Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Universal health coverage (UHC) atau Cakupan Kesehatan Universal berarti seluruh populasi memiliki akses terhadap semua jenis layanan kesehatan. Hal ini mengacu pada sistem atau program pemerintah yang menjamin bahwa semua orang di bawah pemerintahan tersebut memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang tersedia. Sistem akan menyediakan layanan tersebut kapan dan sesuai kebutuhan, tanpa menimbulkan kesulitan keuangan bagi individu. Program UHC dirancang untuk menawarkan semua layanan kesehatan yang penting dan berkualitas, yaitu promosi kesehatan, kesehatan preventif, perawatan medis, rehabilitasi, dan perawatan paliatif. Untuk mengatasi UHC diperlukan perubahan undang-undang, kebijakan, dan praktik yang mencerminkan kemauan dan kapasitas pemerintah untuk memenuhi komitmennya, serta memenuhi kewajiban hak asasi manusianya.

Secara global, tidak ada konsistensi dalam menyediakan layanan kesehatan dalam hal akses, kesetaraan, dan kualitas. Konsep UHC dikembangkan selama tujuan pembangunan milenium (MDG), 2000–2015. Terdapat tantangan dalam mengembangkan paket layanan kesehatan untuk mencapai UHC di Malawi. Ada beberapa kebingungan ketika menetapkan prioritas dan merancang kebijakan di Uganda karena ketidakjelasan konsep UHC. Hasil penerapan yang dinilai sebelumnya lebih banyak berfokus pada penyediaan layanan penting, ketersediaan sumber daya layanan kesehatan, dan tingkat pemanfaatan layanan kesehatan di negara-negara berpenghasilan tinggi dibandingkan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Sebuah penelitian di Tiongkok mengungkapkan bahwa terdapat ketidakjelasan mengenai pengumpulan sumber daya layanan kesehatan untuk program asuransi kesehatan yang sedang berjalan. Terdapat ketidakseimbangan kekuatan di sektor tatakelola global, kesenjangan kesehatan, sedikitnya pilihan dalam akses layanan kesehatan, dan hambatan kelembagaan menurut Laporan Komisi The Lancet-University of Oslo. Karena perbedaan dimensi struktur kekuasaan, telah terjadi pergeseran kewajiban dari penyediaan layanan kesehatan oleh pemerintah menjadi tanggung jawab individual atas hasil kesehatan, dimana kesehatan semakin dimodifikasi dan warga negara diubah menjadi konsumen. Di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, tujuan politik, tatakelola, dan alokasi sumber daya masih kurang untuk mencapai UHC. Di sisi lain, modalitas pembiayaan kesehatan yang tepat merupakan jalan menuju pencapaian UHC. Model pembiayaan kesehatan yang tidak tepat dan alokasi sumber daya yang tidak proporsional merupakan hambatan yang dapat menghambat pencapaian UHC.

Analisis konseptual yang dilakukan oleh Rhanabat et al. (2023) dilakukan untuk memberikan kejelasan terminologis, teori, filosofi UHC, dan keterkaitan intinya dengan politik, pembiayaan kesehatan, dan perlindungan kesehatan sosial dilakukan untuk memahami bagaimana layanan kesehatan modern dimulai dan berkembang secara kronologis secara global .

Terminologi

Secara etimologis, Universal berarti “semua orang”. Hal ini mirip dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kesehatan sebagaimana didefinisikan oleh konstitusi WHO. Coverage atau cakupan memiliki arti yang sejalan dengan perlindungan, seperti halnya prinsip dasar hak asasi manusia. Demikian pula, cakupan juga dikaitkan dengan perlindungan sosial berdasarkan SDG 1.3, yang pada gilirannya dapat memperkuat hak asasi manusia atas jaminan sosial.

Landasan Teori dan Filosofis Universal Health Coverage (UHC)

UHC berimplikasi pada beragam hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup, kesehatan, keamanan, kesetaraan dan non-diskriminasi, standar hidup, kebebasan bergerak, berserikat, berkumpul, informasi, ekspresi pemikiran, jaminan sosial, privasi, partisipasi, standar hidup dasar seperti air, makanan, perumahan, pendidikan, dan akses terhadap manfaat kemajuan ilmu pengetahuan. Hak-hak ini dan hak-hak lainnya dilindungi dalam perjanjian internasional, regional, serta konstitusi nasional.

