Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Tanggal 29 September 2024 yang diperingati sebagai Hari Jantung Sedunia, merupakan peringatan untuk meningkatkan kesadaran dan mengedukasi masyarakat secara lebih lanjut mengenai penyakit kardiovaskular. Peringatan Hari Jantung Sedunia kali ini mengusung tema internasional “Use Heart for Action”, sedangkan tema nasional yang dibawakan yakni Ayo Bergerak untuk Sehatkan Jantungmu. Sebagai penyakit yang menyumbang kematian paling tinggi di tingkat global dengan prevalensi berkisar di angka 470 juta pada 2016, dengan peningkatan persentase kematian akibat penyakit kardiovaskular sebanyak 15% dari tahun 2006 hingga 2016, penyakit kardiovaskular patut menjadi perhatian utama dalam sasaran peningkatan mutu layanan. Penyakit kardiovaskular mencakup penyakit jantung iskemik, penyakit serebrovaskular, penyakit jantung hipertensi, penyakit vaskular perifer, penyakit jantung rematik, kardiomiopati, hingga aritmia. Teknologi kesehatan digital dapat digunakan untuk transformasi layanan kesehatan dengan menyediakan layanan pencegahan penyakit, juga diagnosis dan manajemen, yang dapat memperkuat pasien dan tenaga kesehatan profesional untuk memperoleh luaran kesehatan yang lebih baik.

Kesehatan Digital didefinisikan sebagai penggunaan teknologi digital, mobile, dan nirkabel untuk mendukung pencapaian tujuan kesehatan. Sekarang kesehatan digital digunakan untuk mendeskripsikan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk kesehatan, meliputi intervensi kesehatan, seperti yang terdapat di bidang baru, yakni analisis big data, kecerdasan buatan, dan machine learning.

Kesehatan digital merupakan bidang yang dinamis dan selalu berkembang yang membutuhkan pendekatan baru untuk meninjau efikasi dan efektivitas teknologi terbarunya. Untuk memenuhi kebutuhan ini, World Health Organization (WHO) mengeluarkan pedoman untuk memonitor dan mengevaluasi teknologi kesehatan digital. Pada pedoman ini, terdapat beberapa rekomendasi, seperti cara memilih desain studi dan indikator untuk mengevaluasi intervensi kesehatan digital, komponen kunci dan tools untuk memonitor kesehatan digital, pendekatan yang berbeda pada asesmen kualitas data, dan pedoman untuk melaporkan temuan, contohnya dengan menggunakan daftar mHealth Evidence Reporting and Assessment (mERA).

Meski kesehatan digital memiliki potensi yang besar dalam meningkatkan layanan dan pencegahan penyakit kardiovaskular, terdapat beberapa bukti ilmiah yang terbatas untuk mendukung penggunaan teknologi kesehatan digital. Intervensi kesehatan digital yang akan dibahas yakni: (i) program pesan singkat, (ii) aplikasi ponsel, (iii) perangkat yang digunakan.

Program Pesan Singkat

Kepatuhan pengobatan merupakan landasan dari manajemen penyakit kardiovaskular, seperti perilaku hidup sehat, beberapa studi mengevaluasi program pengiriman pesan singkat dalam meningkatkan kepatuhan. Peninjauan sistematik Cochrane (2017) menunjukkan adanya peningkatan kepatuhan sebagai efek positif dari program pengiriman pesan singkat pada pasien dengan penyakit kardiovaskular. Yang perlu digaris bawahi dari intervensi ini adalah hampir seluruh program pengiriman pesan singkat hanya mengevaluasi dampaknya terhadap satu perilaku kesehatan. Meski meningkatkan perilaku kesehatan secara spesifik dapat bermanfaat bagi orang dengan penyakit kardiovaskular, peningkatan pada beberapa perilaku secara simultan dapat lebih berdampak signifikan pada kesehatan secara signifikan.

