Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Penulis: Andriani Yulianti (Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK KMK UGM)

Perkembangan kasus Covid-19 khususnya pada ibu hamil sangat memprihatinkan. Ibu hamil memiliki peningkatan risiko menjadi berat apabila terinfeksi Covid-19, terlebih pada Ibu hamil dengan kondisi medis tertentu. POGI menyebutkan bahwa 72 persen ibu hamil yang terpapar Covid-19 terjadi di usia kehamilan 37 minggu, dan sebanyak 4,5 persen dari total jumlah ibu hamil yang terkonfirmasi positif Covid-19 membutuhkan perawatan di ruang ICU, sedangkan 3 persen dari ibu hamil yang positif Covid-19 meninggal dunia.

Sebelum adanya Covid-19 sebagian besar penyebab kematian ibu merupakan kematian dengan penyebab langsung, misalnya perdarahan dan penyebab tidak langsung seperti komplikasi hipertensi, disusul perdarahan obstetric atau infeksi, saat ini bergeser menjadi kematian ibu hamil karena terpapar Covid-19. Data juga menunjukkan bahwa Lebih dari separuh Ibu yang dites positif Covid-19 dalam kehamilan tidak memiliki gejala sama sekali, tetapi beberapa Ibu hamil bisa mendapatkan penyakit yang mengancam nyawa dari Covid-19 jika memiliki kondisi medis tertentu.

Pada ibu hamil dengan gejala Covid-19, berpotensi dua kali lipat kemungkinan bayinya lahir lebih awal, sehingga berisiko bayi lahir secara prematur. Ibu hamil yang dites positif Covid-19 pada saat melahirkan lebih mungkin berkembang menjadi pre-eklampsia, dan bahkan memerlukan operasi caesar darurat dan risiko lahir mati dua kali lebih tinggi. Ibu hamil dengan Covid-19 juga memiliki risiko komplikasi tertentu yang lebih tinggi dibandingkan Ibu tidak hamil dengan Covid-19 pada usia yang sama, antara lain: Peningkatan risiko (sekitar 5 kali lebih tinggi) sehingga perlu dirawat di rumah sakit. Peningkatan risiko (sekitar 2-3 kali lebih tinggi) membutuhkan perawatan di unit perawatan intensif. Peningkatan risiko (sekitar 3 kali lebih tinggi) membutuhkan ventilasi invasif (breathing life support).

Covid-19 selama kehamilan juga meningkatkan risiko komplikasi pada bayi baru lahir, antara lain: Risiko yang sedikit meningkat (sekitar 1,5 kali lebih tinggi) lahir prematur (sebelum 37 minggu kehamilan). Peningkatan risiko (sekitar 3 kali lebih tinggi) membutuhkan perawatan di unit perawatan bayi baru lahir di rumah sakit (Allotey et al, 2020)

Dengan mempertimbangkan semakin tingginya jumlah ibu hamil yang terinfeksi Covid-19 dan tingginya risiko bagi ibu hamil dan menyusui apabila terinfeksi Covid-19 menjadi berat dan berdampak pada kehamilan dan bayinya, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan akses pemberian vaksinasi Covid-19 bagi ibu hamil dan menyusui. Data terbaru dari Central of Disease Control (CDC) mengemukakan bahwa vaksin aman dan efektif untuk ibu hamil dan menyusui, terlebih saat ini kita dihadapkan pada varian Delta yang sangat menular. Sebuah analisis dari CDC juga menilai bahwa vaksinasi di awal kehamilan aman dan tidak menemukan peningkatan risiko keguguran di antara hampir 2.500 Ibu hamil yang menerima vaksin mRNA Covid-19 sebelum 20 minggu kehamilan, vaksin juga aman untuk ibu hamil yang divaksinasi di akhir masa kehamilan maupun untuk bayinya.

Vaksinasi adalah cara terbaik untuk melindungi ibu dan bayi dari risiko Covid-19, termasuk resiko ibu hamil masuk ke perawatan intensif dan kelahiran bayi prematur. Di Indonesia, sejak tanggal 2 Agustus 2021 sudah dapat dimulai pemberian vaksinasi Covid-19 bagi ibu hamil dengan prioritas pada daerah risiko tinggi. Vaksin yang dapat digunakan untuk ibu hamil ini adalah vaksin COVID-19 platform mRNA Pfizer dan Moderna, dan vaksin platform inactivated Sinovac, sesuai ketersediaan.