Kesehatan disebut sebagai landasan hak asasi manusia. Selain itu, perundang-undangan dan yurisprudensi spesifik menunjukkan bagaimana norma dan prinsip hak asasi manusia harus mengizinkan sistem kesehatan nasional dan menetapkan parameter mengenai apa yang dapat dan harus dilakukan oleh pemerintah sebagai pengelola sistem tersebut, serta apa saja yang dilarang untuk mereka lakukan. Majelis Umum WHO yang mengadopsi UHC selama bertahun-tahun secara konsisten menganjurkan bagaimana hak asasi manusia—khususnya hak atas kesehatan—menyediakan kerangka menyeluruh bagi UHC. Senada dengan itu, pelapor khusus PBB mengenai hak atas kesehatan telah menekankan bahwa UHC harus dipahami sebagai hak atas kesehatan.

Aspek Politik

UHC pada dasarnya adalah agenda politik. Dalam dunia tata kelola kesehatan global, UHC merupakan bagian dari perdebatan yang s mengenai pentingnya prioritas vertikal, kesejahteraan individu, pengendalian penyakit, pemberantasan, dan proposal penguatan sistem kesehatan horizontal yang lebih luas. Dampak demokratisasi yang meluas sejak tahun 1970an hingga akhir tahun 1990an dapat membantu menjelaskan perluasan UHC di negara-negara berpendapatan menengah saat ini.

UHC dan Pembiayaan Kesehatan

Konsep skema pembiayaan kesehatan merupakan penerapan dan perluasan dari konsep skema perlindungan sosial. Sistem pembiayaan kesehatan memobilisasi dan mengalokasikan anggaran dalam sistem kesehatan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat saat ini (individu dan kolektif) dengan pandangan antisipasi terhadap kebutuhan masa depan. Harus ada lebih banyak pilihan penyedia layanan kesehatan dan cara pembayaran (seperti pembayaran langsung melalui pihak ketiga) dan mekanisme yang dikembangkan oleh negara (seperti asuransi relawan, layanan kesehatan nasional, dan asuransi sosial). Biasanya, ada empat jenis model layanan kesehatan. Kebanyakan negara tidak sepenuhnya menganut satu model saja. Sebaliknya, mereka menciptakan model hybrid yang sesuai dengan konteksnya.

1. Model Beveridge

Pada dasarnya, terdapat sistem pemerintahan dengan pembayar tunggal dengan biaya rendah dan manfaat standar. Layanan ini tersedia di jaringan mereka. Hal ini sepenuhnya didanai oleh pajak tanpa memerlukan pembayaran langsung atau pembagian biaya. Setiap warga negara yang membayar pajak dijamin memiliki akses yang sama terhadap layanan kesehatan. Tidak seorang pun akan menerima tagihan medis. Ada potensi risiko pemanfaatan Model Beveridge secara berlebihan. Karena tingginya permintaan layanan kesehatan dengan akses gratis, ada kemungkinan kenaikan biaya dan tuntutan pajak yang lebih tinggi. Oleh karena itu, banyak dari sistem ini yang mempunyai peraturan untuk mengelola kebutuhan layanan kesehatan.

2. Model Bismarck

Dalam model ini, pemberi kerja dan pekerja sama-sama bertanggung jawab membayar premi asuransi kesehatan melalui dana sakit yang dihasilkan dari pemotongan gaji. Terlepas dari kondisi yang sudah ada sebelumnya, perusahaan swasta menanggung semua jenis layanan untuk setiap karyawan. Rencana tersebut tidak dimaksudkan untuk menghasilkan keuntungan. Biasanya, penyedia layanan kesehatan adalah swasta, sedangkan perusahaan asuransi adalah publik. Dalam beberapa kasus, hanya terdapat satu perusahaan asuransi (Prancis, Korea). Namun, di negara lain, seperti Jerman dan Republik Ceko, terdapat banyak perusahaan asuransi yang bersaing. Pemerintah mengendalikan harga. Namun, untuk UHC, setiap individu perlu berkontribusi dalam cara yang berbeda. Tantangan model Bismarck adalah bagaimana mempertahankan layanan kesehatan bagi populasi rentan dan menua.