Aplikasi Ponsel

Intervensi lewat ponsel pintar dan tablet dalam aplikasi dapat mengedukasi pasien lewat informasi tertulis dan visual, serta monitor dan manajemen kondisi kesehatan melalui harian dan pengingat otomatis. Meski ada potensi besar dari aplikasi kesehatan, terdapat satu aspek yang harus dipertimbangkan, yakni pengembang dari aplikasi kesehatan dengan latar belakang tenaga kesehatan profesional yang sedikit hingga tidak sama sekali dan pengembangannya tidak berdasarkan bukti ilmiah. Penting untuk membangun aplikasi yang berfokus pada perilaku individu. Studi yang dilakukan oleh Santo et. al pada 2019 dengan randomized control trial terhadap aplikasi pengingat pengobatan dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan, menunjukkan adanya peningkatan kepatuhan pengobatan yang dilaporkan pengguna (self-report) yang tidak diikuti oleh peningkatan signifikan dari luaran klinis pengguna aplikasi jika dibandingkan dengan layanan manual tanpa aplikasi. Evaluasi ini juga menemukan mayoritas pasien yang menerima intervensi aplikasi menemukan kegunaan aplikasi dalam pencatatan nama dan dosis obat yang dikonsumsi sehingga pengingat pengobatan dapat meminum obat dengan benar.

Perangkat yang Digunakan

Perangkat yang dapat digunakan merupakan alat elektronik yang dapat digunakan dan memiliki kemampuan untuk menangkap informasi, memproses data, dan menyediakan luaran informasi yang relevan lewat koneksi dengan perangkat lain, seperti aplikasi ponsel pintar. Dalam konteks layanan dan manajemen penyakit kardiovaskular, faktor gaya hidup menjadi target utama dari perangkat pintar adalah aktivitas fisik. Pencatat aktivitas menyediakan informasi langkah harian, jarak jalan, energi yang dihabiskan , dan detak jantung. Tinjauan sistematik yang dipublikasikan pada 2019 mengenai investigasi dampak intervensi yang menggunakan pencatat aktivitas berbasis pengguna perangkat dibandingkan dengan pengguna yang tidak memakai perangkat pencatat aktivitas dan perilaku sedenter dengan 3646 partisipan, menunjukkan adanya peningkatan signifikan dalam jumlah langkah harian dengan peningkatan mencapai 627 langkah per hari. Studi meta analisis secara spesifik pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dengan total pada 4528 pasien, menunjukkan peningkatan signifikan dengan rerata 2592.33 langkah per hari dengan penggunaan perangkat pintar. Sedangkan, bagi perangkat pintar terbaru, seperti smartwatch, dapat digunakan sebagai tool untuk monitor ritme jantung dan mendeteksi aritmia.

Selengkapnya dapat diakses di:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7532121/

 

 

Tantangan bidang kesehatan masyarakat terkait perilaku seksual, termasuk HIV/AIDS, penyakit menular seksual (PMS) lainnya, hepatitis virus, kehamilan tidak diinginkan, dan kekerasan seksual, merupakan masalah kesehatan dunia dan memengaruhi 3 dari 8 Millennium Development Goals seperti mengurangi mortalitas anak, meningkatkan kesehatan mental, dan melawan HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya. Tantangan ini umumnya lebih tinggi derajat keparahannya di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.

