Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Surabaya Health Season (SHS) 2014 - sebagai acara tahunan dalam memperingati hari jadi kota Surabaya – berakhir. Acara yang berlangsung sekitar 1,5 bulan ini sejak 13 April lalu menyebutkan bahwa sejumlah fasilitas kesehatan seperti 58 rumah sakit (RS), klinik kesehatan, 62 puskesmas dan laboratorium ikut mensukseskan acara yang juga bertujuan menjadikan Surabaya sebagai Kota Wisata Kesehatan.

Selama ini kota wisata kesehatan biasanya identik dengan Singapura maupun Penang di Malaysia. Berbagai RS dan Klinik kesehatan dari LN itu bahkan seringkali mengiklankan diri di media massa besar di Indonesia dengan orang-orang kaya kita yang menjadi pasar potensial mereka. Jutaan orang kaya Indonesia yang berobat ke LN setiap tahunnya memang potensi luar biasa yang belum tergarap oleh kita sendiri.

Ternyata pernyataan Wagub Jatim dalam sebuah acara di Malang pada 27 September 2010, yang mengungkapkan bahwa larinya dana dari orang kaya di Jawa Timur ke luar negeri (LN) sebesar Rp 2 trilyun per tahunnya masih cukup relevan. Dengan beragamnya alasan mengakses pelayanan kesehatan atau berobat ke LN bagi setiap orang maka dapat diprediksi secara kasar bahwa ada kemungkinan puluhan triliun rupiah dari seluruh negara ini yang lari ke berbagai negara lain.

Langkah Berani

Di tengah masih banyaknya komplain terhadap mutu pelayanan kesehatan yang dianggap masih belum baik serta adanya ketidakpercayaan (distrust) terhadap kemampuan RS dan dokter bangsa sendiri maka keberanian Surabaya yang mendeklarasikankan sebagai kota wisata kesehatan menjadi sebuah langkah yang pantas diacungi jempol.

Menurut hemat penulis, SHS menjadi salah satu cara menterjemahkan mimpi besar untuk menjadikan layanan kesehatan khususnya di Surabaya menjadi layanan kelas dunia (the world class health care) yang sampai sekarang belum banyak digagas oleh pemerintah daerah lainnya. Apalagi pada momen SHS tahun 2012 lalu juga sudah dicanangkan kota yang banyak meraih pengharagaan ini sebagai barometer kesehatan nasional. Sebuah langkah yang sangat strategis.

Apalagi konsep yang ditawarkan adalah pemberian pelayanan prima untuk pasien dan keluarga mulai dari bandara sampai dengan menyediakan fasilitas hotel yang terintegrasi dengan bangunan RS bahkan layanan sarana transportasi bagi keluarga yang hendak berbelanja. Sehingga bukan hanya infrastruktur kesehatan saja yang dipersiapkan tetapi infrastruktur pendukung juga harus memenuhi syarat. Selain transportasi publik, destinasi di dalam kota juga harus menarik, bersih dan nyaman.

Konsep ini juga menjadi out of the box karena selama ini Si sakit dan keluarganya yang sedang mencari pengobatan - biasanya cenderung bersedih dan tidak bersemangat – justru diperlakukan sebagaimana mereka sedang berwisata, supaya tetap bergembira. Tentu saja pada akhirnya konsep yang sebenarnya menyasar orang berduit yang biasa berobat di luar negeri ini diharapkan akan cukup efektif mencegah larinya dana kesehatan masyarakat bahkan bisa juga akan meningkatkan penghasilan asli daerah (PAD) maupun menarik devisa untuk level negara.

Satu hal yang juga harus mulai dipikirkan adalah bagaimana menterjemahkan arti kota wisata kesehatan bagi masyarakat miskin dan pas-pasan yang berobat menggunakan fasilitas asuransi sosial misalnya. Dalam era Jaminan Kesehatan seperti sekarang ini maka mempunyai konsekuensi bahwa orang miskin juga "boleh" sakit. Maka kehadiran ide yang sangat baik tadi tetap harus dapat menjamin perlakukan medis yang sama pada orang sakit dengan status sosial yang berbeda. Jika dulu ada guyonan khas Suroboyoan "murah kok njaluk slamet!" yang seringkali diidentikkan dengan komentar dari para pelaku jasa -tukang becak- saat ditegur oleh pengguna jasanya ketika sembarangan dalam mengemudikan becaknya, maka momentum ini adalah bisa sebagai pembuktian program ini tidak akan makin membedakan pelayanan yang kaya dan yang miskin.