3. Model Asuransi Kesehatan Nasional

Model asuransi kesehatan nasional menggabungkan aspek-aspek berbeda dari model Beveridge dan model Bismarck. Pemerintah bertindak sebagai pembayar tunggal untuk prosedur medis seperti model Beveridge. Demikian pula, penyedia layanan bersifat swasta seperti dalam model Bismarck. Model ini didorong oleh penyedia swasta, meskipun pembayarannya berasal dari program asuransi yang dikelola pemerintah yang mampu ditanggung oleh setiap warga negara. Pada dasarnya, model asuransi kesehatan nasional adalah asuransi universal yang tidak dapat memberikan keuntungan atau menolak klaim. Biasanya, pemasaran tidak diperlukan. Selain itu, lebih murah dan lebih mudah dinavigasi. Keseimbangan antara swasta dan pemerintah memberikan kebebasan lebih besar kepada rumah sakit dan penyedia layanan tanpa memerlukan banyak kerumitan dalam rencana dan kebijakan asuransi. Kelemahan dari model asuransi kesehatan nasional adalah potensi daftar tunggu yang panjang dan keterlambatan pengobatan, sehingga memerlukan kebijakan khusus untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, terutama untuk menjadi fleksibel dalam strategi alternatif dan tidak terpaku pada satu kebijakan yang berlaku untuk semua.

4. Model out-of-pocket (OOP)

Model OOP adalah model yang paling umum digunakan di wilayah kurang berkembang dan negara-negara yang tidak memiliki cukup sumber daya keuangan untuk menciptakan sistem medis seperti ketiga model di atas. Pasien harus membayar prosedurnya dari kantong mereka sendiri. Hal ini seperti pembelian komoditas dimana masyarakat kaya mampu mendapatkan layanan medis berkualitas tinggi dan profesional, sementara masyarakat miskin bisa mendapatkan negara atau organisasi kesejahteraan yang menawarkan layanan kesehatan dasar. Dengan demikian, layanan kesehatan masih didorong oleh pendapatan.

Social health protection (SHP) and UHC

Perlindungan sosial dapat membantu individu dan keluarga memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti makanan, perumahan, dan layanan kesehatan bagi kelompok rentan (seperti masyarakat miskin, lanjut usia, penyandang cacat, anak-anak, perempuan dalam kondisi sulit, dan pengangguran) untuk menjalani kehidupan normal dan meningkatkan produktivitas. Perlindungan sosial mempunyai serangkaian tindakan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah dan dimandatkan oleh swasta untuk mengatasi tekanan sosial dan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penurunan produktivitas, terhentinya atau berkurangnya pendapatan, atau biaya pengobatan yang diperlukan akibat kesehatan yang buruk.

SHP merupakan paket khusus dan memadai untuk meningkatkan kesehatan dan pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Penduduk yang lebih sehat dapat menciptakan nilai lebih dalam pekerjaan dan profesi karena mereka lebih kreatif, pekerja keras, dan rendah beban penyakitnya. SHP yang dikelola dengan baik dapat memberikan UHC pada layanan kesehatan yang tepat dan dapat diakses dan terjangkau. Pembentukan kembali struktur ekonomi dunia, yang menyebabkan percepatan pertumbuhan PDB riil di banyak negara berpendapatan rendah dan menengah, mungkin memerlukan paket manfaat jaminan sosial yang berbeda dan lebih besar di seluruh dunia, terutama di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Pada dasarnya paket-paket tersebut berbentuk uang tunai. UHC adalah paket layanan kesehatan yang konsisten dengan tujuan mencapai cakupan universal dalam hal layanan, populasi, dan perlindungan keuangan menyeluruh. Akibatnya, program, sumber daya, dan sistem penyampaiannya telah terdistribusi secara merata, sehingga meningkatkan kemungkinan duplikasi di antara program-program tersebut. Selain itu, kurangnya badan pengkajian teknologi kesehatan semakin membahayakan situasi dalam mencapai UHC. Untuk mencegah duplikasi program, efisiensi integrasi sumber daya SHP dan UHC dapat bermanfaat.

Tantangan dalam penerapan UHC yang akan dihadapi di masa depan yakni mengembangkan UHC sendiri sebagai bagian dari kegawatdaruratan kesehatan masyarakat, menyediakan asuransi kesehatan bagi individu yang bepergian antarnegara, UHC dan layanan kesehatan dasar bagi individu migran, integrasi dan kolaborasi antara perlindungan kesehatan sosial dan UHC melalui teknologi informasi dan komunikasi, enhancing individual responsibility for health, serta ekspansi cakupan layanan kesehatan.