Di Inggris, terdapat hampir 400.000 diagnosis PMS baru yang muncul setiap tahunnya. Angka tersebut merupakan kenakan sejumlah 30% dari angka sejak tahun 2000. pada negara uni Eropa , lebih dari 27.00 infeksi HIV baru muncul setiap tahunnya, dan sekitar 44% dari seluruh kehamilan di Eropa merupakan kehamilan tidak diinginkan. Pada negara Australia, diperkirakan 170.000 orang hidup dengan infeksi hepatitis B dan 34% wanita melaporkan telah mengalami kekerasan seksual dalam 12 bulan terakhir. DI negara Amerika serikat, diperkirakan 19 juta PMS dan hampir 50.000 infeksi HIV baru muncul tiap tahunnya; 1,2 juta orang hidup dengan HIV/AIDS, dan 800.000 hingga 1,4 juta orang hidup dengan infeksi hepatitis B kronis; lebih dari 1,8 juta wanita mengalami kehamilan tidak diinginkan, dan 1,3 juta wanita dirudapaksa. Kelahiran pada remaja di Amerika Serikat terhitung lebih tinggi dibandingkan negara Barat lainnya. Penderita kanker di alat reproduksi, dan kanker lainnya terkait PMS seperti human papilloma virus (HPV) dan virus hepatitis B, dan isu fungsi seksual (seperti disfungsi ereksi, nyeri dalam hubungan seksual, dan libido rendah) juga merupakan kekhawatiran dalam kesehatan seksual, terutama orang dewasa di dunia.

Luaran kesehatan reproduksi dan seksual menunjukkan ketidakadilan dalam kesehatan yang sangat timpang. Beberapa kelompok terus-menerus mengalami tantangan besar dalam melindungi kesehatan seksual mereka karena keterbatasan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang meningkatkan risiko mereka untuk mengalami luaran dampak kesehatan yang buruk. Wanita sebagai kelompok yang mengalami dampak buruk lebih banyak akibat dari kehamilan tidak diinginkan dan kekerasan seksual dibandingkan pria. hal ini juga berdampak pada kelompok usia remaja; minoritas ras dan etnis; lesbi, gay, biseksual, dan transgender; lelaki seks lelaki (LSL); dan yang memiliki disabilitas. Populasi ini banyak mengalami sindemik, dua atau lebih masalah kesehatan yang berkaitan secara sinergis, yang menimbulkan beban penyakit berlebih.

Kesehatan seksual menurut Centers for Disease Control and Prevention/Health Resources and Services Administration Advisory Committee on HIV, Viral Hepatitis, and STD Prevention and Treatment (CDC/HRSA CHACHSPT) merupakan kondisi kesejahteraan yang berhubungan dengan seksualitas sepanjang hidupnya yang melibatkan dimensi fisik, emosional, mental sosial, dan spiritual. Kesehatan seksual merupakan elemen intrinsik dari kesehatan manusia berdasarkan pendekatan seksualitas, hubungan, dan reproduksi yang positif, adil, dan terhormat yang bebas dari paksaan , ketakutan, diskriminasi stigma, rasa malu, dan kekerasan. Hal tersebut, termasuk kemampuan untuk memahami manfaat, risiko, dan tanggung jawab dari perilaku seksual; pencegahan dan perawatan penyakit dan dampak buruk luaran lainnya; dan kemungkinan untuk memenuhi hubungan seksual. Secara umum, kesehatan seksual dipengaruhi oleh konteks sosio ekonomi dan budaya, termasuk peraturan, praktik, dan layanan, yang mendukung luaran kesehatan bagi individu, keluarga, dan komunitas.

Promosi kesehatan sebagai layanan kesehatan masyarakat esensial

Pemimpin dalam kesehatan masyarakat sangat memahami peran penting dari promosi kesehatan dan pembuatan keputusan yang sehat dapat mencegah penyakit infeksi dan kronis, serta cedera. Dalam beberapa dekade, pendekatan dengan promosi kesehatan telah menjadi salah satu cara untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat yang terkait seksualitas dan perilaku seksual yang mengilhami kesehatan seksual sebagai aspek penting dalam kesehatan secara menyeluruh dan kesejahteraan individu, keluarga , komunitas, dan negara. Beban kesehatan yang besar, pengeluaran untuk dampak buruk yang terkait perilaku seksual, dan peningkatan minat dalam menggunakan pendekatan promosi kesehatan untuk mengatasinya, sektor kesehatan masyarakat sebaiknya mempertimbangkan untuk mengatasi kesehatan seksual karena beberapa alasan.

