Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Pendahuluan

Dalam tulisan sebelumnya, telah dibahas beberapa pertimbangan dalam menyusun indikator mutu rumah sakit. Indikator perlu dipresentasikan untuk memberikan gambaran mutu rumah sakit. Presentasi ini baik berupa presentasi tim mutu rumah sakit ke kalangan manajemen puncak, presentasi direktur kepada surveyor akreditasi, maupun advokasi manajemen puncak ke tingkat pemilik rumah sakit (pemerintah pusat, pemerintah daerah, yayasan, maupun korporasi).

Dalam beberapa kesempatan penulis menyaksikan presentasi tersebut, kerap terjadi data unggulan menjadi kurang diperhatikan karena disajikan kurang sempurna. Kerap pula penyaji harus menjelaskan ulang data tersebut dalam sesi tanya jawab. Akibatnya, waktu yang semestinya bisa digunakan untuk diskusi peningkatan mutu menjadi terbuang percuma.

Bagaimana menyajikan data indikator mutu dengan efisien? Tulisan ini akan mencoba mengupas beberapa pertimbangan utama sehingga dapat membantu pembaca menentukan strategi penyajian data indikator mutu rumah sakit tersebut dalam sebuah presentasi lisan. Ilustrasi yang digunakan dalam tulisan ini bukan merupakan data asli salah satu rumah sakit dan hanya digunakan dengan tujuan mendukung ide-ide dalam tulisan ini. Selamat menikmati.

Tipe Data Indikator Mutu Rumah Sakit

Dalam pembicaraan mengenai pengelolaan indikator mutu rumah sakit, selalu muncul istilah "data". Dianggap sebagai objek yang sudah dikenal, data jarang didefinisikan. Untuk menghindari beragam definisi data, mari kita sepakati data sebagai keterangan yang menggambarkan persoalan atau hasil dari pengamatan karakteristik tertentu. Indikator mutu merupakan pengukuran yang diwujudkan dalam angka (Takaki et al., 2013; Collopy, 2000), maka hasil pengamatan indikator mutu boleh kita sebut sebagai data.

Ada berbagai cara mengklasifikasi data. Untuk tujuan penyajian indikator mutu rumah sakit ini, kita akan menggolongkan data menjadi dua, yaitu data kategorik dan data kuantitatif (Bahna & McLarty, 2009). Data kategorik memiliki karakteristik tertentu yang ditentukan sebelum data diambil. Data kategorik biasa digolongkan menjadi tiga, yaitu nominal, ordinal, dan interval.

Data nominal adalah data kategori yang hanya bisa dijelaskan dengan nama, seperti misalnya nama instrumen bedah (bisturi, klem, kocher, pemegang jarum, dan pinset). Data nominal bisa memiliki banyak atribut seperti contoh sebelumnya, namun bisa juga berupa data biner yang hanya memiliki dua atribut seperti jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Walaupun indikator mutu rumah sakit selalu merupakan pecahan, tidak menutup kemungkinan data primernya berupa data nominal seperti contoh dalam tabel berikut ini.

Tabel 1 Ilustrasi data nominal infeksi luka operasi sebelum dan setelah intervensi. Dalam pengumpulan data, setiap pasien yang memenuhi kriteria dicatat apakah ada infeksi atau tidak: dua pilihan atribut yang ditentukan sebelumnya.

Indikator: Infeksi Luka Operasi

Intervensi

Total

Sebelum

Sesudah

Infeksi

56

21

77

Tidak Infeksi

280

363

643

Total

336

384

720

Data ordinal juga mempunyai atribut yang ditentukan sebelumnya dan setiap sampel masuk dalam salah satu kategori. Bedanya dengan data nominal adalah adanya penjejangan (pelapisan) yang tidak pasti jaraknya dalam data ordinal. Misalnya dalam survei kepuasan pasien instalasi gawat darurat, dibuat lima kategori kepuasan, yaitu sangat puas, puas, kurang puas, tidak puas, dan sangat tidak puas. Tidak ada jarak yang pasti antar kategori dalam data ordinal. Contoh data ordinal yang kerap dibahas dalam persiapan akreditasi rumah sakit adalah skala nyeri.