Selengkapnya dapat diakses di: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9940661/ 

 

 

Layanan preventif/pencegahan penyakit dikaitkan dengan penurunan angka kesakitan dan kematian, terutama di bidang kanker, penyakit kronis, penyakit menular (imunisasi), kesehatan mental, penyalahgunaan zat, penglihatan, dan kesehatan mulut. Transisi dari pengobatan penyakit ke preventif dapat mengurangi kejadian penyakit kronis dan menurunkan biaya perawatan kesehatan. Meskipun terdapat manfaat dari perawatan preventif, jumlah individu yang menerima semua layanan preventif yang direkomendasikan masih terbatas. Literatur mengenai tingkat pemanfaatan layanan kesehatan secara preventif masih terbatas dan bervariasi berdasarkan populasi, usia, dan jenis layanan preventif. Penelitian oleh Borsky et al. melaporkan bahwa kurang dari 8% dari seluruh orang dewasa di Amerika Serikat menerima semua perawatan preventif yang direkomendasikan.

Layanan preventif dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk akses terhadap layanan kesehatan, biaya, ketepatan waktu rekomendasi oleh penyedia layanan primer, dan kapasitas sistem layanan kesehatan untuk memberikan layanan yang dibutuhkan. Untuk membantu mengurangi hambatan dalam memperoleh layanan preventif, terdapat peningkatan minat untuk memanfaatkan tim interprofesional (IP) dalam pemberian layanan klinis dan preventif. Tim interprofesional mempunyai posisi yang baik untuk mengatasi kompleksitas yang terkait dengan praktik terkait prevensi, manajemen kesehatan masyarakat, koordinasi layanan, dan akses terhadap layanan kesehatan.

Sebuah studi yang diterbitkan oleh Schor et al. berjudul “Pekerjaan multidisiplin mempromosikan pengobatan preventif dan pendidikan kesehatan di layanan primer: survei cross-sectional,” menilai dan membandingkan penyediaan layanan pendidikan preventif dan kesehatan dalam tiga model layanan primer di Maccabi Healthcare Services, organisasi layanan kesehatan terbesar kedua di Israel. Tujuan dari penelitian mereka adalah untuk menguji dampak pendekatan tim terhadap penyediaan dan penerimaan layanan preventif. Tiga model perawatan dibandingkan. Model Kolaboratif terdiri dari seorang dokter dan perawat terdaftar; Model Kerja Tim terdiri dari ahli gizi, dokter, perawat terdaftar, dan pekerja sosial; dan Model Praktik Mandiri terdiri dari dokter praktik tunggal. Perawatan Model Kolaboratif dan Kerja Tim memiliki tingkat penjadwalan janji temu yang lebih proaktif, partisipasi pasien dalam kelompok pendidikan kesehatan, dan hasil kesehatan menengah yang lebih baik seperti tes darah tersembunyi, kadar lipid, dan vaksinasi influenza bila dibandingkan dengan praktik dokter independen. Prediktor tambahan terhadap penerapan pengobatan preventif dan pendidikan kesehatan yang lebih tinggi adalah pekerjaan profesional kesehatan (perawat dan ahli gizi) dan praktik kesehatan pribadi profesional kesehatan.

Pada tahun 2010, World Health Organization (WHO) dan organisasi interprofesional internasional terkemuka lainnya mengadopsi istilah “interprofesional”. WHO mendefinisikan tim interprofesional dalam konteks pendidikan, dan definisi mereka juga berlaku untuk praktik klinis. Istilah “interprofesional” (IP) berlaku ketika dua atau lebih profesi belajar atau berlatih bersama untuk meningkatkan hasil kesehatan. Sebaliknya, “multiprofesional” berarti lebih dari satu, namun tidak berarti bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Praktik interprofesional vs. multiprofesional atau multidisiplin lebih akurat menggambarkan apa yang diinginkan dalam tim layanan kesehatan.

Dua kriteria penting untuk tim yang berkelanjutan dan efektif mencakup kepemimpinan yang baik dan struktur tim yang kuat. Dalam sistem kesehatan, kepemimpinan memiliki peran penting dalam mendukung tim IP. Karakteristik utamanya mencakup pemodelan dan advokasi kerja tim IP, penyediaan sumber daya dan infrastruktur (lingkungan, staf, pelatihan, insentif, dll.), dan mendorong kepemimpinan tim bersama, tujuan dan pengambilan keputusan. Schor et al. mencatat pentingnya kepemimpinan dan dukungan organisasi dalam kerja tim, melibatkan anggota tim IP, memberikan pelatihan, dan mengevaluasi kebijakan biaya atau insentif untuk kinerja.

