpusat pada pasien, adil, dan aman. Secara signifikan, definisi ini memperkenalkan dimensi “dapat diakses” sebagai tujuan yang lebih luas dari sekedar “tepat waktu”. Selama beberapa dekade terakhir Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah memilih untuk menyoroti tiga dimensi mutu yakni efektivitas, keamanan, dan berpusat pada pasien. Konseptualisasi yang lebih ringkas ini juga mempengaruhi pemikiran negara dalam beberapa hal.
Pada tahun 2018, WHO memperkenalkan Framework on Integrated People-centred Health yang telah menggambarkan bahwa pelayanan yang bermutu tinggi dilihat dari Tujuh dimensi mutu pelayanan kesehatan adalah, diantaranya; 1) Aman, yakni pelayanan yang dapat menghindari bahaya bagi orang-orang yang menjadi sasaran dari pelayanan yang diberikan, 2) Efektif dalam menyediakan pelayanan kesehatan berbasis bukti kepada mereka yang membutuhkannya, 3) Berpusat pada orang yakni memberikan perawatan yang menanggapi preferensi, kebutuhan, dan nilai individu. 4) Tepat waktu yakni mengurangi waktu tunggu dan terkadang terdapat penundaan yang merugikan bagi mereka yang menerima dan mereka yang memberi pelayanan. 5) Efisien yakni memaksimalkan manfaat dari sumber daya yang tersedia dan menghindari pemborosan. 6) Adil yakni memberikan pelayanan yang tidak bervariasi dari sisi mutu dikarenakan usia, jenis kelamin, jenis kelamin, ras, etnis, lokasi geografis, agama, status sosial ekonomi, bahasa atau afiliasi politik, atau pelayanan yang diberikan sama, dan 7) Terintegrasi yakni dalam memberikan pelayanan yang terkoordinasi di seluruh tingkatan dan penyedia dan membuat layanan kesehatan tersebut tersedia disepanjang perjalanan hidup pasien.
Disarikan oleh: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK KMK UGM)
Referensi:
- Donabedian, A, (2003). An Introduction to Quality Assurance in Health Care. Oxford, Oxford University Press.
- Permenkes No. 69 Tahun 2014 tentang Kewajiban Rumah Sakit Dan Kewajiban Pasien
- Plsek, P. (2001). Institute of Medicine. Crossing the Quality Chasm: A New Health System for the 21st Century. Washington, DC National Academies Pr.
- Chassin, M. R., & Galvin, R. W. (1998). The urgent need to improve health care quality: Institute of Medicine National Roundtable on Health Care Quality. Jama, 280(11), 1000-1005.
- World Health Organization. (2018). Handbook for national quality policy and strategy: a practical approach for developing policy and strategy to improve quality of care.