Mengasuh Gangguan Perilaku Pada Demensia
Penulis: Sabar P Siregar (Dokdiknis, Praktisi Psikiater di RSJ Prof dr Soerojo Magelang)
Ilustrasi Kasus
Seorang wanita 65 tahun yang diklasifikasikan dengan diagnosis Demensia Alzheimer, datang dengan diantar keluarganya ke Poliklinik Rawat Jalan untuk kontrol rutin. Dari alloanamnesis, wawancara dengan keluarga yang mengantarkan, didapatkan informasi bahwa seminggu belakangan, ibu ini sering gelisah, tidur hanya sebentar-sebentar dan makan hanya sedikit-sedikit.
Komunikasi yang tadinya sebagian masih dapat dipahami, antara pasien dan keluarga, sudah tidak dapat dilakukan lagi. Pasien tidak dapat menyampaikan apa yang dibutuhkan dan dirasakan. Sehingga seluruh kebutuhan pasien dipenuhi keluarga hanya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman keluarga selama merawat pasien ini.
Setelah melakukan alloanamnesis lebih detail, ada informasi yang disampaikan oleh keluarga bahwa pasien sudah hampir satu bulan tidak lancar buang air besar. Keluarga sudah berusaha memberi obat pencahar tapi tidak begitu berhasil. Setelah berdiskusi dengan keluarga, disepakati agar pasien dirawat inap untuk masalah gangguan buang air besarnya.
***
Dampak dari demensia sangat luas, baik untuk pasien sendiri, perawat maupun keluarganya. Dari salah satu literatur disampaikan bahwa karena terlalu banyaknya kondisi yang harus dihadapi pada penderita demensia, ada kalanya membuat bingung untuk memutuskan kondisi mana dulu yang harus ditangani. Untuk itu, prinsip utama adalah mengelola terlebih dahulu keadaan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Perbedaan antara agitasi dan menolak dirawat pada demensia
Gangguan perilaku adalah salah satu gangguan yang paling sering ditemui pada demensia. Hampir semua pasien dengan demensia pernah menunjukkan gangguan perilaku. Gangguan perilaku dapat dikategorikan, mengganggu atau tidak mengganggu sekitarnya. Semakin bertambah beratnya gangguan kognitif semakin berat juga gangguan perilaku yang dihadapi serta semakin sulit penanganannya.
Adanya gangguan kognitif dapat didasari berbagai aspek. Kondisi ketersediaan sel-sel otak yang masih berfungsi fisiologis aktif, sangat mempengaruhi fungsi kognitif. Seperti diketahui bahwa pada demensia ada kerusakan sel-sel otak yang disebabkan penyakit Alzheimer. Kerusakan itu dapat terjadi di dalam sel sendiri atau di luar sel.
Semakin luas kerusakan sel-sel otak maka ketersediaan sel-sel otak untuk fungsi kognitif akan semakin berkurang dan tentu hal ini akan sangat mempengaruhi kualitas fungsi kognitif. Patofisiologi penyakit Alzheimer sendiri belum sepenuhnya dipahami. Ilmu pengetahuan memang terus berkembang untuk memahami patofisiologi terjadinya penyakit Alzheimer yang pada akhirnya sangat berguna untuk menangani penderita-penderita demensia saat ini dan dimasa mendatang.
Agitasi pada kondisi umum adalah kondisi dimana seseorang marah karena emosinya tersulut. Ekspresi agitasi biasanya dapat berupa mondar mandir, keluyuran atau peningkatan aktivitas lainnya, dapat merupakan aktivitas verbal atau motorik. Sementara itu pada demensia, agitasi dapat merupakan salah satu sarana berkomunikasi untuk menyampaikan bahwa ada hal yang tidak menyenangkan dalam dirinya. Dengan demikian saat ditemukan agitasi pada demensia sebaiknya jangan diinterpretasi secara subyektif oleh perawat dan keluarga tetapi dicari penyebab objektif dari agitasi tersebut karena agitasi pada demensia dapat merupakan manifestasi berbagai keadaan, diantaranya adalah sebagai ekspresi rasa nyeri dan ketidaknyamanan dalam dirinya.
Pada kasus diawal tulisan ini sumber permasalahannya adalah terganggunya buang air besar kurang lebih satu bulan. Gangguan yang dialami pasien ini merupakan gangguan pada salah satu fungsi paling dasar dari kehidupan seorang manusia yaitu fungsi vegetatif. Dalam kondisi normal ketika salah satu fungsi vegetatif seseorang terganggu maka akan menyebabkan ketidaknyamanan sehingga akan segera menyampaikan apa yang dialami agar dicarikan jalan keluar.
Pada kondisi kasus diatas pada pasien ada hambatan komunikasi sehingga tidak mampu menyampaikan apa yang sesungguhnya dialaminya tetapi menyampaikan ketidaknyamanan yang dialaminya lewat perubahan perilaku dari biasanya yaitu adanya agitasi. Kesulitan komunikasi ini, memang sering menjadi tantangan tersendiri untuk menegakkan diagnosis adanya berbagai penyakit yang mungkin terjadi pada demensia. Karena keadaan inilah sering berbagai penyakit dapat terjadi pada demensia tanpa diketahui gejala-gejala awalnya.
Semua diawali dari adanya gangguan kognitif pada demensia khususnya memori yang sangat berguna saat anamnesis. Saat dilakukan anamnesis pada penderita demensia sering lupa apa yang sudah terjadi dan pada tingkat demensia yang lebih berat, tidak dapat lagi bekerja sama saat dilakukan pemeriksaan. Tentu keadaan ini akan mempengaruhi kualitas diagnosis suatu penyakit pada demensia dan dipastikan hal ini sangat berpengaruh dengan penanganannya.
Di sisi lain agitasi juga merupakan salah satu manifestasi gejala gangguan jiwa berat (psikosis) sehingga saat agitasi terjadi pada penderita demensia sangat mungkin pasien demensia agitasi tersebut akan dikategorikan sebagai gejala psikosis. Padahal ada perbedaan yang mendasari terjadinya agitasi. Sehingga jika dasar penyebab agitasinya berbeda maka penanganannya tentu sangat berbeda. Hal lain yang sangat perlu diperhatikan adalah suasana saat terjadinya gangguan perilaku. Karena walau ekspresi gangguan perilakunya sama tetapi dapat berbeda arti dalam suasana berbeda dan tentunya hal ini akan membutuhkan manajemen berbeda.
Menolak dirawat juga merupakan salah satu gangguan perilaku yang sangat mengganggu dan menguras emosi bagi seseorang yang merawat penderita demensia. Peningkatan penolakan perawatan dari pasien demensia berhubungan dengan menurunnya kemampuan berbicara dan memahami bahasa. Kemampuan berbicara dan memahami bahasa sangat berhubungan erat dengan fungsi kognitif. Jika kedua kemampuan itu masih baik berarti fungsi kognitif masih cukup baik.
Pasien demensia yang sering bersikap kasar di tengah masyarakat, juga biasanya menolak untuk dirawat. Faktor psikopatologi yang mungkin berperan meningkatkan penolakan terhadap perawatan adalah waham, halusinasi dan depresi. Waham adalah keyakinan pikiran yang salah. Jadi pasien dengan demensia dan memiliki waham tertentu dapat akan menolak jika mau dirawat karena keyakinan pikirannya yang salah itu meyakini bahwa orang-orang di sekitarnya pasti akan mencelakakan dirinya.
Halusinasi adalah adanya pengalaman persepsi tanpa adanya stimulasi pada salah satu pancaindera. Halusinasi auditorik adalah salah satu halusinasi yang paling signifikan untuk menunjukkan seseorang mengalami gangguan jiwa berat. Halusinasi auditorik dapat berupa suara perintah supaya menolak dirawat. Pada demensia salah satu gejala depresi yang sering adalah apatis.
Tujuan perawatan adalah mencegah meningkatnya penolakan perawatan, untuk itu diperlukan sikap pengasuh yang tenang dan santai yang akan membuat suasana lebih tenang serta melihat apa yang menjadi kebutuhan prioritas.
Di sisi lain, seorang yang merawat merasa apa yang dilakukan atau akan dilakukan adalah untuk kebaikan penderita demensia itu sendiri. Sehingga ketika terjadi penolakan dirawat dari penderita demensia sering membuat yang merawat terbawa emosi. Banyak hal yang membuat pihak yang merawat jadi emosi. Diantaranya adalah kelelahan pribadi yang merawat. Kelelahan dapat terjadi karena yang merawat penderita demensia juga seseorang yang mempunyai kebutuhan pribadi dan kebutuhan itu harus dipenuhi. Jadi yang merawat harus memenuhi kebutuhan penderita demensia yang dirawat dan kebutuhan diri sendiri.
Memenuhi kedua kebutuhan ini, saat bersamaan, tentu sangat berpotensi melelahkan. Tanpa ada penolakan untuk dirawat saja, merawat penderita demensia sudah merupakan hari-hari yang melelahkan apalagi jika ada penolakan. Seakan-akan kebaikan yang sudah dilakukan semua tidak ada artinya, tentu ini sangat melelahkan. Masalah lain adalah jika yang merawat juga memiliki keluarga sendiri. Sudah pasti keluarga yang merawat penderita demensia juga membutuhkan kehadirannya.
Biasanya tanggung jawab merawat penderita demensia adalah anak-anaknya. Padahal anak-anaknya itu juga pada umumnya sudah berkeluarga dan tentu itu sangat membutuhkan pengorbanan yang sangat besar dari diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan kebutuhan penderita demensia. Diantara anak penderita demensia sering juga terjadi silang pendapat karena penderita demensia kadang-kadang menyampaikan informasi yang berubah-ubah diantara anak-anaknya. Bagi keluarga sebaiknya saling mengklarifikasi satu sama lain.
Sedikit catatan bagi pengasuh (perawat)
Tidak ada cara atau metode tertentu yang sistematis dan dapat dipelajari untuk mengasuh gangguan perilaku pada semua demensia. Kesiapan hati dan sikap mau menerima untuk merawat demensia, itu yang utama. Adapun beberapa langkah yang perlu disiapkan hanyalah merupakan prinsip-prinsip umum pada pengasuhan demensia. Diantaranya, menghindari membuat tuntutan kegiatan yang menciptakan stres atau diluar batas kemampuan pasien dengan demensia. Pengasuhan dapat juga dilakukan melalui melibatkan mereka melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari misal menawarkan minum teh, meminta pasien membantu melipat cucian atau kegiatan rumah yang sederhana.
Faktor penting lainnya adalah lingkungan perawatan (suasana) misal dengan sedapat mungkin menghindari perdebatan atau konfrontasi terkait wahamnya. Karena seperti diketahui bersama bahwa waham itu tentu sulit bagi pengasuh untuk merasionalisasi atau mengoreksi waham seseorang terlebih lagi pada demensia yang mana struktur otaknya juga sudah banyak yang rusak.
Mungkin beberapa pengasuh merasa bersalah karena seperti membiarkan pasien tetap mempercayai suatu pikirannya yang salah itu, sehingga tetap berusaha menghilangkan pikiran yang salah itu dan tentu dapat menyebabkan pertengkaran yang hebat diantara keduanya.
Mengubah topik pembicaraan adalah cara lain untuk dapat melihat apa yang mendasari emosi simptom psikotik dan memberi respon yang sesuai. Pengembangan pengetahuan untuk tujuan agar pengasuh memiliki berbagai kemampuan untuk mengurangi kesulitan pasien, sangat diperlukan.
Dampak bagi pengasuh demensia
Tekanan yang dialami pengasuh pasien demensia lebih berat dibandingkan pengasuh lansia dengan hambatan fisik. Pengasuh untuk seseorang demensia, tidak mempunyai waktu untuk liburan atau menikmati hobinya, tidak punya waktu yang cukup untuk anggota keluarga lain. Juga lebih sering melaporkan banyak kesulitan yang berhubungan dengan pekerjaannya dibandingkan pengasuh seseorang dengan hambatan fisik. Stressor utama pada pengasuh pasien demensia adalah tuntutan kebutuhan yang tinggi dari pengasuhan demensia itu sendiri. Stressor kedua muncul dari aspek-aspek kehidupan pengasuh yang dipengaruhi oleh tugas-tugas pengasuhan mereka. Sehingga tingkat mortalitas pengasuh demensia juga meningkat.
Pada akhirnya mengasuh gangguan perilaku pada demensia memerlukan pengembangan pengetahuan yang komprehensif secara kontinyu. Tentu tidak mungkin mencapai pengetahuan itu dalam waktu singkat. Mengasuh penderita demensia dari waktu ke waktu, secara tidak langsung juga mengembangkan pengetahuan diri sendiri terhadap penderita demensia. Memang pengetahuan untuk pasien demensia tertentu belum tentu dapat diterapkan untuk pasien demensia lainnya. Prinsipnya adalah membuat penderita demensia nyaman dan aman sesuai kemampuan pengasuh.
Keterlibatan komunitas untuk mengelola penderita-penderita dengan demensia memang menjadi suatu keniscayaan. Langkah awal adalah adanya komunikasi antara keluarga dengan demensia disuatu wilayah tertentu. Berbagi pengalaman dengan memanfaatkan sistem informasi media sosial yang saat ini sudah lebih mudah terjangkau. Selanjutnya wadah saling berkomunikasi ini dibuat lebih terstruktur sehingga menjadi suatu wadah komunitas yang saling mendukung satu sama lain. Harus ada yang memulai dan mari kita memulai dari diri sendiri untuk saling berkomunikasi. Tulisan ini adalah sarana memulai untuk saling berkomunikasi.