Dalam hal ini maka harus kembali ditegaskan bahwa yang boleh berbeda hanyalah sesuatu yang tidak berhubungan dengan keputusan medis yang berhubungan langsung dengan keselamatan pasien. Dalam arti yang lebih luas maka kualitas yang baik untuk semua kalangan (good quality for all people).

Harapan

Surabaya dengan banyak keunggulan di bidang kesehatan seperti hadirnya fasilitas kesehatan yang representatif baik milik pemerintah maupun swasta serta dokter-dokter sebagai pelaku pelayanann kesehatan yang tidak kalah dengan LN menjadi kekuatan daya saing tersendiri. Isu MEA dimana ada pasar tunggal regional ASEAN yang memungkinkan ada transportasi modal, jasa serta tenaga kerja yang akan bebas keluar masuk wilayah negara ASEAN justru menjadi pemacu semangat bagi seluruh stakeholder kesehatan yang ada untuk menatap AFTA (ASEAN Free Trade Area) sebagai sebuah peluang.

SHS dengan program yang mengutamakan kepuasan pelanggan, mutu pelayanan kesehatan dan budaya patient safety di berbagai fasilitas kesehatan kota Surabaya dapat menjadi "katalisator" untuk menciptakan keunggulan daya saing dalam menghadapi era perdagangan bebas di level ASEAN pada awal 2015 sebentar lagi. Karena disadari bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN nantinya apakah memang dapat digolongkan sebagai peluang ataupun justru ancaman bagi semua fasilitas kesehatan dan SDM tergantung dari kesiapan untuk menghadapinya.

Menjelang berakhirnya SHS maka dengan harapan jangan hanya menjadikan SHS hanya agenda rutin dan bussiness as usual untuk memperingati hari jadi kota Surabaya dan setelahnya kembali menjadi "biasa-biasa saja". Menjelang 1 Januari 2015 dimulainya pasar bebas ASEAN, maka tetap ditunggu kehadiran Surabaya Health Season berikutnya...................

Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi (Dinas Kesehatan Kota Tarakan)

Managed care adalah sistem pelayanan kesehatan yang mengintegrasikan penyediaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan. Penyediaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan yang disiapkan oleh provider ke members tidak membatasi platfon keuangan (unlimitted) dan tidak mengurangi kualitas pelayanan yang diberikan tetapi semata-mata untuk meningkatkan kualitas pelayanan lebih bermutu, selain itu dokter sebagai pemberi pelayanan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk meminta jasa medis sesuai kinerja tanpa intervensi dari direktur atau manajer dan pasien dibayar pengobatannya secara menyeluruh tentunya mengacu pada standar pelayanan medis yang ditentukan. Ciri Rumah sakit yang menerapkan "managed care" antara lain ada insentif untuk dokter dan juga pasien yang menggunakan provider, menyesuaikan kebutuhan pelayanan kesehatan pada kasus-kasus spesifik, meningkatkan pembagian keuangan atau mengendalikan biaya tetapi tetap menjaga mutu pelayanan, mengontrol serta memberikan hak-hak pasien misalnya lama menginap di RSUD serta menyeleksi kontrak yang dilakukan dengan provider sesuai dengan perhitungan yang matang.