Selain kepemimpinan, komposisi dan struktur tim juga penting untuk mencapai kinerja dan hasil yang optimal. Dalam studi Schor et al., disiplin profesional yang diwakili dalam Model Kolaboratif mencakup dokter dan perawat, dan Model Tim mencakup dokter, perawat, ahli gizi, dan pekerja sosial. Meskipun struktur tim, peran, dan interaksi tidak dievaluasi dalam penelitian ini, komposisi dan peran tim perawatan interprofesional idealnya ditentukan oleh kebutuhan perawatan pasien. Langkah pertama ketika mengembangkan tim perawatan primer IP yang efektif adalah menilai kesenjangan dalam layanan pasien dan kebutuhan pasien. Jumlah dan jenis profesi akan dikerahkan secara optimal untuk mengatasi kesenjangan tersebut.

Continuing professional development (CPD) dan Interprofessional education (IPE)

Schor et al. mengidentifikasi hubungan antara pelatihan pengobatan preventif yang diberikan oleh organisasi layanan kesehatan dan penerapan tindakan preventif, serta alat pendidikan kesehatan yang diberikan pada pasien. Para profesional yang terlibat dalam Model Teamwork dan Kolaborasi IP yang menerima pelatihan pengobatan prevensi memberikan layanan pengobatan preventif dan pendidikan kesehatan pada tingkat yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan model dokter independen. Pengembangan profesional berkelanjutan (CPD), yaitu pendidikan dan pelatihan bagi dokter yang berpraktik, membantu menciptakan dan meningkatkan keterampilan, sikap, dan pengetahuan yang dirancang untuk mempertahankan kompetensi profesional dan kualitas layanan, kepercayaan diri dalam praktik, dan kepuasan kerja. CPD khusus untuk mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan, seperti layanan preventif dan kesehatan masyarakat, serta kompetensi kerja tim IP membantu mendukung penyedia layanan kesehatan kolaboratif yang siap melakukan praktik.

IPE dalam klinis diperlukan seperti halnya CPD. Untuk membangun dan mendukung keterampilan tim IP, CPD sebagai kompetensi dasar IP dibutuhkan untuk meningkatkan perawatan berbasis tim IP di layanan kesehatan primer. Khusus untuk pengetahuan klinis dan layanan preventif, Kerangka Kurikulum Preventif Klinis dan Kesehatan Masyarakat/Clinical Prevention and Population Health Curriculum (CPPH) adalah sumber daya yang mengidentifikasi konten pendidikan utama untuk diintegrasikan ke dalam kurikulum siswa dan CPD. Kolaborasi antara lingkungan akademis dan praktik dalam kompetensi berbasis tim IP dan klinis dapat bermanfaat bagi pasien, tim, dan praktik.

Selengkapnya dapat diakses di:
https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7092466/

 

 

 

Hari Disabilitas Internasional (HDI) diperingati setiap tanggal 3 Desember yang merupakan wujud penghormatan terhadap hak-hak serta kesejahteraan penyandang disabilitas. Peringatan HDI pertama kali diusung oleh PBB pada tahun 1992, dengan tujuan untuk mendorong partisipasi penyandang disabilitas dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya, serta untuk mengurangi stigma dan diskriminasi. Tema yang ditetapkan tahun ini yaitu, “Amplifying the Leadership of Persons with Disabilities for an Inclusive and Sustainable Future” atau “Memperkuat Kepemimpinan Penyandang Disabilitas untuk Masa Depan yang Inklusif dan Berkelanjutan.”

Tantangan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas sangat beragam, mulai dari keterbatasan fisik, intelektual, hingga sosial. Selain itu, mereka seringkali menghadapi hambatan dalam mengakses pendidikan, layanan kesehatan, pekerjaan, dan fasilitas publik. Salah satu fokus utama dalam peringatan HDI tahun ini adalah untuk mengingatkan bahwa penyandang disabilitas berhak mendapatkan kesempatan yang sama seperti individu lainnya. Hal ini mencakup hak untuk mengakses pendidikan berkualitas, mendapatkan pekerjaan yang layak, serta berpartisipasi dalam kegiatan sosial politik tanpa diskriminasi. Meski demikian, dalam sebuat literatur disebutkan bahwa sekitar 15% (sekitar satu miliar orang) dari populasi dunia hidup dengan beberapa bentuk disabilitas. Survei Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa prevalensi disabilitas di kalangan perempuan 60% lebih tinggi daripada laki-laki. Di antara penyandang disabilitas, perempuan penyandang disabilitas lebih mungkin memiliki kebutuhan perawatan kesehatan yang tidak terpenuhi daripada perempuan tanpa disabilitas.Selain itu, kita melihat tingkat status disabilitas yang lebih tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah. Selain itu, literatur tentang perawatan kesehatan menunjukkan bahwa penyandang disabilitas mengalami hasil kesehatan yang lebih buruk dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang bukan penyandang disabilitas.