  1. Pendekatan kesehatan masyarakat untuk meningkatkan kesehatan seksual secara tradisional bergantung pada intervensi, termasuk edukasi, skrining, terapi, notifikasi pasangan, imunisasi, dan layanan pencegahan lainnya, yang utamanya berfokus pada luaran negatif, seperti penyakit dan dampak buruk lainnya terkait perilaku seksual. Cara ini sering berfungsi terkategori dalam kolaborasi yang terbatas antar program dan belum memberikan hasil optimal.
  2. Semua negara menghadapi tantangan dalam menurunkan pembiayaan layanan kesehatan, sehingga membutuhkan pendekatan yang hemat biaya untuk layanan kesehatan dan kesehatan masyarakat. Anggaran yang terbatas meningkatkan efisiensi dalam pemberian layanan kesehatan dan praktik kesehatan masyarakat. Investasi pada layanan kesehatan reproduksi dan seksual dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial. Menyediakan kesehatan seksual yang lebih luas dapat membantu individu untuk membuat pilihan kesehatan seksual yang sehat dan meningkatkan pencegahan HIV, PMS lainnya, kehamilan tidak diinginkan, dan kekerasan seksual, serta dengan potensi menurunkan pembiayaan pelayanan kesehatan.
  3. Fokus kesehatan seksual konsisten dengan prioritas kesehatan nasional
  4. Misi intrinsik kesehatan masyarakat untuk menilai dan memformulasikan respon terhadap masalah kesehatan.

Kerangka promosi kesehatan seksual

shp

Dari dampak yang substansial dan biaya dampak buruk dari luaran terkait perilaku seksual, entitas kesehatan masyarakat dapat membentuk pendekatan kesehatan masyarakat yang lebih terkoordinasi untuk memajukan kesehatan seksual. Pendekatan ini dapat melengkapi dan mempersatukan kerangka kesehatan seksual untuk menekankan pentingnya promosi kesehatan dalam mendukung dan meningkatkan kontrol penyakit dan aktivitas pencegahan dalam lingkup kesehatan masyarakat. Kerangka ini meliputi 5 prinsip kunci, yakni:

  1. Mengkontektualisasikan isu. Dalam kerangka kesehatan seksual, kontrol dan pencegahan penyakit tetap merupakan fokus utama kesehatan masyarakat. Usaha dapat diperkuat dengan mendorong perspektif yang lebih kuat yang mempertimbangkan faktor kompleks pada tahap individu, relasi, komunitas, dan luaran kesehatan seksual nasional.
  2. Menekankan kesejahteraan. Kesehatan seksual membutuhkan pendekatan holistik yang dapat menggabungkan aspek fisik, emosional, mental, sosial, dan spiritual dari seksualitas. Dalam kerangka kesehatan seksual, fokus inti melakukan pendekatan holistik pada kesehatan manusia dari luaran penyakit, yang tergabung ke dalam agenda pencegahan dan kesejahteraan baru, juga dapat membantu melawan stigma yang umumnya muncul beriringan dengan kesehatan seksual.
  3. Fokus pada hubungan yang positif dan saling menghargai. Pentingnya hubungan yang penuh hormat bagi kesehatan seksual dapat menyediakan titik temu bagi tindakan dalam mencegah dan meningkatkan kesehatan. Hubungan yang positif dan saling menghargai dalam berbagai jenis (seperti orangtua-anak. pasangan, dan sebaya) menunjukkan faktor protektif bagi berbagai isu kesehatan. sehingga dapat membuat hubungan esensial yang sehat bagi perkembangan manusia.
  4. Memahami dampak seksualitas bagi kesehatan. Memahami dan mengartikulasikan komponen kesehatan seksual merupakan aspek esensial untuk penguatan pencegahan penyakit, kesehatan reproduksi, pencegahan kekerasan, dan komponen lain menjadi kerangka kesejahteraan yang lebih luas.
  5. Mengambil pendekatan sindemik untuk pencegahan. Pendekatan inklusif berpotensi memperkuat kolaborasi dan komunikasi antar staff yang menyediakan layanan yang berbeda dalam program yang beragam. Hal ini membantu merincikan divisi untuk mengatasi, masalah kesehatan seksual.