Jarak antar kategori membedakan data interval dan data nominal. Data interval mempunyai jarak antar kategori yang sama. Bulan-bulan dalam satu tahun adalah contoh data interval karena kurang lebih jaraknya sama, yaitu 30 hari.

Data kuantitatif berbeda dengan data kategori. Data kuantitatif terbagi menjadi dua, yaitu data kontinyu dan data diskret. Data kontinyu merupakan data hasil pengukuran yang teliti dan dapat pada angka berapa saja. Data diskret merupakan data yang merupakan pendekatan satuan terukur misalnya laju nadi (kali per menit), usia dalam tahun, dan lain-lain. Data diskret mirip sekali dengan data interval kecuali bahwa data interval biasanya hanya dalam kategori terbatas sementara data diskret bisa tak terbatas.

Pertimbangan Penyajian Data

Data dapat disajikan dengan teks, tabel, maupun tampilan grafis. Tampilan grafis lebih disukai daripada tampilan teks dan serba angka karena lebih efektif meninggalkan pesan walau juga dapat membawa ke arah yang salah (Stengel et al., 2008). Untuk menggunakannya, panduan dari van Belle, "struktur kalimat untuk menampilkan 2-5 angka, tabel untuk menampilkan informasi numerik yang lebih banyak, dan grafik untuk hubungan yang kompleks," masih relevan (Bahna & McLarty, 2009).

Menampilkan data dengan teks memang merupakan teknik yang paling umum walaupun jelas bukan pula yang terbaik. Menggunakan kalimat pendek yang tepat adalah satu-satunya cara optimalisasi penyajian data dengan teks.
Pilihan yang lebih baik dari teks adalah tabel. Tabel dapat menyajikan satu macam informasi namun juga mampu menampilkan hubungan lebih dari satu informasi. Kemampuan pemirsa memahami isi tabel bergantung pada desain tabel. Variabel kuantitatif harus diurutkan (kecil ke besar atau sebaliknya) atau dibuatkan interval. Penting untuk memastikan tidak ada kelompok variabel yang tumpang tindih.

Bila dalam tabel termuat data frekuensi, pertimbangkan untuk menambahkan persentase frekuensi tersebut. Penting juga untuk mempertimbangkan untuk menggabungkan kategori-kategori yang nilainya kecil menjadi satu kategori. Kategori-kategori tersebut perlu ditulis dengan jelas dan ringkas di bawah judul tabel yang juga jelas dan ringkas. Ingat bahwa orang cenderung lebih suka melihat tabel daripada teks, sehingga penting sekali agar tabel mudah ditemukan dan diingat.

Tabel 2. Contoh tabel interval kelompok umur dan frekuensinya. Tabel di sebelah kanan disajikan lebih baik.

Kelompok Umur

Frekuensi

Kelompok Umur

Frekuensi

1 – 5

10

1 – 4

9 (9%)

5 – 10

34

è

5 – 9

34 (34%)

10 – 15

38

9 – 14

38 (38%)

15 - 20

18

15 - 19

19 (19%)

Tampilan grafik memiliki dampak visual yang paling cepat, paling kuat, paling tahan lama namun kurang presisi (Bahna & McLarty, 2009). Grafik atau diagram paling mumpuni dalam menampilkan tren atau perbandingan. Bila grafik dibuat untuk menggantikan data (atau datanya bersumber) dari tabel, tidak perlu untuk menampilkan tabel asalnya. Dewasa ini, grafik atau diagram sangat mudah dibuat dengan program spreadsheet atau program pengolah data statistik lain. Walau demikian, setiap tipe grafik memiliki karakteristik tersendiri yang perlu dipahami sebelumnya. Pemahaman karakteristik grafik ini penting agar pesan yang disampaikan tidak "melenceng" dari maksud awal.

Penyajian indikator mutu dalam bentuk grafis sebaiknya mengikuti kebiasaan dalam penyajian data ilmiah, yaitu tidak mengubah grafis penyajian data menjadi sebuah karya seni. Penyajian diharapkan tetap efisien, tidak terlalu banyak pewarnaan yang tidak perlu, tumpang tindih tiga dimensi, dan dilengkapi dengan keterangan teks yang ringkas dengan ukuran yang seimbang dengan grafis (Stengel et al., 2008). Apabila diperlukan satuan, cantumkan juga satuan dengan jelas (Bahna & McLarty, 2009).