Perempuan penyandang disabilitas juga menghadapi berbagai tingkat perilaku kesehatan berisiko yang memengaruhi status kesehatan mereka. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perempuan penyandang disabilitas intelektual lebih cenderung melaporkan tingkat aktivitas fisik yang rendah dan kelebihan berat badan dibandingkan dengan perempuan tanpa disabilitas. Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan penyandang disabilitas mengalami masalah kesehatan mulut yang lebih besar, termasuk prevalensi yang lebih tinggi dan tingkat keparahan penyakit periodontal yang lebih tinggi daripada perempuan tanpa disabilitas. Jelas, ada kebutuhan untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan yang efektif untuk meningkatkan akses ke layanan kesehatan bagi perempuan penyandang disabilitas.

Berbagai faktor penentu (misalnya pendapatan rendah, pendidikan buruk, layanan kesehatan berkualitas rendah, dll.) dapat menyebabkan status kesehatan yang lebih buruk dan akses yang tidak memadai ke layanan kesehatan bagi perempuan penyandang disabilitas, yang pada gilirannya memengaruhi inklusi sosial mereka. Berbagai hambatan finansial, fisik, sikap, dan struktural telah disebutkan dalam penelitian sebelumnya. Frier et al. menemukan bahwa pendapatan, sebagai faktor penentu sosial, memiliki pengaruh terbesar pada akses ke layanan kesehatan bagi orang penyandang disabilitas. Hambatan-hambatan ini dapat berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Negara-negara berkembang dibandingkan dengan negara-negara maju, memiliki konteks sosial-ekonomi yang berbeda yang memengaruhi akses terhadap layanan kesehatan bagi perempuan penyandang disabilitas dengan cara yang berbeda. Misalnya, akses terhadap berbagai sumber informasi, seperti internet, lebih terbatas di negara-negara berkembang dibandingkan negara-negara maju.

Studi yang dilakukan oleh Levesque’s et al. model yang menkategorikan dengan mengidentifikasi hambatan yang dibagi menjadi 5 dimensi berdasarkan sudut pandang pasien:

  1. Kemampuan untuk mempersepsi;
  2. Kemampuan untuk meraih;
  3. Kemampuan untuk mencari;
  4. Kemampuan untuk membayar; dan
  5. Kemampuan untuk terlibat.

Kerangka ini kemudian diterapkan ke dalam penelitian yang dilakukan oleh Matin, et al (2021) sebagai konsep yang dikelompokkan dalam melakukan tinjauan sistematis terhadap literatur mengenai hambatan yang ditemui wanita dengan disabilitas. Hasil dari tinjauan sistematis yang dilakukan pada berbagai literatur sistematis ini yakni:

Dimensi Hambatan Personal Hambatan Struktural
Approachability
(Kemudahan meraih)
  • Kesulitan menggunakan informasi yang tersedia
  • Pengetahuan terbatas
  • Kurangnya Informasi yang dibutuhkan
  • Kurangnya Transparansi
  • Penggunaan istilah biomedis yang tidak dikenal
  • Pengetahuan yang terbatas
  • Kurangnya pengalaman
Acceptability
(Penerimaan)
  • Kurangnya otonomi
  • Ketidakpercayaan
  • Ketidaknyamanan fisik
  • Keterasingan sosial
  • Kekurangan kognitif
  • Pengalaman negatif di masa lalu
  • Stres dan kecemasan
  • Malu
  • Merasa sakit dan tersiksa
  • Dukungan sosial yang tidak memadai
  • Asumsi yang salah
  • Sikap negatif
  • Stigma
  • Sikap diskriminatif
  • Dihakimi
  • Diabaikan
  • Keengganan untuk memberikan perawatan Kekerasan atau pelecehan
  • Pelecehan verbal, fisik, dan seksual
  • Ketidaksopanan/kekasaran
  • Hinaan
Availability
(Ketersediaan)
Tidak dapat diterapkan
  • Peralatan yang tidak dapat diakses
  • Transportasi
  • Kurangnya akses internet
  • Akses fisik
  • Kurangnya panduan praktik bersalin
  • Kurangnya alat bantu di tempat layanan kesehatan
  • Kurangnya konsultasi dan/atau pemberitahuan
Affordability
(Keterjangkauan)
  • Tidak mampu membayar layanan kesehatan swasta
  • Kemiskinan Ketergantungan finansial
  • Biaya transportasi tinggi
  • Menjadi lajang
  • Penggantian biaya asuransi
  • Kurangnya cakupan asuransi
Appropriateness (Kelayakan)
  • Masalah komunikasi
  • Literasi kesehatan yang rendah
  • Layanan yang terputus
  • Kurangnya alat komunikasi di lingkungan layanan kesehatan
  • Kurangnya keterampilan dan pelatihan di antara penyedia layanan