Potential benefits of a sexual health framework

Adoption of a sexual health framework as part of a multisectoral approach for public health action35 has several potential benefits. First, it has the potential to engage new and diverse partners linked by mutual goals, a commitment to addressing common determinants, and a desire to seek and enhance synergistic impacts. Second, the sexual health framework can normalize open, honest, and respectful conversations around sexuality and sexual responsibility and their contributions to overall health and well-being. Third, because STIs and other adverse health outcomes are highly stigmatized conditions, use of a broader, health-focused framework has the potential to reduce stigma, fear, and discrimination associated with these conditions. Fourth, the sexual health framework provides opportunities to enhance the efficiency and effectiveness of prevention messages and services by packaging an array of often disparately presented messages and services within a comprehensive structure

Strategi potensial untuk memajukan kesehatan seksual

Usaha untuk mengatasi masalah kesehatan menggunakan kerangka kesehatan seksual dapat menstimulasi upaya kesehatan masyarakat yang baru dan kreatif di level nasional. Strategi tersebut adalah:

  1. Memberikan kepemimpinan nasional. Pekerjaan kesehatan masyarakat yang memungkinkan kerjasama dengan partner multisektor di tingkat nasional, provinsi, dan lokal untuk mengimplementasikan pendekatan tersebut.
  2. Meningkatkan kemitraan strategis. Kemitraan yang dinamis dapat membentuk dan mendukung upaya kesehatan masyarakat. Kelompok dari berbagai sektor (seperti bisnis, layanan kesehatan, dan akademia) juga politik, agama, dan sosial penting untuk mencapai persetujuan dalam isu sulit yang membutuhkan dukungan luas dan meningkatkan upaya kesehatan seksual yang efektif.
  3. Memperkuat dasar sains: surveilans, monitoring dan evaluasi, serta penelitian. Untuk mengoptimalkan upaya kesehatan seksual nasional, kegiatan dalam domain saintifik penting, seperti meningkatkan surveilans untuk meningkatkan aktivitas monitor dan luaran terkait kesehatan seksual (seperti pengetahuan, komunikasi, sikap, akses layanan dan kelengkapan, perilaku seksual, hubungan, dan dampak buruk); monitoring evaluasi untuk menilai implementasi kegiatan kesehatan seksual; dan penelitian untuk membentuk dan menilai pendekatan pencegahan baru yang mengatasi celah dalam menggunakan kerangka kesehatan seksual secara efektif.
  4. Mendorong tindakan kebijakan yang efektif. Pembangunan dan implementasi kebijakan yang sesuai dapat mendukung akses yang lebih baik ke pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual yang aman, lingkungan yang mendukung (bebas tekanan, diskriminasi, dan kekerasan) yang dapat berdampak pada perilaku seksual. Pemangku kebijakan dapat mengidentifikasi dan mendukung kebijakan berdasarkan bukti terkait kesehatan seksual.
  5. Memperkuat infrastruktur dan memberikan pelatihan penyediaan layanan kesehatan seksual yang layak
  6. Mendukung kesadaran dan meningkatkan pengetahuan lewat komunikasi dan edukasi

Komunikasi dapat diperkuat untuk membuat upaya yang sinergis dalam mengupayakan kesehatan seksual. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan secara umum mengenai kesehatan seksual penting untuk dilakukan bagi masyarakat, komunitas, organisasi, dan pemangku kebijakan lainnya.

