Oleh:
Hanevi Djasri1, Novi Zein Alfajri2 dan Sugiarsih2
1Mewakili Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM, Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) dan Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA), 2Mewakili RS Akademik UGM
Konferensi ISQua dibuka secara resmi oleh Cliff Hughes (presiden ISQua) dan Jennifer Dixon (CEO), The Health Foundation serta juga Peter Lachman, CEO ISQua. Hughes menyatakan sangat senang dapat bekerjasama dengan The Health Foundation dalam penyelenggaraan ISQua tahun ini. The Health Fondation sendiri adalah badan amal di Inggris yang melakukan penelitian dan analisis kebijakan tentang pelayanan kesehatan. Badan Ini juga memiliki banyak program perbaikan untuk menerapkan berbagai ide-ide ke praktek sehari-hari dalam sistem kesehatan di Inggris. Badan ini juga banyak memberikan dukungan dalam mengembangkan kepemimpinan serta menyebarluaskan berbagi evidence untuk mendorong perubahan yang lebih luas. Atas dasar ini maka Jennifer juga merasa senang karena dapat berbagi pengalaman The Health Foundation tentang berbagai aspek dalam meningkatkan mutu dalam sistem kesehatan nasional.
Berikut ini adalah beberapa catatan dari pertemuan hari I oleh tim penulis reportase juga dari berbagai catatan kecil para delegasi Indonesia.
How Stories of Safety, Quality and Culture Form the DNA of Care?
Sesi morning plenary ini merupakan sesi pertama pasca pembukaan acara. Sesi ini disampaikan oleh Pip Hardy, seseorang yang sangat peduli dengan safety dan quality. Berawal dari beberapa kisah yang dialami dalam hidupnya yang menimpa ayahnya, saudaranya yang pernah dirawat di rumah sakit namun hasilnya tidak memuaskan dan berakhir pada kematian yang tidak diinginkan. Sejak itu Pip Hardy sangat concern terhadap budaya safety dan mutu pelayanan.
Menurutnya, pengalaman pasien sangat penting untuk digali dan tidak cukup didengarkan dan dikoleksi saja, namun harus ada upaya untuk merefleksinya. Meminta pasien bercerita akan lebih bisa menggali pengalamannya selama mendapatkan pelayanan dibandingkanmereka diminta mengisi kuesioner. Ada tiga poin penting untuk merefleksikan pengalaman yang diceritakan pasien:
- Efektif: Apa yang Anda pikirkan?
- Afektif: Apa yang Anda rasakan?
- Refleksi: Apa yang akan Anda lakukan?
Dengan model tersebut, semua pengalaman yang disampaikan pasien dapat menjadi dasar pengembangan pelayanan terutama dalam peningkatan budaya mutu pada level pelayanan kesehatan.
Secara teknis disampaikan bagaimana merefleksikan pengalaman pasien, yaitu:
- Libatkan pasien dalam asuhannya
- Tempatkan pasien adalah yang terpenting dalam pelayanan
- Dengarkan cerita dan pengalaman pasien
- Belajar dari cerita pasien
- Refleksikan cerita pasien
- Diskusikan pengalaman pasien,
- Tingkatkan Interprofesional colabborative practice
- Kembangkan penelitian
- Tingkatkan budaya mutu dan keselamatan pasien
- Rencanakan sebuah perubahan
Kutipan kalimat yang sangat penting dari Pip Hardy: “ Jika kita ingin membentuk budaya keselamatan, budaya kemanusiaan, budaya mutu, kemudian akan menjadi sangat penting untuk mengerti siapa individu yang akan membentuk budaya tersebut”.
Catatan tambahan:
- Perbedaan antara hear dengan listen (mendengar dan mendengarkan) adalah perlu skill untuk belajar mendengarkan (dari Viera Wardani)
- Patient Voices sebagai bagian dari PCC, gunakan motto yang saat ini sering dipakai oleh BPJS Kesehatan: “Bila Pasien itu adalah Saya” (dari Nico Lumenta)
- Intinya: Safety, Quality & Culture form the DNA of Care – Pip Hardy (dari Nico Lumenta)
- Konsep menggali pengalaman pasien juga berlaku dalam menggali pengalaman para klinisi untuk perbaikan sistem. Para klinisi sering menyatakan tidak pernah diperhatikan oleh manajemen...”gak pernah diajak ngobrol” ….tentu tidak semua RS seperti ini (dari Hanevi Djasri)
- If staff have a bad day, patient will get the worst day - Peter lachman, ISQua CEO (dari Widyarsih Oktavia)
- Berbagai contoh bagaimana menggali pengalaman pasien dapat diperoleh di www.patientvoices.org.uk (dari Hanevi Djasri)
Patient Safety, System Safety, And Organizational Resilience
Sesi ini disampaikan oleh Charles Vincent (United Kingdom), Rebecca Lawton (United Kingdom), Christian Von Plessen (Denmark), Jeffrey Braithwaite (Australia).