Namun, untuk memperkuat kebijakan tersebut perlu diperhatikan beberapa hal mengenai: 1) Untuk keperluan perencanaan stratejik, usulan jumlah vaksin yang akan dialokasikan untuk ibu hamil sebaiknya berdasar proyeksi tahunan bumil keseluruhan, tidak memandang umur kehamilan. 2) Mengaktifkan kembali program pendamping ibu hamil sehingga ada yang mengawal bumil, tidak hanya dari sisi pelayanan vaksinasinya saja tetapi bisa diperluas untuk layanan informasi dan bantuannya. 3) Ada alternatif jadwal pelayanan vaksinasi yang lebih fleksibel, tidak harus dipusatkan di satu waktu/tempat, terpenting terjadwal dengan baik dan ada yang memonitor (Pendamping Bumil). 4) Kebijakan pendamping Ibu Hamil dan uraian tugasnya dapat dilakukan oleh Bidan Desa di dekatnya, Kader, atau suami. Pendamping tersebut berperan sebagai penghubung antara Bumil dengan Fasyankes pengampu. (Rukmono, 2021)

Semua ibu hamil kita harapkan mendapatkan akses vaksin, memiliki vaksin sampai dengan dosis kedua bagi ibu hamil sangat penting agar mendapatkan perlindungan optimal terhadap Covid-19, Dua dosis memberikan perlindungan yang baik terhadap Covid-19, termasuk terhadap strain Delta. Pemberian dosis tunggal tidak seefektif dibandingkan pemberian dua dosis dalam mencegah infeksi Covid-19, namun dapat mengurangi risiko penyakit yang lebih parah. Semoga semua ibu mendapatkan akses vaksin yang merata, dan pemerintah daerah maupun pusat dapat mempercepat skema percepatan pemberian vaksin pada semua ibu hamil tanpa terkecuali.

Sumber:

 

 

Penulis: Eva Tirtabayu Hasri (Peneliti Divisi Manajemen Mutu PKMK FK KMK UGM)

2 ags

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FKKMK UGM tetap produktif menyelenggarakan pelatihan ditengah pandemi, ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan, perguruan tinggi dan peneliti untuk meningkatkan mutu pelayanan.

Berbagai pelatihan yang sering dibutuhkan terkait koding, klaim, rekam medis, kendali mutu kendali biaya, audit klinis dan lainnya. Pelatihan ini dibutuhkan karena beberapa rumah sakit belum dibayar, khususnya pada pasien Covid-19.

PKMK akan selalu menyediakan pelatihan untuk terus meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, pelatihan ini juga diselenggarakan dalam bentuk in house training. Saat ini semua pelatihan diselenggarakan secara daring (online). Dirasa memang terdapat keuntungan dan kelemahan pelatihan daring.

Keuntungan pelatihan online dapat meminimalisasi biaya, dapat belajar dari tempat manapun, tidak terpatok oleh waktu. Namun juga punya kelemahan, panitia tidak dapat mengetahui secara pasti apakah peserta benar-benar mengerti dengan pelajaran yang telah diberikan karena pre dan post-test saja tidak cukup untuk menilai hal tersebut.

2 ags1

2 ags1

Semoga pandemi segera berlalu dan salam sehat

Reporter: dr. Novika Handayani

6ags 1

Pada tanggal 27 Juli 2021, Tim Mitigasi PB IDI dan Project HOPE mengadakan webinar dengan tema “Update Tata Laksana PPI Terkait Perlindungan dari Varian Baru Covid-19”. Hal ini dilatarbelakangi oleh semakin tingginya kasus Covid-19 di Indonesia, yang memberikan dampak kepada keselamatan tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19 dan berakibat meningkatnya tenaga kesehatan yang gugur dalam masa pandemi ini. Hingga saat ini, jumlah dokter yang gugur dalam pandemi ini sudah mencapai 640 orang (data 3 Agustus 2021 oleh Tim Mitigasi PB IDI).

Fasilitator pertama yaitu dr. Agustina, Sp.Ok dari Tim Mitigasi PB IDI bidang standarisasi dan pedoman menyampaikan bahwa saat ini Tim Mitigasi berencana memperbarui kembali “Pedoman Standar Perlindungan Dokter di Era Pandemi Covid-19” edisi kedua yang terbit bulan Februari lalu, menyesuaikan dengan kondisi terkini Covid-19 di Indonesia. Diketahui bahwa transmisi Covid-19 kepada dokter paling banyak terjadi saat dokter melakukan tindakan aerosol seperti intubasi dan ekstubasi, lalu dokter yang melakukan pengambilan spesimen pernafasan dan otopsi pasien suspek/probable/konfirmasi Covid-19. Transmisi tidak hanya didapatkan di tempat bekerja tetapi juga di perjalanan, di kehidupan sosial maupun saat melaksanakan rapat. Standar perlindungan pada dokter didasarkan pada hierarki pengendalian risiko transmisi dengan cara eliminasi, substitusi, penegendalian teknik, pengendalian administratif dan Alat Pelindung Diri (APD). Selain itu dilakukan juga pengendalian sekunder bagi dokter yang sudah terinfeksi Covid-19 agar tidak terjadi perburukan kondisi. Fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan diminta mematuhi cara-cara pengendalian transmisi untuk varian yang lebih infeksius ini.