Mengukur baik buruknya sistem managed care dalam penerapannya di rumah sakit biasanya memakai acuan garis-garis besar pelayanan yang disebut managed care tools. Managed care tools terdiri dari gate-keeping yaitu pemanfaatan pelayanan kesehatan yang tepat oleh pasien, abbreviated as guidelines yaitu aturan untuk praktek klinik, health care networks yaitu partisipasi dokter bekerja sama dalam dalam jaringan untuk kepuasan pasien, utilization review yaitu mengontrol kelayakan biaya dan kelayakan pelayanan yang diberikan dan beberapa persyaratan baik persyaratan kasus ringan maupun berat (memerlukan opname) yang memerlukan biaya mahal. Selain itu ada tools lain yang mengatur pembayaran insentif: pembayaran insentif dokter sesuai jasanya atau fee-for-service payment dan insurers menyeleksi dokter yang cocok atau berpotensi melayani dengan baik (selective contracting).

Managed care tools bermula dari amerika utara dan menyebar luas sampai ke beberapa negara eropa. Pada tahun 1996 Swiss membuat hukum asuransi kesehatan yang mengesahkan managed care plans dan memberikan bermacam-macam biaya sesuai jasa dokter. Selain swiss ada juga Prancis yang membuat governmental agency untuk memperkuat panduan pelayanan klinik.

Sistem pelayanan di swiss adalah campuran antara praktek pelayanan liberal dan publicly run hospital dimana semua orang berhak mendapatkan pelayanan bebas dan sama tanpa memandang bulu, suku, status, etnis dan golongan tetapi tentunya dikontrol dari aturan pemerintah. Reinhardt menggambarkan pelayanan kesehatan swiss sebagai "consumer directed health care" sistem dengan aturan pemerintah yang ketat. Rumah sakit-rumah sakit umum dan dokter yang bekerja dibayar dengan gaji dan hanya beberapa dokter senior yang diijinkan untuk melakukan praktek di Rumah sakit. Dokter yang melakukan praktek pribadi dibayar kembali berdasarkan fee-for-service atau upah berdasarkan pelayanan yang disepakati antara caregivers dan insurers. Masyarakat diberi kebebasan oleh asuransi untuk memilih dan mengakses dokter yang mereka pilih. Premium asuransi kesehatan bagi orang dewasa (25+) pun bervariasi dari setiap wilayah dan sudah diatur oleh perusahaan asuransi sesuai kondisi daerah sedangkan anak dan remaja dibayar dengan lowers premium. Lower premium diatur setiap tahun dalam managed care plans oleh pemerintah, bukan hanya itu dalam managed care plans pemerintah memberikan tunjangan kepada masyarakat miskin dan berapa biaya yang harus diganti sesuai obat-obatan yang dipakai dan pelayanan yang diberikan.

Penelitian Marie Deom et al (2010) di Geneva Swiss menemukan bahwa managed care tools dimengerti dan memberikan peran aktif dalam sistem pelayanan kesehatan, selain itu memberikan motivasi lain kepada dokter dalam penambahan insentif sesuai kinerja, selain itu tools ini mengendalikan pembiayaan pelayanan kesehatan, praktek klinik yang terus menjaga kualitas pelayanan, dan kepuasan pasien menjadi tujuan pelayanan.

Di negara kita, tidak dipungkiri kalau semua orang menginginkan pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi, fasilitas kesehatan yang mudah diakses dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Pasca penerapan BPJS yang sudah meng-cover hampir semua penduduk dan penyakit baik yang rawat jalan dan rawat nginap sesuai indikasi medis, berprinsip equitas yaitu memperoleh pelayanan sesuai dengan indikasi medis terikat dan dengan besarnya biaya yang dibayarkan, tetapi bagaimana mengukur mutu pelayanan yang diberikan? Apakah pelayanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien? Apakah pasien merasa puas dengan pelayanan yang diberikan? Bagaimana dengan kualitas primary health care sebagai ujung tombak pelayanan? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dihindari dalam memenuhi kebutuhan dan kepuasan pasien, dalam penerapan managed care di BPJS harus menghitung kendali mutu dan kendali biaya, gate keeping hanya bisa diterapkan di kota-kota besar, sedangkan daerah-daerah terpencil tidak memiliki pilihan memilih fasilitas kesehatan (fasilitas kesehatan terbatas) hingga kualitas pelayanan diragukan (tidak ada saingan), praktek klinik pun ada di kota-kota sedangkan di desa-desa hanya ada puskesmas sehingga tidak ada pilihan masyarakat memilih fasilitas kesehatan (abbreviated as guidelines), Kelayakan biaya yang diberikan dan kelayakan pelayanan harus sesuai tetapi tidak ada indikator untuk mengetahui mutunya (utilization review), serta jumah dokter masih sedikit di daerah terpencil sehingga insurers belum bisa menyeleksi dokter yang berpotensi melayani dengan baik (selective contracting).