Diskusi dilaksanakan secara panel dengan narasumber adalah para ahli patient safety dengan bahasan tentang ketahanan dan keberlangsungan patient safety yang menekankan pada pendekatan yang lebih proaktif dan positif. Tujuan sesi ini untuk mengeksplorasi implikasi praktis dari gagasan dalam hal kepemimpinan, budaya, intervensi untuk meningkatkan keselamatan dan kebijakan keselamatan. Pada sesi ini, para ahli dalam panel (panelist) mengeksplorasi secara rinci dan mendiskusikan teori, metode dan praktik bersama tentang keselamatan pasien dengan memberikan kesempatan untuk pertanyaan dan diskusi dengan peserta yang hadir. Sesi diawali dengan pemaparan materi dari para narasumber, dilanjutkan sesi diskusi dan ditutup dengan penekanan isu oleh para narasumber.
Pemaparan diawali dengan 4 tema yang terus berdengung (beresonansi) dalam patient safety, yaitu :
- Analisis insiden: apa yang dapat kita pelajari?
Perlunya memperhatikan kondisi pekerjaan dan faktor organisasi sebagai determinan kritis dari patient safety. Insiden dapat dimanfaatkan untuk mengkaji ketahanan.
- Dari Insiden menuju pekerjaan sehari-hari, dicontohkan dalam praktik bedah, banyaknya kegagalan dalam proses asuhan, dengan kondisi pekerjaan yang sangat menantang, lingkungan pekerjaan yang konstan, kajian dari insiden akan membantu untuk merumuskan langkah antisipasi, kompensasi, dan penyelamatan pasien dan problemnya. Dalam tema ini ditambahkan bahwa tim dapat menciptakan safety melalui:
- Komunikasi : kuantitas dan kualitas pertukaran informasi antar anggota tim
- Kepemimpinan : adanya arahan, ketegasan, dan dukungan antar anggota tim
- Dukungan/kerjasama saling menguntungkan : antar anggota tim saling membantu, memberi dukungan, dan memperbaiki kesalahan
- Pemantauan tim/kesadaran terhadap situasi: observasi tim dan kesadaran atas proses yang berlangsung
- Koordinasi tim: manajemen dan pengaturan waktu atas aktivitas dan tugas
- Ketahanan dan ketergantungan yang terlalu besar pada ketahanan. Dalam hal ini, dapat terjadi risiko overuse/misuse. Ketahanan terhadap patient safety bukanlah tentang sesuatu yang Anda miliki, tetapi sesuatu yang Anda lakukan.
- Mengadaptasi strategi ke dalam konteks.
Kerangka Kerja Strategi dan Intervensi Keselamatan
Pada sesi ini juga disampaikan tentang manajemen risiko menjadi berisiko bila :
- Menganggap bahwa aturan telah ditaati
- Mengabaikan peringatan/tanda bahaya
- Kehilangan kepedulian staf
Sesi diskusi banyak membahas tantangan implementasi patient safety terkait upaya merekonsiliasi Work-as-done (WAD) dengan Work-as-imagine (WAI). Salah satu rekomendasi untuk rekonsiliasi adalah mengubah cara monitoring dari “monitoring of people” menjadi “monitoring with people”. Human system memang lebih kompleks dari banking system atau sistem-sistem lain sehingga membutuhkan waktu dan sumber daya yang besar.
Di akhir sesi, ditutup dengan penekanan poin penting dari bahasan sesi dengan beberapa rekomendasi untuk mempromosikan patient safety, antara lain :
- Studi/kajian/riset harus diaplikasikan dalam level praktik
- Penting untuk melibatkan frontliner staffs dalam upaya patient safety. Leadership dibutuhkan untuk membantu staf memahami situasi, aturan yang ada, dan membantu mereka mengatasi hambatan-hambatan dalam bekerja
- Penting untuk membangun kelekatan dengan dokter serta pasien dan keluarga
Using Data Analysis to Guide Quality Improvement in Primary Care
Sesi ini disampaikan oleh Sarah Deeny, Isaac Barker, Rebecca Rosen dan Rebecca Fisher dari Inggris. Sesi ini memberi contoh mengenai inovasi penggunaan analisis data dalam perawatan primer di Inggris untuk membantu meningkatkan kualitas.