Diagram garis dan diagram batang paling sering dipakai dalam penyajian data. Diagram garis dipakai untuk menggambarkan perubahan nilai suatu variabel seiring dengan waktu, sementara diagram batang dipakai menggambarkan nilai beberapa variabel (Sonnad, 2002). Dalam presentasi indikator mutu, kerap ditemukan presenter yang menggambarkan perubahan indikator mutu seiring waktu menggunakan diagram batang karena dianggap lebih jelas mencitrakan perubahannya. Hal ini kurang tepat dan sebaiknya dihindari. Dalam menyajikan diagram batang dan garis, penting pula untuk memperhatikan skala pengukuran agar perbedaan nilai antar variabel atau antar periode waktu lebih mudah dilihat. Gambar berikut ini adalah contoh indikator mutu yang digambarkan dengan diagram garis dan diagram batang.

28sept-1

Gambar 1. Diagram garis di sebelah kiri menunjukkan penurunan angka kejadian infeksi luka operasi sementara diagram batang di sebelah kanan menunjukkan angka kejadian infeksi luka operasi di empat ruang perawatan bedah yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin.

Diagram batang mirip dengan histogram. Dalam beberapa pembahasan bahkan keduanya dianggap sama. Histogram bentuknya memang hampir sama dengan diagram batang, namun keduanya melayani fungsi yang berbeda. Histogram menggambarkan distribusi frekuensi

28sept-2

Gambar 2. Seorang spesialis anestesi mengukur skala nyeri pasien 8 jam setelah operasi appendiktomi di sebuah rumah sakit selama tiga bulan. Distribusi frekuensi disajikan dalam histogram ini. Nilai mengukuran dicantumkan pada puncak batang untuk memudahkan pembacaan, karena ada nilai-nilai dengan rentang cukup jauh.

Diagram pie juga merupakan pilihan penyajian data yang menarik namun mungkin kurang bermanfaat dalam penyajian data indikator mutu. Diagram pie memiliki keunggulan menyajikan distribusi relatif suatu data dibandingkan totalnya (Bahna & McLarty, 2009). Beberapa diagram pie dapat digunakan untuk membandingkan data-data yang berbeda.

28sept-3

Gambar 3. Contoh diagram pie yang menunjukkan distribusi frekuensi kepuasan pasien instalasi gawat darurat di suatu rumah sakit.

Penyajian data indikator mutu rumah sakit dengan teks, tabel, dan grafik pada presentasi seperti disampaikan di atas merupakan upaya agar audiens mendapatkan informasi lebih banyak dibandingkan kalau mendengar saja atau melihat saja (Cipolla, n.d.). Untuk itu, membuat presentasi yang baik secara keseluruhan juga penting. Tetaplah penting untuk mempersiapkan presentasi, mempelajari topik, dan mengeksekusi presentasi dengan baik. Buatlah presentasi dengan pembukaan, topik utama, dan kesimpulan (Cipolla, n.d.). Penyajian data yang sudah dipersiapkan dengan baik sesuai paparan di atas tetap harus dikuasai dan dikomunikasikan dengan baik selama presentasi.

Penutup

Penyajian data indikator mutu rumah sakit dapat menjadi penentu masa depan penting rumah sakit. Paradigma keselamatan dan mutu yang selalu terkait dewasa ini, menjadikan pengukuran mutu menjadi hal utama dalam persiapan akreditasi rumah sakit maupun pengembangan rumah sakit. Ide utama dalam penyajian data indikator mutu rumah sakit semestinya dapat terkomunikasikan dengan baik. Penyajian data indikator mutu seperti yang diuraikan di atas diharapkan dapat berkontribusi pada penyajian data indikator mutu yang lebih baik dan bermanfaat bagi rumah sakit.