 

Approachability (Kemudahan meraih)

Kemudahan Dicapai Dalam dimensi ini, empat faktor yaitu pengetahuan yang buruk, pengalaman negatif, informasi yang terbatas, dan kurangnya transparansi membatasi akses ke layanan kesehatan. Di negara-negara berkembang, seperti Kamboja, perempuan penyandang disabilitas yang tinggal di daerah pedesaan melaporkan pola yang berbeda dalam akses ke layanan seperti informasi kesehatan seksual dan reproduksi. Di negara-negara tersebut, lembaga swadaya masyarakat (LSM) memiliki peran sekunder dalam menyediakan informasi tentang perawatan ibu bagi perempuan penyandang disabilitas. Dalam beberapa penelitian, perempuan penyandang disabilitas menyebutkan bahwa staf layanan kesehatan tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang prosedur seperti menandatangani formulir persetujuan.

Acceptability (Penerimaan)

Banyak penelitian menunjukkan bahwa terdapat asumsi dan sikap yang keliru terhadap orang penyandang disabilitas. Kekerasan dalam lingkungan layanan kesehatan dan keluarga merupakan salah satu hambatan terpenting dalam akses ke layanan kesehatan di antara perempuan penyandang disabilitas. Temuan Bradbury et al. menunjukkan bahwa perempuan dengan disabilitas belajar menghadapi kekerasan dan kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan dengan disabilitas intelektual menghadapi hambatan dalam membuat keputusan yang tepat. Penyedia layanan kesehatan terkadang mengabaikan preferensi mereka untuk memilih layanan kesehatan yang dibutuhkan. Selain masalah sosial budaya yang disebutkan di atas, penelitian menunjukkan bahwa stigma merupakan faktor utama yang menyebabkan buruknya akses terhadap layanan kesehatan.

Availability (Ketersediaan)

Dimensi ini meneliti apakah akomodasi tersedia dan apakah layanan kesehatan tersedia di tempat dan waktu yang tepat saat dibutuhkan. Salah satu hambatan penting dalam dimensi ini terkait dengan bukti ilmiah. Transportasi, terutama di negara berkembang, disebut sebagai salah satu hambatan terpenting untuk akses fisik ke fasilitas kesehatan. Beberapa peserta mengalami kurangnya akses internet ke informasi kesehatan.

Affordability (Keterjangkauan)

Dalam dimensi ini, faktor-faktor seperti kemiskinan, pengangguran, ketergantungan finansial, hidup melajang, biaya transportasi yang tinggi, dan kurangnya cakupan asuransi diidentifikasi sebagai hambatan utama akses ke layanan kesehatan. Tinjauan penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan finansial mungkin menjadi hambatan utama untuk memanfaatkan layanan kesehatan. Perempuan penyandang disabilitas biasanya menganggur dan tidak mampu membayar layanan yang dibutuhkan. Selain itu, mereka berasal dari keluarga berpenghasilan rendah di mana anggota rumah tangga mereka menganggur atau memperoleh pendapatan di sektor informal.

Appropriateness (Kelayakan)

Perempuan penyandang disabilitas, karena gangguan kognitif, pendengaran, dan penglihatan, tidak mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan secara efektif. Namun, faktor-faktor seperti rendahnya literasi kesehatan, kurangnya alat komunikasi di lingkungan layanan kesehatan, dan kurangnya keterampilan dan pelatihan yang diperlukan di antara penyedia layanan kesehatan untuk berkomunikasi dengan perempuan penyandang disabilitas diidentifikasi sebagai hambatan signifikan dalam akses layanan kesehatan bagi perempuan penyandang disabilitas.

