Menjamin Mutu Pelayanan Kebidanan melalui Bidan yang Berkualitas
Isu ketenagaan merupakan salah satu isu yang masih belum terpecahkan sampai sekarang di Indonesia maupun negara-negara berkembang lainnya, jumlah tenaga yang sangat minim dan penyebaran yang tidak merata merupakan hal yang masih sering dijumpai. Apalagi di era JKN sekarang ini, isu ini diprediksi akan memperburuk pelayanan kesehatan dan memperbesar gap antara daerah yang maju dan daerah tertinggal dalam pelayanan kesehatan. Terlepas dari isu tersebut pernahkan kita bertanya, bagaimana kualitas kompetensi dari tenaga yang ada sekarang ini? Apakah berkualitas atau hanya sekedar "ada" saja? Apabila jawabannya tidak maka hal ini merupakan masalah yang serius karena akan berefek domino, sudah tenaganya kurang yang ada pun belum tentu berkualitas.
Salah satu jenis tenaga yang mendapat perhatian penting adalah bidan. Hal ini karena bidan mempunyai peranan penting dalam sistem pelayanan kesehatan, selain bertanggungjawab menyelamatkan ibu dalam proses kelahiran bidan juga harus memastikan anak yang dilahirkan selamat dan sehat tanpa komplikasi apapun, ada 2 nyawa yang menjadi tanggung jawab bidan, yakni ibu dan bayinya. Selain itu untuk daerah-daerah terpencil (desa) bahkan masih terjadi di perkotaan, bidan merupakan orang pertama yang dicari untuk mendapat pengobatan dasar, biasanya setelah pelayanan dari bidan tidak berhasil barulah masyarakat pergi ke dokter atau puskesmas. Menurut Morolong & Chabeli, untuk menjamin mutu pelayanan kesehatan yang baik, sistem kesehatan membutuhkan bidan dan perawat yang kompeten.
Yang menjadi pertanyaannya sekarang apakah bidan-bidan kita sekarang ini sudah kompetent? Untuk menjawab hal ini salah satu penelitian dari Seani A, dkk bisa menjadi bahan pertimbangan yang menarik untuk kita memperbaiki mutu pelayanan bidan kita. Seani, dkk melakukan pengukuran kompetensi bidan-bidan terkait pencegahan low Apgar Score pada neonatus di Afrika Selatan, tepatnya pada 130 orang bidan di 3 rumah sakit daerah di Distrik Vhembe, Propinsi Limpopo. Dari 130 orang bidan yang ikut sebagai responden 70,5% diantaranya berusia kurang dari 40 tahun, hal ini menurut Seani, dkk merupakan hal yang baik karena bidan-bidan muda biasanya lebih fresh dan punya banyak pengetahuan baru yang membantu dalam memberikan pelayanan. Namun bukan berarti bidan senior (yang berusia lebih tua) tidak diperlukan, mereka sangat diperlukan untuk mentoring dan sharing experience kepada junior atau adik-adik mereka yang lebih muda.
Seani, dkk membagikan angket berupa daftar skill atau kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh seorang bidan dan responden harus menjawab sesuai dengan persepsi mereka apakah mereka merasa punya kompetensi yang baik untuk setiap skill tersebut atau tidak. Hasilnya cukup mengejutkan karena lebih dari 50% bidan-bidan tidak merasa berkompeten untuk beberapa skill seperti mengukur tekanan darah dengan benar, mengukur diameter kepala bayi, managemen efek dari Demerol, persalinan sungsang, persalinan vakum dan vorsep, distosia bahu, interpretasi CTG, dan pengukuran pada kasus Caput 2++. Skilll-skill tersebut merupakan skill minimal yang harus dimiliki seorang bidan untuk menjamin ibu dan bayi yang dilahirkan sehat tanpa komplikasi (Apgar Skor kurang dari 10/10). Seani, dkk menelusuri lebih lanjut ternyata skill-skill tersebut sudah diberikan atau diajarkan pada saat pendidikan bidan dulu, dan bahkan ada juga yang dilatih kembali pada saat capacity building di rumah sakit.
Oleh karena itu Seani, dkk memberikan rekomendasi sebagai berikut :
- Mentoring secara berkelanjutan untuk bidan-bidan muda atau yang baru lulus dan baru bekerja di rumah sakit oleh bidan senior yang bertanggung jawab di unit maternitas atau bisa juga melibatkan dosen atau pembimbing dari organisasi pendidikan bidan yang kompeten.
- Kebijakan, norma, manual, dan SOP yang berkaitan dengan pelayanan kebidanan harus terus direview, diperbaharui dan disosialisasikan kepada seluruh bidan untuk menjadi perhatian.
- In-service Education kepada semua bidan yang terlibat dalam pelayanan dalam bentuk workshop, symposium, short course, dan sebagainya. Hal ini harus dilakukan secara terus menerus selain untuk meningkatkan kompetensi bidan hal ini juga sebagai refreshing pengetahuan bagi mereka.
Terkait dengan masalah kekurangan tenaga yang masih menjadi prioritas kita di Indonesia, menurut Hoope-Bender, dkk dalam pemenuhan tenaga kesehatan, investasi di bidang pendidikan saja tidak akan berhasil tanpa adanya perbaikan regulasi, manajemen SDM, dan lingkungan tempat tenaga tersebut akan bekerja. Apabila 3 komponen ini berjalan baik maka tidak hanya jumlah tenaga saja yang terpenuhi namun juga menjamin mutu pelayanan kesehatan yang berkualitas. Dalam konteks pemenuhan tenaga bidan, hal ini ditegaskan oleh Renfreu, dkk yang menyatakan bahwa pelayanan kebidanan yang bermutu berhubungan dengan penggunaan sumber daya yang efektif dan efisien, hal ini hanya bisa tercapai apabila dikerjakan oleh bidan yang berpendidikan, terlatih, berlisensi, dan diatur dengan aturan yang jelas. Semua itu harus terintegrasi dengan sistem pelayanan kesehatan, yakni dalam hal kerjasama tim yang efektif, sistem rujukan, dan sumber daya kesehatan yang mencukupi.
Hal ini bisa menjadi masukan yang baik bagi kita untuk menyempurnakan sistem pelayanan kesehatan kita demi menjamin mutu kesehatan yang merata untuk seluruh rakyat Indonesia.
Oleh : Stevie Ardianto Nappoe, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran-UNDANA
Sumber : Seani. A, et all. 2013. Competence of Midwives with Regard to The Prevention of Low Apgar Scores among Neonates. International Journal of Research in Medical and Health Sciences (IJRMHS) Nov. 2013, Vol. 3, No. 3, ISSN : 2307-2083. http://www.ijsk.org/uploads/3/1/1/7/3117743/1_nursing.pdf
Renfreu, J. Mary, et all. 2014. Midwifery and quality care: findings from a new evidence-informed framework for maternal and newborn care. Lancet; 384: 1129–45.
http://www.thelancet.com/pdfs/journals/lancet/PIIS0140-6736(14)60789-3.pdf