Bahan Bacaan

Bahna, S.L. & McLarty, J.W., 2009. Data Presentation. Annals of Asthma, Allergy, & Immunology, 103, pp.S15-21.
Cipolla, R., n.d. [Online] Available at: HYPERLINK "http://mi.eng.cam.ac.uk/~cipolla/archive/Presentations/MakingPresentations.pdf" http://mi.eng.cam.ac.uk/~cipolla/archive/Presentations/MakingPresentations.pdf [Accessed 2 September 2015].
Collopy, B.T., 2000. Clinical indicators in accreditation: an effective stimulus to improve patient care. International Journal for Quality in Health Care, 12(3), pp.211-16.
Sonnad, S.S., 2002. Describing Data: Statistical and Graphical Method. Radiology, 225(3), pp.622-28.
Stengel, D., Calori, G.M. & Giannoudis, P.V., 2008. Graphical Data Presentation. Injury, Int. J. Care Injured , 39, pp.659-65.
Takaki, O. et al., 2013. Graphical representation of quality indicators based on medical service ontology. Springer Plus, 2(274), pp.1-20.

Penulis

Artikel ini ditulis dr. Robertus Arian Datusanantyo, M.P.H. dan merupakan opini pribadi. Data yang dipakai dalam contoh adalah fiktif dan digunakan hanya untuk memperjelas maksud.

Ada beragam bentuk upaya peningkatan mutu layanan kesehatan. Salah satunya dengan menurunkan lama rawat inap (length of stay/LOS) di rumah sakit. Banyak pula metode untuk menjamin peningkatan mutu ini. Salah satunya adalah metode yang melibatkan akuntabilitas dokter.

Penelitian di berbagai negara menunjukkan proporsi besar masa rawat inap tercurah pada pelayanan non akut yang sebenarnya tidak perlu rawat inap. Dari penelitian serupa ditemukan sebanyak 20% tempat tidur di rumah sakit digunakan secara tidak patut. Kejadian ini berdampak pada pemborosan biaya dan sumber daya manusia. Masa rawat inap yang panjang juga menyebabkan pasien terkena resiko komplikasi iatrogenik. Pada pasien lanjut usia, masa rawat inap berlebih meningkatkan resiko penurunan fungsi tubuh yang mempengaruhi kualitas hidup.

Studi observasi menunjukkan berbagai penyebab perpanjangan lama rawat inap, yaitu akses terhadap layanan komunitas, tertundanya pelayanan medis, dan yang tidak kalah penting adalah akibat perilaku klinisi. Berbagai intervensi seperti discharge planning, penggunaan care pathways, program pengingat bagi klinisi, audit periodik untuk identifikasi dan merespon alasan keterlambatan, penggunaan ceklis untuk perencanaan kunjungan, maupun identifikasi motivasi rujukan dokter pernah diadopsi untuk menurunkan LOS yang tidak perlu. Umumnya, intervensi yang dilakukan hanya menggunakan satu jenis strategi. Setelah implementasi strategi ini dievaluasi, hasilnya belum dapat disimpulkan strategi umum yang dapat menurunkan masa rawat inap yang tidak perlu.

Alasan inilah yang mendasari Caminiti dkk. melakukan penelitian untuk mengevaluasi dampak berbagai komponen strategi, dengan audit dan umpan balik sebagai komponen inti, untuk menurunkan LOS yang tidak perlu. Audit dan umpan balik adalah intervensi yang umum digunakan untuk meningkatkan praktek profesional baik digunakan sendiri atau menjadi komponen intervensi peningkatan mutu multifaset. Ada kepercayaan bahwa profesional kesehatan terdorong untuk memodifikasi prakteknya ketika diberikan umpan balik mengenai kinerja mereka yang tidak optimal. Studi yang bersifat cluster randomized trial itu dilakukan di 12 bangsal dengan LOS terpanjang di salah satu rumah sakit di Italia.