Belajar dari managed care tools yang diterapkan di Swiss, mari kita berbenah memperbaiki kualitas sistem pelayanan kesehatan lebih baik dengan indikator-indikator pengukuran mutu pelayanan kesehatan yang diberikan, mengendalikan biaya dan pelayanan yang diberikan, menambah jumlah praktek klinik dan dokter didaerah terpencil agar memberikan banyak pilihan masyarakat dalam memilih pelayanan dan meningkatkan daya saing dengan menjaga kualitas pelayanan, meningkatkan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan meningkatkan daya saing pemberi pelayanan sehingga mengutamakan kualitas pelayanan personal dengan motivasi "semakin baik kinerja semakin banyak salary"

Sumber: Marie Deom, et all. 2010. What doctors think about the impact of managed care tools on quality of care, costs, autonomy and relations with patien. BMC Health services research.

Oleh: Dedison Asanab, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran Undana

Penulis menempuh pendidikan dokter pada awal tahun 2000an. Masa itu, penulis mengenal tidak hanya pendidikan klinik, namun juga administrasi pasien. Istilah-istilah lokal juga mulai dikenali, dipahami, dan digunakan. Salah satu singkatan yang sering disebut dan ternyata dikenal luas di berbagai tempat di Indonesia adalah: "APS".
Berbeda dengan singkatan istilah klinis yang bisa berbeda antar pusat pendidikan, "APS" dikenal di seluruh Indonesia. Atas permintaan pasien adalah kepanjangan dari "APS". Istilah ini secara berbeda dipakai untuk menggambarkan pasien yang minta pulang paksa, minta dirujuk, minta dilakukan terapi tertentu, minta tidak dilakukan terapi tertentu, minta pindah rumah sakit, dan lain-lain. Satu hal yang pasti. Ketika label "APS" telah dilekatkan pada pasien, ada semacam pemahaman kolektif bahwa tanggung jawab rumah sakit telah selesai sampai di situ.

Bahkan sampai saat ini, pasien yang minta pindah ke pelayanan kesehatan lain sering kali tidak mendapatkan surat pengantar. Pasien yang "APS pulang" sering tidak mendapatkan obat pulang. Rumah sakit sering tidak mau mengantar pasien yang berisiko dalam transportasi bila pasien minta pindah ke rumah sakit lain. Pasien yang tidak mau dioperasi atau tidak mau dipindah ke perawatan intensif dianggap tidak kooperatif dan mendapat pelayanan seadanya.

Seiring dengan diterapkannya undang-undang praktek kedokteran, undang-undang kesehatan yang baru, dan undang-undang mengenai rumah sakit, pemahaman mengenai hak pasien makin mengemuka. Dalam konteks akreditasi rumah sakit, hak pasien menempati satu bab tersendiri (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Kewajiban rumah sakit dalam hal pasien "pindah APS" juga diatur dalam satu bagian dalam bab akses ke pelayanan dan kontinuitas pelayanan (APK).

Dalam standar APK 4 diatur rujukan atau perpindahan pasien. Rujukan hampir selalu berasosiasi pada pemindahan pasien ke pelayanan yang secara vertikal lebih tinggi. Definisi ini agak berbeda dengan standar dalam APK 4 yang menyebut rujukan sebagai tanggapan atas kebutuhan pasien. Standar Joint Commission International edisi 2014 bicara hal serupa. Rujukan bahkan disebut bisa menuju ke pelayanan preventif atau bahkan perawatan di rumah, sesuai kebutuhan pasien (Joint Commission International, 2013).