Seperti juga di Indonesia dan negara-negara lain, perawatan primer di Inggris berada di bawah tekanan, antara lain keadaan dimana para pasien yang menjalani perawatan primer semakin membutuhkan perawatan untuk kondisi kronis sehingga meningkatkan kompleksitas kebutuhan pasien. Di sisi lain sistem kesehatan juga berusaha memindahkan pengobatan pasien dari perawatan sekunder ke perawatan primer.
Dengan tekanan tersebut dan keterbatasan sumber daya (dana dan tenaga kerja) maka diperlukan berbagai inovasi dalam peningkatan mutu. Pembicara menyajikan hasil penelitian terbaru tentang bagaimana analisis data dalam praktik umum dapat digunakan untuk memandu metode peningkatan kualitas dengan berbagai cara. Analisa yang dilakukan termasuk mengidentifikasi segmen populasi yang membutuhkan pendekatan alternatif untuk perawatan, evaluasi kegiatan peningkatan kualitas, dan termasuk pencapaian target perbaikan serta hasil pasca intervensi.
Data pelayanan primer di Inggris terutama berasal dari e-health record nasional yang sudah berjalan cukup baik serta juga berasal dari clinical commissioning group (CGC) yang membawahi kelompok-kelompok GP di Inggris. Data lain berasal dari data di masing-masing GP. Meski memiliki banyak sumber data namun sistem analisa data belum terintegrasi, bahkan meski GP berasal dari CGC yang sama.
Untuk itu, saat ini Inggris sedang memperbaiki sistem analisa data layanan primer untuk meningkatkan mutu dengan memastikan terwujudnya beberapa hal di bawah ini sebagai kunci keberhasilan, yaitu:
- Tata kelola informasi dan kemampuan IT
- Dukungan untuk memanfaatkan data dalam perbaikan
- Memilih dengan hati-hati target perbaikan
- Pengorganisasiannya
- Memastikan semua pedoman, pelatihan dan template tersedia
Berdasarkan penjelasan para pembicara maka dapat diusulkan bagi Indonesia agar sistem infomasi puskesmas (Simpus) dan juga P-Care dapat dikembangkan lebih lanjut untuk dapat dimanfaatkan dalam peningkatan mutu.
Enabling Clinician-Led Quality Improvement: Mixed-Methods Finding from the EPOCH Trial
Sesi ini disampaikan oleh Carol Peden dari USA, Tim Stephen dan Graham Marthin dari Inggris. Dalam sesi ini, dijelaskan tentang sebuah penelitian peningkatan kualitas pelayanan pada perawatan peri operatif pasien beresiko tinggi.
Studi tentang The Enhanced Peri-Operative Care for High-Risk Patient (EPOCH) adalah sebuah penelitian tentang upaya peningkatan kualitas pelayanan yang dilakukan secara global dan melibatkan 27.000 pasien dari 90 rumah sakit di Inggris. Uji coba dilakukan dengan 2 tahapan, yang pertama adalah analisis data dari intervensi yang dilakukan dengan cluster randomised trial, dan dilanjutkan perbaikan sistem pada 90 rumah sakit tersebut. Sesi ini menjawab pertanyaan penelitian besar yang dirumuskan yaitu apakah upaya peningkatan kualitas (Quality Improvement) dapat diterapkan pada jalur perawatan untuk mengurangi kematian pada pasien post operasi abdominal emergency. Sesi ini membahas kedua hasil penelitian yang menggabungkan hasil uji coba kuantitatif utama dengan etnografi dan memproses data evaluasi untuk menggambarkan dan menganalisis bagaimana para dokter memimpin proses quality improvement dan dilakukan secara bertahap di rumah sakit.