Selengkapnya dapat mengakses: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3562752/

 

 

 

 

Hari Kesehatan Gigi dan Mulut Nasional atau Hari Kesehatan Gigi Nasional pada tanggal 12 September 2024 merupakan waktu yang tepat untuk kesadaran akan pentingnya kesehatan gigi dan mulut yang perlu dimulai sejak dini. Kesehatan gigi dan mulut yang baik dapat mencegah berbagai penyakit sistemik di kemudian hari. Berbagai penelitian telah melihat hubungan antara kebersihan mulut yang buruk dan peningkatan risiko penyakit tidak menular, seperti diabetes, penyakit hati, dan kanker. Pentingnya kesehatan gigi dan mulut membutuhkan dukungan lebih dari berbagai pihak, sehingga sistem layanan gigi yang bermutu harus diterapkan sejak di Fasilitas Kesehatan Layanan Primer (FKTP).

Definisi layanan kesehatan primer menurut World Health Organization (WHO) adalah layanan dasar esensial yang praktikal, saintifik, menggunakan metode yang dapat diterima secara sosial, dan aksesibel secara universal bagi individu dan keluarga di kelompok masyarakat lewat partisipasi penuh, serta biaya yang terjangkau bagi masyarakat dan negara. Fasilitas kesehatan tingkat pertama mencakup kontak pertama dengan individu, keluarga, dan kelompok masyarakat dengan sistem kesehatan nasional yang mendekatkan layanan kesehatan sedekat mungkin dengan lokasi tempat tinggal dan kerja seseorang dan merupakan elemen pertama dari proses melanjutkan proses pelayanan kesehatan (health care process [HCP]).

Konferensi global dari WHO tahun 2007 mengadvokasikan integrasi layanan kesehatan gigi ke dalam layanan kesehatan primer sebagai bentuk kolaborasi susunan kelanjutan proses pelayanan kesehatan.Strategi integratif ini bertumpu pada premis faktor risiko yang dapat dimodifikasi, seperti pola makan dan merokok yang dapat berkontribusi pada penyakit mulut dan penyakit tidak menular secara bersamaan. Hampir di setiap negara, terdapat banyak orang yang tidak memiliki akses permanen terhadap layanan kesehatan gigi pada di banyak tingkatan. Pendekatan layanan kesehatan mulut primer dapat memperkuat promosi kesehatan dan pencegahan penyakit mulut. Maka dari itu diperlukan berbagai domain, seperti asesmen risiko, evaluasi kesehatan mulut, intervensi preventif, komunikasi, dan edukasi, serta praktik kolaborasi interprofesional.

Cara Integrasi Kesehatan Mulut ke dalam Layanan Kesehatan Primer

WHO “ Stewardship” dan Ahli Kesehatan Gigi
Kesempatan diciptakan lewat penatalayanan dari WHO untuk ekspansi pencegahan penyakit mulut dan promosi kesehatan, serta praktik di masyarakat lewat program masyarakat dan di layanan kesehatan. Hal ini termasuk implementasi program demonstrasi perawatan kesehatan mulut berbasis komunitas.

Menggabungkan Tenaga Kerja untuk Layanan Kesehatan Mulut
Direkomendasikan untuk menggabung tenaga kerja dalam formasi dokter gigi, dokter gigi spesialis, terapis gigi, ahli kesehatan gigi, asisten, ahli teknologi gigi, dan koordinator kesehatan gigi komunitas.

Model Layanan Inovatif
Spektrum program berupa membawa layanan gigi ke dalam setting medis dan komunitas dengan cara:

  1. Koordinasi dengan meningkatkan layanan oleh tenaga medis dalam hal layanan pencegahan kesehatan mulut dasar dengan kunjungan medis yang terkoordinasi dengan rujukan ke layanan gigi
  2. Lokasi bersama layanan kesehatan gigi di tempat praktik medis
  3. Integrasi pelayanan kesehatan gigi dengan tim layanan kesehatan melalui koordinasi kasus untuk kebutuhan restorasi gigi
  4. Telehealth yang didukung layanan kesehatan gigi

Kerangka Integrasi (Rainbow Model)

Rainbow model dikemukakan oleh Harnagea et al. (2018), dimana dimensi layanan terintegrasi terstruktur dalam 3 level dimana integrasi dapat diterapkan: level makro (sistem), level meso (organisasi), dan level mikro (klinis).