Dengan demikian, pendapat tidak diperlukannya surat pengantar perpindahan pasien ke pelayanan yang secara vertikal sama atau lebih rendah adalah keliru. Pendapat ini lebih mengutamakan egoisme staf rumah sakit yang kurang berkenan karena pasien memilih dirawat di tempat lain yang secara vertikal sama tipe atau bahkan lebih rendah. Ketiadaan surat pengantar ini dapat menyulitkan, merugikan, bahkan membahayakan pasien.

Standar akreditasi rumah sakit menyebutkan bahwa rumah sakit perlu memastikan pelayanan kesehatan yang dituju dapat menyediakan pelayanan yang dibutuhkan pasien. Setelah itu, resume tertulis perlu dibuat untuk rumah sakit penerima dengan penekanan pada kebutuhan pasien dan pelayanan yang telah dilakukan. Surat pengantar ini disertakan pada pasien. Proses ini juga diikuti dengan pendampingan secara langsung oleh staf yang kompeten, pendokumentasian, dan pengawasan saat transportasi.

Khusus mengenai surat pengantar, Whitney Berta dkk (2008) pernah melakukan penelitian dan merekomendasikan 24 elemen informasi yang harus ada dalam surat pengantar. Dikembangkan dari sistem rujukan primer ke spesialistik untuk kasus asma, rekomendasi elemen informasi ini masih aktual dan penting untuk diperhatikan. Elemen-elemen tersebut dapat disimak dalam jurnal aslinya (lihat daftar pustaka).

Uraian-uraian tersebut menegaskan bahwa perlu ada komunikasi langsung antar rumah sakit pengirim dan penerima mengenai kondisi dan kebutuhan pasien. Kerendahan hati memang diperlukan dalam hal ini demi kepentingan pasien. Sesuatu yang agak sulit dipahami karena pelayanan kesehatan sering diasosiasikan dengan otonomi. Demi kepentingan pelayanan kepada pasien, egoisme ini harus sedikit demi sedikit dikikis. Komunikasi ke rumah sakit tujuan harus dilakukan, surat pengantar harus dibuat, hasil-hasil pemeriksaan perlu dilampirkan, dan transportasi dipastikan aman. Dengan demikian, pasien yang "pindah APS" tetap menerima perlakuan dan hak sebagai pasien.

Penulis: dr. Robertus Arian Datusanantyo
Kepala Instalasi Gawat Darurat RS Panti Rapih Yogyakarta
Tulisan ini adalah opini pribadi

Daftar Pustaka
Berta, W., Barnsley, J., Bloom, J., Cockerill, R., Davis, D., Jaakkimainen , L., et al. (2008). Enhancing continuity of information: Essential components of a referral document. Canadian Family Physician , 54, 1432-3.e1-6.
Joint Commission International. (2013). Joint Commission International Accreditation Standards for Hospitals (5 ed.). Oakbrook Terrace, Illinois, USA: Joint Commission Resources.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Standar Akreditasi Rumah Sakit. Jakarta, Indonesia: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Dari tahun ke tahun kasus medical error semakin banyak terjadi. Patient safety masih belum menjadi prioritas utama dalam pelayanan kesehatan, beberapa kesalahan yang dilakukan dianggap biasa dan kurang mendapat perhatian untuk segera diselesaikan. Oleh karena itu, pelaku-pelaku dalam organisasi kesehatan harus berpikir secara seksama dan mengerti keamanan dari pelayanan yang diberikan. Don Berwick berpendapat bahwa organisasi pemberi pelayanan kesehatan harus secara rutin mengumpulkan, menganalisis, dan merespon secepat mungkin masalah kualitas dan keamanan pelayanan kesehatan yang mana bisa berasal dari pendapat pasien/staf, kritik, dan pengukuran lainnya yang relevan sehingga hal ini bisa berfungsi sebagai "detector" sebelum masalah tersebut benar-benar terjadi.

