Escape Velocity: Batas Kecepatan Minimal untuk Keluar dari Orbit Mutu Biasa-Biasa Saja
Maureen Bisognano, President and CEO Institute for Healthcare Improvement dari USA menggunakan istilah "Escape Velocity" untuk menggambarkan upaya yang diperlukan agar tingkat mutu pelayanan kesehatan dapat melejit tinggi tidak hanya sekedar naik secara bertahap. Istilah tersebut diambil dari penerbangan roket di luar angksa, yaitu batas kecepatan yang dibutuhkan sebuah roket untuk dapat keluar dari orbitnya.
Dalam mutu pelayanan kesehatan, pendekatan tersebut digunakan untuk mencari upaya yang dapat membuat tingkat mutu melejit keluar orbit yang biasa-biasa saja menjadi excelent, sebuah peningkatan mutu yang bukan sekedar naik 10% namun peningkatan mutu yang bisa mencapai 10 x lipat.
Bagaimana cara mendapatkan escape velocity? Berikut usulan dari Bisognano:
Upaya luar biasa untuk melejitkan mutu pelayanan kesehatan memerlukan ide-ide baru, inspirasi dan kerjasama kolektif dari semua komponen dalam sistem pelayanan kesehatan. Kita harus sama-sama berani menatap langit (maksudnya berani menetapkan standar tertinggi dan bertekad bulat mencapainya).
Keberanian dan kebulatan tekad tersebut akan mempercepat perubahan, mendorong kerjasama antar masyarakat untuk membuat sesuatu yang mustahil menjadi mungkin. Hal ini diperlukan karena banyak hal yang membuat kita tetap pada "orbit" yang sama, seperti permainan atau kebuntuan politis, keterbatasan pemikiran, tarik menarik antara peningkatan volume dengan value, dan berbagai tantangan kompleks lainnya.
Contoh keberanian dan kebulatan tekad dari IHI adalah untuk: 1) Menciptakan suatu kontrak sosial tentang kesehatan yang dapat menjadi pedoman pengambil keputusan dalam setiap sektor dalam masyarakat. 2) Mendorong bergesernya anggaran kesehatan ke pelayanan kesehatan primer/masyarakat sebesar 20% pada tahun 2020. 3) Membuat 100 juta penduduk miskin dan tidak berdaya dapat kembali sehat dan sejahtera. 4) Menciptakan 10.000 komunitas yang dapat meng-eliminasi masalah kesehatan yang dapat dicegah (preventable health).
Dalam konteks di Indonesia jika kita ingin melejitkan mutu pelayanan kesehatan, maka terlebih dahulu perlu ditetapkan lompatan mutu pelayanan kesehatan seperti apa yang diinginkan dan standar setinggi apa yang dicapai. Menggunakan berbagai dimensi mutu, maka standar mutu tersebut dapat ditetapkan seperti: Membuat seluruh masyarakat di Indonesia terjamin akses kepada pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier; Menyediakan pelayanan world class untuk 10 penyakit terbanyak (dibuktikan dengan tercapainya indikator klinis baik proses maupun outcome); Menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan; Membuat keseimbangan antara biaya kuratif dengan biaya perventif dan promotif; dan sebagainya.
Setelah itu perlu ditetapkan 4-5 strategi yang dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan, menyebarluaskan visi tentang lompatan mutu tersebut, lalu menghimpun para "pemain" yang tepat yang dapat mengatasi masalah.
Pertanyaan utama bila ini akan diterapkan di Indonesia adalah: Siapa yang akan memulai? Dan mungkin yang terpenting adalah siapa yang akan menjadi follower awal?
Pertanyaan tersebut penting karena sering sekali berbagai inovasi untuk melejitkan mutu pelayanan kesehatan telah dimulai namun sayangnya tidak dilanjutkan oleh barisan follower, misalnya program Sister Hospital yang bertujuan untuk melejitkan mutu pelayanan obstetri dan neonatal emergency komprehensif (PONEK) telah dimulai oleh FK-UGM dan telah diikuti (dalam bentuk kerjasama) oleh berbagai sentra pendidikan kedokteran lain, namun saat ini belum menjadi gerakan masal dimana sentra pendidikan kedokteran ataupun RS besar dapat melakukan kegiatan ini secara mandiri.
Contoh lain adalah penyusunan manual rujukan KIA yang telah dimulai di Provinsi NTT dan DIY yang bertujuan untuk menata agar rujukan ibu dan bayi dapat terselenggara dengan mulus dan dapat memberikan dampak penurunan kematian ibu dan bayi karena keterlambatan atau ketidaktepatan merujuk.
(Hanevi Djasri, Paris 9 April 2014)