Carol Peden menyampaikan bahwa upaya Quality Improvement (QI) yang melibatkan dokter klinisi harus didukung dengan komunikasi yang sangat intens. Berikut adalah faktor penting pada upaya QI :
- Keterlibatan stakeholders
- Bentuk tim QI dengan melibatkan klinisi
- Gunakan pendekatan PDSA
- Penentuan segmen/area yang jelas
- Komunikasi yang sangat intens terhadap provider dengan menggunakan telepon atau email
- Monitor progres program dengan “runchart”
- Lakukan pertemuan pada minggu ke 14-16 untuk evaluasi
- Berikan feedback pada provider
Di Indonesia, belum banyak dokter klinisi yang terlibat banyak dan belum adanya budaya Quality Improvement terutama pada proses/jalur perawatan pasien. Hal ini mungkin membutuhkan sebuah sistem yang membuat para klinisi terlibat melakukan upaya peningkatan kualitas pelayanannya dan menjadikannya sebuah budaya di level mikro sistem. Dari hasil penelitian tersebut maka dapat direkomendasikan bahwa keterlibatan dokter dalam upaya Quality Improvement dapat ditingkatan dengan cara meningkatkan komunikasi antara manajemen dan dokter atau provider, membentuk tim Quality improvement, lakukan evaluasi secara periodik. Lima hal penting dalam upaya Quality improvement dari penelitian tersebut adalah Team, data, segmen, Engage, PDSA.
Hospital accreditation policy: The hospitals’ strategic response and perceived cost benefit
Catatan oleh: Viera Wardhani
Sesi ini merupakan sesi pre-conference yang diselenggarakan pada 1 Oktober, dsampaikan oleh Delegasi Indonesia dari MMRS Universitas Brawijaya, Viera Wardhani sebagai bagian pre conference dengan judul External Evaluation: Where Does the Solution Lie, the Carrot, the Stick or the Consumer?
Sesi ini menjelaskan bahwa transisi filosofi dan alasan mendasar yaitu menjadikan mekanisme evaluasi eksternal sebuah keharusan karena kita menginginkannya. Ide dasar kebijakan akreditasi sebagai bagian dari evaluasi eksternal adalah untuk memberikan perlindungan bagi kepentingan publik. Berbagai sisi evalusi eksternal telah berkembang seperti pengukuran kinerja organisasi, akreditasi pada institusi pendidikan tenaga kesehatan, regulasi profesi, dan yang paling penting adalah keterlibatan pasien pada semua aspek evaluasi.
Apakah ini berhasil? Kuncinya adalah penyelarasan dan evaluasi berkelanjutan terhadap sistem itu sendiri, kita harus ingat bahwa semuanya akan kembali pada pasien.
Apa yang masih perlu kita lakukan adalah penyelarasan berbagai sistem evaluasi eksternal mulai dari registrasi, lisensi, setifikasi, akreditasi tidak hanya pada berbagai level penyedia pelayanan kesehatan tetapi juga pada berbagai komponen (penyelenggara pendidikan), organisasi profesi untuk sama2 mengarah pada membangun mutu dan keselamatan pasien. Disamping itu juga perlu mengembangkan mekanisme reporting kinerja yang dapat diakses untuk tujuan pencegahan (ini bisa lembaga independen) dan membangun keterlibatan pasien dengan program pemberdayaan secara masif.
Massive Ageing Worldwide: Challenging and Reshaping Healthcare Quality and Safety
Catatan oleh: Djoni Darmadjaja
Gambar 1: Djoni Darmadjaja dan seluruh delegasi KARS pada ISQua 2017
Sesi ini juga merupakan sesi pre conference yang diselenggarakan pada 1 Oktober. Disampaikan oleh Jeffrey Braithwaite, René Amalberti dan Wendy Nicklin dari ISQua dalam bentuk semi-workshop, dimana para peserta dibagi dalam berbagai kelompok diskusi dengan pengantar dengan adanya peningkatan populasi lansia pada 20-30 tahun ke depan maka akan berdampak pada standar pelayanan kesehatan dan pada prinsip mutu serta keselamatan pasien.
Terdapat 7 tantangan yang akan dihadapi yaitu:
1. Konsekuensi dari program preventive medicine adalah meningkatnya usia harapan hidup sehingga populasi lansia akan terus meningkat jumlahnya.