Selengkapnya dapat diakses melalui:
https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7847569/ 

 

 

Hari Eliminasi Kanker Serviks Sedunia pada tanggal 17 November dan Hari kanker Pankreas Sedunia pada 21 November merupakan peringatan untuk meningkatkan perhatian dan kewaspadaan terhadap kanker lebih dini yang dapat diupayakan melalui skrining awal dan pengobatan secara komprehensif. masifnya kampanye dalam meningkatkan kesadaran mengenai kanker tentu harus diiringi dengan peningkatan kualitas layanan kanker serta kemajuan teknologi dalam memperbanyak pilihan dalam terapi kanker. Selain skrining awal dan terapi utama dalam kanker, aspek lain yang juga perlu diperbaiki yakni layanan suportif kanker agar kebutuhan selama terapi dapat terpenuhi. Intervensi multidisiplin secara terintegrasi konseptual dalam pelayanan kanker memerlukan 7 domain kunci, yaitu informasi, emosional, praktik, fisik, psikologis, sosial, dan spiritual.

Studi yang dilakukan Meinir et. al., pada tahun 2022 dengan menggunakan pendekatan Delphi untuk melakukan tinjauan pustaka dalam mengidentifikasi istilah konsensus untuk definisi perawatan suportif dan membuat kerangka konseptual kontemporer untuk perawatan suportif menunjukkan bahwa layanan suportif kanker dengan memberikan perawatan suportif memerlukan pendekatan multidisiplin, dalam penyaringan, penilaian, pengelolaan, intervensi, dan pengobatan efek samping, gejala, dan kebutuhan pasien kanker, pengasuh, dan keluarga. Perawatan suportif diberikan di semua tatanan layanan kesehatan, di semua tahap jalur kanker mulai dari diagnosis hingga kesintasan dan akhir hayat. Penyediaan perawatan suportif dirancang untuk memberdayakan dan meningkatkan pengambilan keputusan; memaksimalkan toleransi dan manfaat dari terapi; meringankan gejala kanker dan efek samping pengobatan; mengoptimalkan otonomi fungsional, kesejahteraan dan hasil kesehatan; dan meningkatkan kemampuan mengatasi, perawatan diri dan martabat.

Meskipun perawatan suportif kanker telah lama dikenal sebagai komponen penting dari pemberian layanan kanker, bukti yang dipublikasikan menunjukkan beban tinggi berkelanjutan dari kebutuhan yang tidak terpenuhi di semua domain perawatan suportif bagi banyak kelompok pasien, di semua tahap perawatan kanker mereka. Temuan studi ini menunjukkan bahwa fokus pada investasi, meskipun penting, dapat mengabaikan masalah penting, yakni, perawatan suportif lebih dari sekadar serangkaian layanan terpisah yang terjadi bersamaan dalam layanan kanker, tetapi lebih merupakan kerangka kerja konseptual yang memandu perencanaan, penyediaan sumber daya, dan pemberian perawatan kanker. Penerapan pendekatan yang digerakkan oleh pasokan atau layanan untuk perawatan suportif kanker secara konsisten gagal menunjukkan nilai bagi pasien atau sistem kesehatan dan telah mengakibatkan divestasi dalam pemberian perawatan suportif yang komprehensif.

Studi ini menegaskan adanya kebutuhan mendesak untuk memfokuskan kembali perawatan suportif kanker. Kerangka kerja perawatan kanker dalam studi ini yang telah diperbarui, dikembangkan dan didukung melalui konsensus oleh para ahli internasional, mengarahkan kembali percakapan tentang perawatan suportif kanker dari diskusi tentang pemberian layanan dan intervensi terpisah ke kerangka acuan sistem kesehatan berbasis nilai yang berkaitan dengan pengurangan fragmentasi dan pencapaian hasil yang penting bagi pasien.

Pada tingkat pasien perorangan, pernyataan dan kerangka kerja yang diperbarui memfasilitasi identifikasi kebutuhan pasien pada tingkat populasi dan individu. Pada tingkat layanan kesehatan, pernyataan dan kerangka kerja tersebut memberikan peluang untuk mengeksplorasi peningkatan kinerja sistem perawatan kesehatan, efektivitas biaya perawatan kanker terpadu, dan demonstrasi peningkatan melalui penggunaan indikator kualitas kontemporer. Pada tingkat klinis, kerangka kerja dan indikator kualitas memberikan peluang untuk lebih memahami kebutuhan pelatihan tenaga kerja dan persyaratan keterampilan, dan lebih memungkinkan dokter perorangan untuk memahami peran mereka dalam penerapan perawatan kanker terpadu multidisiplin. Perawatan suportif sering kali disalahpahami sebagai aspek opsional atau tidak penting dari perawatan kanker.

Selengkapnya dapat diakses melalui:
https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9747818/