Strategi dalam penelitian ini bertujuan memotivasi masing-masing klinisi untuk mengadopsi pola praktek yang lebih efisien. Strategi ini terdiri dari dua komponen terintegrasi. Pertama, distribusi dua laporan bulanan. Laporan pertama berisi daftar pasien yang diklasifikasikan sebagai pasien yang masih ada di bangsal walau status klinis mereka sudah layak pulang. Laporan kedua berisi profil LOS masing-masing pasien dalam kelompok intervensi. Kedua, audit oleh profesional di masing-masing bangsal dalam kelompok intervensi. Audit ini bertujuan untuk mendiskusikan kasus-kasus pasien yang dinilai layak pulang.

Penelitian ini menunjukkan bahwa strategi yang langsung melibatkan dokter terbukti bermanfaat untuk menurunkan LOS pada kelompok pasien yang masih dirawat tanpa alasan jelas. Strategi ini menunjukkan bahwa proses mengingatkan dokter untuk mengurangi masa rawat inap dapat dilakukan dengan cara sederhana tanpa perlu tambahan intervensi kompleks. Strategi yang melibatkan dokter, dapat membantu menurunkan masalah masa rawat inap yang terkait kontrol staf medis (lihat tabel 1). Dengan cara sederhana ini, pasien dapat juga selamat dari dampak buruk masa rawat inap yang terlalu panjang.
Tabel 1. Daftar alasan perpanjangan masa rawat inap

art27ags1

Oleh : drg. Puti Aulia Rahma, MPH
Sumber : Caminiti et al., Reducing unnecessary hospital days to improve quality care through physician accountability: a cluster randomized trial, BMC Health Service Research 2013; 13:14.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3577481/pdf/1472-6963-13-14.pdf

 

Top manajemen sering disebut sebagai penentu kesuksesan dalam pengimplementasian Quality Improvement (QI). Karena top manajemen dianggap mampu membangun kualitas suatu organisasi sebagai prioritas utama, menciptakan kualitas sebagai budaya yang ditanamkan dalam organisasi, dan memobilisasi sumber daya keuangan dan manusia yang diperlukan untuk mendukung perkembangan organisasi. Begitu pula top manajemen pada rumah sakit. Sebagai suatu organisasi, pentingnya peran dari top manajemen pada rumah sakit di dunia budaya klinis dalam Continuous Quality Improvement/ Total Quality Management (CQI/TQM).

Namun fakta yang terjadi, manajer kesehatan kurang mampu melakukan kontrol secara langsung atas insentif dan kondisi kerja yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku dokter dan akan berdampak pada biaya dan kualitas penanganan klinis. Hal ini dapat terjadi karena ketika mereka dipekerjakan oleh suatu organisasi kesehatan, dokter diberikan status dengan hak otonomi dalam pengambilan keputusan dalam melakukan tindakan klinis. Mengingat status khusus dari dokter di organisasi kesehatan, manajer kesehatan tidak dapat bergantung pada struktur manajemen yang konvensional.

Peningkatan mutu rumah sakit harus selalu dilakukan secara berkesinambungan agar bisa memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dulu, tugas untuk meningkatkan mutu rumah sakit hanya merupakan tugas dari manajemen rumah sakit, tetapi dengan CQI/ TQM, semua pihak dilibatkan dalam peningkatan mutu rumah sakit mulai dari manajemen puncak, staf sampai dengan petugas pelayanan. CQI/ TQM mengendalikan mutu berdasar pada fakta yang objektif. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui gambaran situasi dan persolan yang ada sehingga untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dalam meningkatkan manajemen mutu juga berdasar atas fakta bukan opini pribadi ataupun golongan.

Pada CQI/ TQM, keterlibatan petugas medis sangat dibutuhkan. Keterlibatan tenaga medis pada CQI/ TQM dapat dilihat dari partisipasi dokter dalam pelatihan QI formal, partisipasi dokter dalam tim QI, klinisi yang terlibat dalam proyek QA/ QI dan departemen klinis di rumah sakit yang memliki proyek QA/QI resmi yang terogranisir.

Berdasarkan survei dari beberapa rumah sakit yang menerapkan CQI/ TQM, 11% dari dokter ahli telah menerima pelatihan QI formal, tetapi hanya 8% yang berpartisipasi dalam tim proyek QI. Lebih dari setengah dari departemen klinis di rumah sakit yang memiliki proyek QI yang terorganisir resmi. Akan tetapi, hanya 18% tim proyek yang menggunakan data untuk perbaikan mutu. Data ini dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan data ini, kondisi rumah sakit yang menerapkan CQI/ TQM masih perlu ditingkatkan, diharapkan semua rumah sakit dapat menggunakan data tersebut untuk peningkatan mutu rumah sakit.