Level makro (integrasi sistem): Menggabungkan integrasi vertikal dan horizontal dapat meningkatkan penyediaan layanan yang berkesinambungan, komprehensif, dan terkoordinasi di seluruh rangkaian perawatan. Integrasi vertikal terkait dengan perawatan penyakit di level spesialisasi (berdasarkan penyakit) yang berbeda secara vertikal. Hal ini melibatkan integrasi perawatan antar sektor, seperti integrasi layanan kesehatan primer dengan layanan sekunder serta tersier. Sebaliknya, integrasi horizontal dilakukan dengan meningkatkan kesehatan individu dan populasi secara keseluruhan (holistik) oleh kolaborasi rekan dan antar sektor.

Level meso (integrasi organisasi): Integrasi organisasi merujuk pada layanan yang diproduksi dan diberikan dengan cara saling terkait. Hubungan interorganisasi dapat meningkatkan mutu, pangsa pasar, dan efisiensi. Contohnya dengan menggabungkan keterampilan dan keahlian dari organisasi yang berbeda.

Level meso (integrasi profesional): Integritas profesional merujuk pada kemitraan antara profesional, baik dalam (intra) dan antara (inter) organisasi. Kemitraan ini dapat dicirikan sebagai bentuk integrasi vertikal dan/atau horizontal.

Level mikro (integrasi klinis): Koordinasi layanan yang berfokus pada individu di sebuah proses tunggal lintas waktu, tempat, dan disiplin.

Integrasi fungsional: Menghubungkan level mikro-, meso-, dan makro. Integrasi fungsional termasuk koordinasi fungsi pendukung utama, seperti sumber daya manusia manajemen keuangan, perencanaan strategis, manajemen informasi, dan peningkatan mutu.

Integrasi normatif: Menghubungkan level mikro-, meso-, dan makro. Mengembangkan dan mempertahankan kerangka acuan umum antara organisasi, kelompok profesional, dan individu sehubungan dengan misi, visi, nilai-nilai, dan budaya bersama.

Selengkapnya dapat diakses melalui:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6618181/ 

 

 

Departemen emergensi rumah sakit diharuskan untuk menstabilkan dan merawat pasien dengan cedera atau sakit yang membahayakan nyawa, tanpa memperdulikan dampaknya pada kinerja rumah sakit. Ketika kebutuhan dari insiden dengan penyebab multipel atau kejadian emergensi lain melebihi kapasitas, rumah sakit akan meningkatkan suplai layanan kesehatan dengan cepat, hal inilah yang disebut sebagai surge capacity. Kejadian seperti ini dapat terjadi setiap minggu, bahkan setiap hari , dimana departemen emergensi beroperasi mendekati atau melebihi kapasitas di waktu puncak dan ketika kejadian dengan penyebab multipel terjadi lebih sering. Rumah sakit akan memberikan surge capacity ketika utilisasi sumberdaya sedang dibutuhkan, dimana hal ini terjadi ketika ada kejadian disruptif atau ketika pasien datang dalam jumlah yang banyak.

Menurut pemerintah Amerika Serikat, surge capacity merupakan kunci dari kinerja rumah sakit dan pembuat kebijakan mensyaratkan rumah sakit untuk memiliki program persiapan yang mengikutsertakan surge capacity yang adekuat. Keputusan operasional yang terlibat dalam manajemen surge capacity dapat dilihat dalam kerangka konseptual yang lebih besar dari manajemen emergensi, yang meliputi 4 fase, yakni persiapan (preparation), response (response), pemulihan (recovery), dan mitigasi (mitigation). Dalam fase persiapan, rumah sakit akan membangun kapasitas dan mengidentifikasi sumberdaya yang dapat digunakan saat emergensi. Dalam fase respons, rumah sakit akan merespon emergensi dan mengontrol efek negatifnya. Pada fase pemulihan, rumah sakit akan melanjutkan operasional secara normal. Terakhir, di fase mitigasi, rumah sakit akan mengambil langkah untuk mengurangi keparahan dan dampak dari emergensi terhadap operasinya.