Salah satu masalah yang sering dihadapi adalah bagaimana menyuarakan (speaking up) resiko/tanda bahaya seperti kesalahan, penyimpangan, pelanggaran, dan penanganan pasien yang tidak sesuai SOP. Dokter dan perawat sebagai frontline staff memegang peranan penting dalam hal ini. Speaking up dimaksudkan agar pelaku kesehatan di level atas bisa mendengar dan melakukan tindakan preventif sebelum terjadi medical error/human error yang berdampak pada keamanan pasien. Okuyama, et al dalam studinya menemukan bahwa sikap diam bisa disebabkan karena beberapa hal diantaranya takut, menghindari konflik, dan tekanan norma sosial dalam organisasi. Selain itu beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi adalah tingginya disproporsi kewenangan, rasa hormat yang terlalu tinggi untuk atasan, dan kurangnya sumberdaya. Salah satu studi menemukan bahwa banyak petugas kesehatan yang ragu-ragu dalam menyuarakan patient safety walaupun mereka sadar bahwa pasien tersebut bisa saja dalam bahaya.

Membangun speaking up behavior sangat berguna untuk mendesain patient safety improvement yang bermuara pada perubahan perilaku yang sustainable dan peningkatan keamanan pasien. Kobe, et al menemukan bahwa level speaking up yang tinggi dari perawat dalam medical team merupakan salah satu faktor penentu dalam kualitas pelayanan yang diberikan oleh tim tersebut. Dalam studi yang lain, 74-78% residen dan dokter menaruh perhatian lebih pada kasus yang pernah disuarakan oleh mereka untuk dicegah kerugiannya. Okuyama, et al menyatakan bahwa dengan tetap diam maka kita membuang kesempatan untuk mencegah kerugian dan meningkatkan patient safety. Untuk itu perlu adanya pelatihan kemampuan komunikasi bagi para klinisi seperti penggunaan bahasa kritis, tuntutan, dan standarisasi communication tools agar mereka tahu bagaimana mengingatkan sesama anggota tim/staf manajerial tanda-tanda bahaya yang ditemui.

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menjadikan patient safety menjadi prioritas adalah dengan melakukan pengukuran dan monitoring secara continue terhadap kebijakan patient safety yang diterapkan dalam organisasi pelayanan kesehatan. The Health Foundation dari UK menawarkan sebuah framework untuk mengukur dan memonitor patient safety sebagai berikut :

art-8jul

  1. Past Harm – Apakah pelayanan yang diberikan pada masa lalu sudah aman?
    Mengidentifikasi berbagai tipe bahaya yang ada dalam sistem yang ada sejak masa lalu dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya. Pastikan bahwa pengukuran yang dilakukan valid, reliable dan spesifik.
  2. Reliability – Apakah clinical system dan proses yang dilaksanakan reliable?
    Tentukan level reliabilitas yang diharapkan dari proses standarisasi dengan menggunakan standar audit lokal maupun nasional. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi buruknya sistem pelayanan yang diterapkan.
  3. Sensitivity to operations – Apakah pelayanan yang diberikan saat ini aman?
    Memilih mekanisme monitoring safety yang tepat baik secara formal maupun non formal. Gunakan informasi yang diperoleh untuk mencegah masalah yang mungkin bisa ditimbulkan. Apakah jajaran staf struktural atau komite Medic mempunyai waktu untuk melaksanakan rencana aksi atau tidak.
  4. Anticipation and preparedness – Apakah pelayanan yang diberikan terjamin keamanannya di masa depan?
    Jangan tunggu sampai terjadi masalah, temukan berbagai cara untuk mengantisipasi masalah yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Gunakan berbagai macam tool dan teknik untuk mengatasi faktor-faktor/isu resiko keamanan pasien.
  5. Integrating and learning – Apakah ada respond an peningkatan pada pelayanan yang diberikan?
    Gunakan analisa kasus sebagai langkah awal untuk mengungkapkan isu yang lebih luas. Berikan penekanan lebih pada pembelajaran, pengelolaan feedback, dan rencana aksi. Pengelolaan data yang baik agar menghasilkan informasi yang berguna.

Sumber : Okuyama, et all. 2014. Speaking Up for Patient Safety by Hospital-Based Health Care Professionals : A Literature Review. BMC Health Service Reseach

The Health Foundation. 2014. Practical Guide : A Framework for Measuring and Monitoring Safety. Health Foundation UK

Oleh: Stevie Ardianto Nappoe, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran