Strategi Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan Jiwa
Disarikan: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK KMK UGM)
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) diperingati setiap tanggal 10 Oktober setiap tahunnya, dengan tujuan meningkatkan kesadaran tentang isu-isu kesehatan jiwa di seluruh dunia dan memobilisasi upaya dalam mendukung kesehatan jiwa.
Peringatan HKSJ merupakan hari yang menjadi momentum kampanye masif bagi semua pemangku kepentingan yang bekerja pada isu-isu kesehatan jiwa dan mendorong upaya-upaya untuk mencari solusi bagi upaya pencegahan dan pengendalian masalah kesehatan jiwa dan Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA) di seluruh dunia. Tema peringatan HKJS tahun ini adalah “Mental Health in An Unequal World' (Kesetaraan Dalam Kesehatan Jiwa Untuk Semua).
Di Indonesia, kondisi Kesehatan Jiwa (Keswa) masih menjadi salah satu isu yang belum mendapatkan perhatian yang optimal, padahal secara jumlah, penderita gangguan jiwa terus meningkat, terutama di masa pandemi COVID 19. Data menunjukkan, bahwa terjadi peningkatan kasus depresi dan ansietas selama pandemi.
Lebih dari 60% mengalami gejala depresi; dengan lebih dari 40% disertai ide bunuh diri. Sekitar 32,6 - 45% penduduk yang terpapar COVID 19 mengalami gangguan depresi, sementara 10,5 - 26,8% penyintas COVID mengalami gangguan depresi. Selama pandemi lebih dari 60% mengalami gejala ansietas; dan lebih dari 70% dengan gangguan stres pasca trauma. Saat terpapar COVID sekitar 35,7 - 47% mengalami gangguan ansietas serta 12,2% mengalami gangguan stres pasca trauma.
Tingginya masalah Keswa akan berdampak terhadap kualitas dan produktifitas sumber daya manusia kedepan, sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan jiwa yang mendorong peran pemerintah dan kerja sama semua pihak untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat, maupun pemangku kepentingan terhadap masalah kesehatan jiwa mulai dari upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative. Berikut ini beberapa isu strategis terkait dengan permasalahan Keswa, diantaranya:
- Anggaran untuk pencegahan dan Keswa dan NAPZA yang terbatas, belum semua daerah menganggarkan untuk program Keswa dan NAPZA, karena belum optimalnya komitmen pengambilan kebijakan untuk program keswa dan napza.
- Regulasi dan kebijakan, masalah Keswa belum merupakan program prioritas, program pelayanan Keswa di daerah masih belum terlaksana secara berkesinambungan, sehinga regulasi dan kebijakan bidang Keswa seringkali tidak sejalan antara pusat dan daerah.
- Akses dan mutu layanan, luasnya geografis Indonesia dan terbatasnya fasilitas pelayanan Keswa, menyebabkan masyarakat sulit dalam mengakses pelayanan Keswa, serta masih ada 8 provinsi yang tidak memiliki RSJ. Selain itu, mutu pelayanan Keswa di fasilitas pelayanan kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Sistem rujukan juga belum berjalan optimal, seperti rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama belum dilakukan sesuai dengan prosedur rujukan yang benar, dan belum dilakukan sesuai dengan pedoman/standar yang baku.
- Sumber daya manusia, tenaga spesialis dan subspesialis jiwa masih terbatas, dan penyebarannya masih belum merata
- Stigma dari masyarakat, keengganan masyarakat membawa Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) mencari pengobatan medik, mereka malu bila ada keluarganya mengalami gangguan jiwa.
- Ketersediaan obat, yang berkesinambungan obat psikotropik di puskesmas. Hal ini perlu mendapat perhatian, mengingat penatalaksanaan gangguan jiwa yang sebagian besar bersifat kronis, memerlukan ketersediaan obat secara kontinyu.
- Sistem pelaporan yang belum optimal, format laporan juga belum seragam, petugas pencatatan dan pelaporan Keswa belum memahami tentang tata cara pelaporan kesehatan jiwa sehingga mempersulit pelaporan.
- Koordinasi dan Kerjasama lintas program maupun lintas sektoral belum optimal. Kegiatan Keswa yang berhubungan dengan program kesehatan keluarga dapat digambarkan sebagai berikut: Pemeriksaan kesehatan jiwa pada Ibu hamil dalam kegiatan ANC (Antenatal Care). Deteksi kemungkinan ibu nifas mengalami baby blues syndrome atau depresi postpartum dalam kegiatan kunjungan Ibu nifas; Deteksi dini masalah kejiwaan dengan menggunakan SRQ 20 pada calon pengantin, pada kegiatan Posbindu, pada aktivitas pos lansia; berkaitan dengan Kesehatan Kerja dan Olah Raga antara lain upaya deteksi dini bagi calon pekerja migran (PMI), pemeriksaan kesehatan jiwa bagi calon kepala daerah sebelum berlangsungnya pilkada serentak, dsb.
Berdasarkan permasalahan di atas, beberapa strategi telah direncanakan melalui arah kebijakan program dan kegiatan Direktorat P2 yang tertuang dalam Rencana Aksi Kegiatan tahun 2020-2024 di Direktorat P2 Masalah Keswa dan NAPZA diantaranya:
- Penguatan regulasi masalah Keswa dan NAPZA,
- Penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) Keswa dan NAPZA
- Pengembangan Peta Jalan (ROAD MAP) program promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif Keswa dan Napza 2020- 2024,
- Advokasi dan Sosialisasi Program P2 masalah Keswa dan NAPZA
- Peningkatan jejaring kemitraan masalah Keswa dan NAPZA dengan lintas program dan lintas sektor;
- Pencegahan dan pengendalian Keswa dan penyalahgunaan NAPZA terintegrasi di Fasyankes/PKM dalam kerangka JKN;
- Pencegahan dan Pengendalian Keswa dan penyalahgunaan NAPZA berbasis keluarga, masyarakat, institusi pendidikan, lingkungan kerja;
- Peningkatan promosi kesehatan Masalah Keswa dan Napza
- Pengembangan dan Penguatan Surveilans masalah Keswa dan Napza dengan optimalisasi system informasi;
- Perluasan riset dan inovasi dalam untuk tersedianya data kematian karena bunuh diri dan penyalahgunaan NAPZA secara berkesinambungan;
- Peningkatan peran serta komunitas, masyarakat, mitra dan multisektor lainnya dalam pencegahan masalah Keswa dan NAPZA.
Sumber:
- Kementerian Kesehatan RI, 2020. Rencana Aksi Kegiatan 2020–2024, Direktorat P2 Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Jakarta.
- Kementerian Kesehatan RI, 2021. Panduan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2021, Direktorat P2 Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Jakarta.