Failitator kedua yaitu dr. Ariyani, Sp.PK dari Pengurus Pusat PERDALIN menjelaskan tentang interim guidance terbaru dari WHO yang terbit pada Juli 2021 yaitu “Infection Prevention and Control During Health Care When Covid-19 is Suspected or Confirmed” yang terdiri dari poin-poin penting untuk melindungi tenaga kesehatan. Salah satunya adalah perlunya Tim PPI di rumah sakit untuk membuat kebijakan, panduan dan SPO mengikuti situasi Covid-19 terkini. WHO Global Surveillance System mencatat 2,5% kasus Covid-19 pada tenaga Kesehatan sampai dengan Februari tahun 2021. Selain itu, dari sebuah systematic review yang meninjau 27 studi didapatkan insidensi infeksi pada tenaga kesehatan sebesar 0,4% sampai dengan 49,6%. Program PPI terdiri dari enam poin yaitu: 1. Pelaksanaan kewaspadaan isolasi (standar dan transmisi); 2. Surveilans HAIs (Healthcare-Associated infections); 3. Pelaksanaan bundles; 4. Pemakaian antibiotic secara bijak; 5. Diklat PPI dan 6. ICRA (Infection Control Risk Assesment).

Materi terakhir disampaikan oleh dr. Ronald Irwanto, Sp.PD-KPTI, FINASIM yang menjelaskan bagaimana mempraktikan PPI di pelayanan. Beliau menegaskan bahwa protokol kesehatan sesuai anjuran WHO dan CDC baik yang diterapkan di komunitas ataupun di fasilitas pelayanan kesehatan tidak ada perubahan berarti, walaupun dengan adanya varian-varian baru. Beliau membuat kerangka kerja berdasarkan tiga kendali, yaitu kendali host, kendali lingkungan dan kendali administratif. Kendali host seperti meningkatkan vaksin, baik bagi masyarakat dan tenaga kesehatan, mematuhi protap pemakaian APD dan pemulasaran jenazah Covid-19. Kendali lingkungan seperti tata kelola ruangan-ruangan seperti IGD, ICU, pengambilan spesimen, laboratorium dan lain-lain. Sedangkan kendali administrasi melingkupi pelaksanaan triase, alur pelayanan, contact tracing dan grading tenaga kesehatan terkait infeksi Covid-19.

Sebuah studi oleh Langford et al, 2020 mengungkap bahwa infeksi sekunder bakterial jarang terjadi pada Covid-19 dan antibiotik tidak digunakan secara rutin pada tatalaksana Covid-19. Berbagai studi juga menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang mendukung manfaat penggunaan Azitromisin pada pasien Covid-19 dan tidak ada bukti benefit klinis apabila digunakan pada pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit. Penggunaan antibiotik pada pasien Covid-19 terbatas digunakan hanya untuk pasien yang terbukti mengalami infeksi bakterial sekunder. Materi dan video dapat Anda download pada tautan di bawah ini.

Link Terkait:

 

 

 

Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak pada upaya penanganan kesehatan esensial termasuk upaya pengendalian pencegahan penyakit hepatitis, diketahui bahwa penyakit hepatitis masih merupakan masalah kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. Bahkan secara Global Khusus di Indonesia, jumlah penderita penyakit hepatitis sebanyak 18 juta orang dan penderita hepatitis C sebanyak 2,5 juta orang, sedangkan perkembangan program penanganan hepatitis pada 2020 telah dilakukan di 470 kabupaten/kota dan telah melaksanakan deteksi dini hepatitis B pada ibu hamil.

Pada peringatan Hari Hepatitis Sedunia tahun 2021, merupakan momentum untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian dan tindakan nyata secara global, regional, maupun nasional dalam mengurangi beban hepatitis di masyarakat, salah satunya melalui upaya untuk menjamin kehidupan sehat ibu dan anak melalui ANC sesuai standar, termasuk deteksi dini hepatitis B yang diderita ibu, karena Hepatitis B berisiko menular secara horizontal maupun vertikal dari ibu ke anak. Hal ini sejalan dengan tema hari hepatitis di Global, dan Indonesia mengusung tema “Segera Tangani Hepatitis”

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nurhidayati, dkk (2019) mengenai Faktor Risiko Hepatitis B Pada Ibu Hamil di Kota Makassar Tahun 2019. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis besar faktor risiko terjadinya Hepatitis B pada ibu hamil. Metode Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik, menggunakan studi kasus kontrol dengan besar sampel sebanyak 148 orang terdiri atas 74 orang untuk kelompok kasus dan 74 orang untuk kelompok kontrol dengan perbandingan kasus kontrol 1:1. Sampel yang diambil adalah ibu yang telah melakukan pemeriksaan kesehatan di wilayah kerja puskesmas Kota Makassar tahun 2019 secara purposive sampling.

Kesimpulan dari penelitian ini menemukan bahwa riwayat transfusi darah dan riwayat tinggal serumah dengan penderita hepatitis B merupakan faktor yang paling signifikan berisiko terhadap kejadian kepatitis B pada ibu hamil, serta menyarankan kepada puskesmas yang ada di wilayah kerja Dinas kesehatan untuk meningkatkan screening Deteksi Dini Hepatitis B (DDHB) agar mata rantai penyebaran virus hepatitis B dapat diputus, dan mencapai target program Nasional zero Hepatitis B tahun 2030.

sekengkapnya pada jurnal berikut