Tabel 1. Study Measures and descriptive Statistics

art27ags2

Keterlibatan semua pihak di rumah sakit sangat penting guna meningkatkan kualitas rumah sakit. Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa keetrlibatan semua unsur manajemen puncak, staf dan kepemimpinan dokter sangat siginifikan.
Tabel 2. Logistic Regression Analysis of Physician Involvement in Governance, Board Leadership for Quality, and CEO Leadership for Quality on Clinical Involvement in CQI/ TQM

27ags-2

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan dari atas adalah faktor kunci keberhasilan dalam memenuhi semua masalah ini. Sebagai contoh, pemimpin rumah sakit dapat meningkatkan kredibilitas dari upaya CQI/ TQM dengan menghubungkan semua aspek SDM dan keuangan untuk CQI/ TQM, selain itu juga komitmen yang kuat dan perbaikan yang berkelanjutan juga berperan dalam hal ini. Pemimpin rumah sakit dapat mendorong kinerja tim lintas fungsional antara professional kesehatan dengan menetapkan anggaran pada jalur layanan klinis.

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri, S.Kep.,MPH
Sumber: Weiner et al., 1997. Promoting Clinical Involvement in Hospital Quality Improvement Efforts: The Effects of Top Management, Board, and Physician Leadership. HSR: Health Services Research 32:4.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1070207/pdf/hsresearch00036-0116.pdf

Perkembangan zaman yang semakin maju tidak sebanding dengan peningkatan kualitas dalam dunia kedokteran. Hal ini terlihat terutama pada pelayanan kesehatan tingkat pertama dan layanan primer. Dokter yang memiliki andil besar dalam mewujudkan layanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau harus mampu juga melakukan pelayanan dengan memperhatikan skrinning atau penapisan rujukan tingkat pertama dan kendali mutu serta kendali biaya sesuai dengan standar kompetensi. Besarnya peran dan harapan terhadap dokter belum disertai kualitas dokter-dokter muda yang akan menjadi tumpuan pembangunan kesehatan ke depan.

Hasil survei dokter nasional (2003) menyatakan masih sedikit dokter yang menggunakan metode peningkatan kualitas mutu dalam pelayanan. Di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mulai diimplementasikan pada Januari 2014, harus ada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan primer.

Penelitian yang dilakukan di Amerika serikat (AS) kepada 3.598 dokter mengenai keterlibatan mereka dalam peningkatan kualitas (Quality Improvement) di layanan kesehatan. Dari penelitian didapatkan hasil, bahwa hanya sepertiga dokter yang menerapkan sistem peningkatan kualitas dalam layanan kesehatan, baik dalam praktek pribadi atau kelompok. Dokter yang dalam prakteknya menggunakan Electronic Medical records (EMRs) memiliki tingkat penyimpanan data yang baik mengenai riwayat penyakit pasien. Hal ini tentu saja berkaitan dengan kualitas dokter dalam pelayanan. Honorarium yang didapat dalam praktek oleh seorang dokter juga mempengaruhi pada kualitas dari pelayanan.

Banyak faktor yang menunjang peningkatan kualitas dalam layanan kesehatan. Oleh sebab itu kebijakan mengenai peningkatan kualitas mutu, khususnya dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh profesi dokter, sebaiknya lebih ditingkatkan. Kebijakan yang disusun sebaiknya difokuskan pada bidang kapasitas, pendidikan dan profesionalisme. Kualitas pelayanan yang baik guna mewujudkan pelayanan yang prima.

Oleh : Elisa Sulistyaningrum, S.Gz, Dietisien, MPH.
Sumber : Audet et al., 2005. Measure, Learn, And Improve: Physicians' Involvement In Quality Improvement. Health Affairs, Volume 24, Number 3.
http://content.healthaffairs.org/content/24/3/843.full.pdf+html