Dalam studi yang dilakukan dalam penelitian ini, terdapat beberapa rumah sakit yang diwawancarai mengenai fase respon dan fase mitigasi yang menjelaskan bagaimana cara membuat keputusan tentang surge capacity. Dua strategi yang dipelajari untuk meningkatkan surge capacity dalam fase repson dan fase mitigasi, yakni: (1) koordinasi keputusan pemulangan antara departemen emergensi dan unit rawat inap selama fase respon dan (2) manajemen kebutuhan eletif di unit rawat inap lewat penghalusan beban kerja selama fase mitigasi. Dalam model yang dibentuk dan disimulasikan untuk menghitung dampak dari kedua strategi surge capacity, didapatkan bahwa kedua strategi dapat meningkatkan surge capacity.

Surge Capacity dan Respon terhadap Insiden

Peninjauan literatur terhadap berbagai studi kualitatif dan kuantitatif menghasilkan beberapa kesimpulan yang direkomendasikan, seperti memberikan patokan surge capacity sebesar 20%-30% dari kapasitas normal rumah sakit, melakukan 5 tahap rencana pemulangan untuk pasien yang tersedia berdasarkan risiko konsekuensial kejadian medis, dan proporsi rawat inap substansial dapat dipulangkan ke fasilitas keperawatan untuk meningkatkan surge capacity.

Keputusan Pemulangan dan Mekanisme Koordinasi Alur pasien

Keputusan pemulangan memberikan dampak bagi rumah sakit untuk menerima pasien dari departemen emergensi. Bukti dari studi yang dilakukan oleh Shi et. al (2015) dan KC dan Terwiesh (2017) mendemonstrasikan bahwa rumah sakit yang memberlakukan aturan pemulangan secara aktif mampu menerima pasien lebih banyak. Kurangnya koordinasi dari unit rawat ini merupakan penyebab penuhnya departemen emergensi dan lamanya rawat inap di departemen emergensi dikaitkan dengan lamanya pasien dirawat inapkan, sehingga koordinasi pemulangan pasien antara departemen emergensi dan unit rawat inap dapat meningkatkan surge capacity. Mekanisme seperti mempekerjakan manajer penempatan bed dan kontrol bed tersentralisasi, hingga sistem informasi real-time dan memperkirakan permintaan dapat digunakan.

Ketersediaan Bed Rawat Inap dan Mekanisme Penghalusan Beban Kerja

Usaha untuk memperhalus beban kerja rawat inap memerlukan 2 strategi, yakni admisi elektif dan optimisasi jadwal blok. Admisi elektif merupakan metode efektif untuk menurunkan variabilitas beban kerja rawat inap tanpa mengurangi volume keseluruhan. Ketika admisi yang terencana terlalu banyak, otomatis operasi yang direncanakan akan dijadwalkan ulang ke hari lain yang jumlah admisi terencana lebih rendah dibandingkan dengan biasanya. Implementasi admisi elektif terbukti dapat menurunkan luaran mutu yang tidak diharapkan, seperti diversi intensive care unit (ICU). Optimisasi jadwal blok pembedahan melibatkan 2 tahap yaitu memperkirakan penggunaan sumberdaya rawat inap post bedah dan informasi real time dan real space terkait ketersediaan kapasitas ruangan operasi. Prosedur penjadwalan blok terstandarisasi dapat mengurangi variasi kebutuhan bed rawat inap. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan Levine dan Dunn (2015) yang mengatur ulang 21% blok pembedahan dapat mengurangi okupansi puncak sebanyak 3% meski terdapat peningkatan 9% dari volume total.

Selengkapnya dapat diakses di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8759806/