2. Meningkatnya kebutuhan akan pelayanan akut di RS
3. Meningkatnya kebutuhan home care bagi pasien lansia akibat kebijakan rapid discharge yang diterapkan RS
4. Meningkatnya jumlah lansia yang tinggal sendiri di rumah mereka
5. Meningkatnya masalah keseehatan mental pada lansia karena penurunan fungsi kognitif
6. Bnayak perubahan pada metode pelayanan terkait kemajuan di bidang IT
7. Perlunya perubahan dalam pengaturan dan kepemimpinan dalam sistem pelayanan kesehatan
Worshop pada grup Asia Tenggara yang diikuti penulis, berhasil membuat ranking prioritas masalah yaitu tantangan no 7 merupakan prioritas pertama (ternyata hampir semua grup juga beranggapan sama), sedangkan untuk prioritas kedua adalah meningkatnya kebutuhan home care, prioritas ketiga adalah meningkatnya lansia yang tinggal sendiri di rumah.
Seluruh prioritas tersebut mengharuskan kita mulai berpikir untuk kembali memperkuat sistem pelayanan primer
Habits of an Improver
Catatan Hendra dan Ayu (Delegasi RSCM)
Pada sesi ini pembicara terus-menerus mengingatkan bahwa seorang Improver harus memiliki the culture of Humanity atau budaya kemanusiaan baik ketika melayani pasien ataupun melayani staf di sekitar kita.
Salah satu contoh the culture of humanity yang kemarin disampaikan adalah kebiasaan menanyakan ke pasien atau staf di sekitar kita tentang Hal Apa Yang Penting untuk Anda? (What matters for you?).
Hal tersebut bukan dilakukan dengan menyebarkan kuisioner kepuasan kepada staf atau meminta pasien mengisi form kepuasan, tapi dilakukan dengan betul-betul mewawancarai pasien atau staf tentang pengalamannya di RS dan apa yang paling penting untuk dirinya terkait hal tersebut.
Salah satu narasumber (Peter Lachman, ketua panitia) meminta kami untuk mengingat kembali hal-hal yang penting untuk diri kita tapi bukan terkait layanan kesehatan. Saya langsung teringat bagaimana pengalaman proses kami check in dan sarapan di hotel di hari sebelumnya.
(orang Inggris itu bawaan oroknya sudah ramah dan suka bercanda Ya... ramah sudah jadi culture of humanity-nya orang UK)
Kembali lagi ke hotel,
Ketika kami check in sebagaimana standar umumnya ditanya pesanan dan juga passport, tapi kemudian setelah semua selesai si resepsionis, Elizabeth, menanyakan ke kami "is this your first time in London??" kami jawab "Ya"
Dan kemudian dia memberikan peta London sambil berkata "Mungkin ini berguna untuk Anda".
WOW, sebegitu perhatiannya...
Tapi cerita belum selesai sampai disitu, Setibanya saya di kamar hotel ada hal kecil yang mereka lakukan tapi sangat berkesan, di TV Kamar terdapat tulisan besar"WELCOME MR. FIRMANSYAH"
Tidak lama kemudian telepon kamar berbunyi, ternyata dari resepsionis tadi (Elizabeth) dia menanyakan bagaimana kamarnya apakah sesuai harapan, dan dia bertanya:
"is there anything else i can do for you, to make your day better?"
"No, thank you (its already BEST not better , Dalam hati)"
Rasanya gimana gituh..
Walaupun sekedar tulisan dan telepon menanyakan bagaimana kamarnya, tapi bikin GR dan jadi infinite experience untuk saya
Selesai keramahan mereka?? BELUM
Besok paginya kami sarapan di hotel dan tentu saja ditanya dari kamar berapa dan berapa orang, kemudian kami diantar ke meja makan kami, dan KEMBALI LAGI ditanya "ini pertama kali Anda Sarapan disini??" "Ya"
Kemudian dia menjelaskan bagaimana cara memesan makanan dan makanan serta minuman apa saja yang ada disana. WOW.. kembali saya mendapatkan infinite experience dan merasa sangat dihargai atau 'dimanusiakan'.
Kami merasa jangankan di RS, di hotel saja di Indonesia kami belum mengalami hal seperti ini.
Tidak juga selesai sampai disitu kita juga sudah berfikir jika hal yang elok itu dapat diterapkan di RS kita di indonesia artinya kita seluruh staf warga rumah sakit harus juga siap kebanjiran pekerjaan baru yang sesungguhnya hal itu betul-betul harapan mereka sebagai pelanggan kita.
Sepertinya harus ada yang mengelola hal ini dikemas menjadi lebih bagus untuk di implementasikan. Singkat cerita mutu sesungguhnya sangat mengagumkan.