Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Pendahuluan

Pada kesempatan yang lalu, penulis pernah membagikan ide mengenai penyusunan indikator mutu rumah sakit dan penyajian indikator mutu rumah sakit. Walaupun keduanya sudah cukup untuk karya sehari-hari, tidak ada salahnya bila para manajer dan pemimpin sistem mikro di rumah sakit menambahkan analisis secara statistika terhadap pengukuran indikator mutu tersebut.

Analisis ini diharapkan menjadi insight apakah intervensi yang dilakukan untuk memperbaiki nilai indikator mutu sudah adekuat. Analisis ini juga akan merangsang para pemimpin sistem mikro di rumah sakit beserta tim untuk terbiasa melakukan penelitian. Tim yang terbiasa melakukan penelitian akan mudah mengembangkan diri karena senantiasa menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apakah usaha ini sudah cukup signifikan?"

Pada tulisan bagian pertama ini, penulis mengajak pembaca untuk menyimak salah satu contoh analisis data sebelum dan setelah intervensi pada indikator mutu rumah sakit dengan tipe data kontinyu. Indikator yang digunakan dalam mengilustrasikan contoh analisis data ini adalah: waktu tunggu masuk ruang perawatan.

Ilustrasi Kasus

Rumah Sakit "Pantai Bahagia" menetapkan salah satu indikator mutu pelayanan ruang persiapan rawat inap adalah "waktu tunggu masuk ruang perawatan". Rumah sakit ini mengukur waktu yang diperlukan sejak bagian admisi (tempat penerimaan pasien) menentukan ruang perawatan bagi pasien sampai dengan pasien diantar dari ruang persiapan rawat inap. Semakin besar angka yang diukur dalam menit ini, semakin lama pula pasien menunggu di ruang persiapan rawat inap dan meningkatkan potensi penuhnya ruang persiapan rawat inap.

Disepakati pula bahwa tidak semua kasus akan diukur, hanya sepuluh pasien pertama di ruang persiapan rawat inap setiap tanggal 1 bulan baru saja yang diukur. Waktu diukur dalam satuan menit dan dicatat untuk disajikan dan dianalisis. Hasil pengukuran bulan pertama disajikan dalam Tabel 1.

No. Sampel

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Rerata

Waktu tunggu
(menit)

75

67

45

46

52

36

92

88

73

65

63,9

Tabel 1 Hasil pengukuran waktu tunggu persiapan rawat inap.

Tim ruang persiapan rawat inap mendiskusikan hasil pengukuran ini. Hasilnya, beberapa proses administrasi bisa dipersingkat. Meski demikian, ada satu kendala yang tidak dapat diputuskan solusinya. Rumah sakit ini mengatur bahwa ruang persiapan rawat inap tidak dapat memobilisasi pasien, harus menunggu dijemput dari ruang perawatan yang dituju. Perawat penjemput ini sering datang lambat sehingga pasien menumpuk di ruang persiapan rawat inap.

Akhirnya kepala ruang persiapan rawat inap mengusulkan kepada direktur agar pasien dapat dimobilisasi dari ruang persiapan rawat inap oleh perawat persiapan rawat inap ditemani satu orang petugas transporter atau petugas keamanan. Direktur setuju, sehingga ruang persiapan rawat inap secara resmi mengerjakan dua macam perbaikan, yaitu proses administrasi yang dipersingkat dan perubahan mobilisasi pasien. Mereka menargetkan rerata waktu tunggu kurang dari 40 menit. Hasil pengukuran satu bulan setelah intervensi disajikan dalam Tabel 2.

No. Sampel

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Rerata

Waktu tunggu
(menit)

54

17

36

34

61

24

53

44

72

25

42

Tabel 2 Hasil pengukuran waktu tunggu persiapan rawat inap setelah intervensi.

Sekilas dari perhitungan rerata didapatkan bahwa intervensi tempo hari membuahkan hasil penurunan rerata waktu tunggu persiapan rawat inap namun belum mencapai target. Muncul pertanyaan apakah intervensi yang dilakukan sudah secara signifikan memperbaiki kondisi atau belum. Di sinilah peran analisis statistik.

Analisis Statistik

Analisis statistika dapat dilakukan dengan penghitungan manual atau dengan menggunakan perangkat lunak. Berbagai perangkat lunak tersedia baik yang berbayar maupun yang gratis, karena penulis ingin mendorong pengujian secara statistik ini dilakukan secara rutin, maka disarankan menggunakan program analisis statistik yang mudah dan umum digunakan seperti misalnya SPSS. Dalam tulisan ini tidak akan dijelaskan langkah demi langkah analisis dalam program analisis statistik. Penjelasan mengenai hal tersebut jamak ditemukan lewat mesin pencari daring (online). Data mentah yang ada dimasukkan ke dalam program analisis statistik tersebut.

Langkah pertama dalam analisis data indikator ini adalah menentukan tipe data. Penjelasan mengenai tipe data dapat dibaca kembali pada tulisan sebelumnya mengenai penyajian indikator mutu rumah sakit (http://mutupelayanankesehatan.net/index.php/19-headline/2048-menyajikan-indikator-mutu-rumah-sakit). Dari keterangan tersebut, kita mengetahui bahwa data kuantitatif indikator waktu tunggu persiapan rawat inap ini adalah data kontinyu. Umumnya, data kontinyu dianalisis menggunakan statistik parametrik apabila datanya terdistribusi normal.

Untuk mengetahui apakah data tersebut terdistribusi normal atau tidak, mari kita menetapkan hipotesis 0 (H0) dan hipotesis alternatif. Prinsipnya, uji normalitas membandingkan data yang akan diuji dengan data distribusi normal. Hipotesis dalam uji ini ditampilkan dalam Tabel 3.

Hipotesis 0 (H0)

Tidak ada perbedaan antara data yang akan diuji dengan data distribusi normal.

Hipotesis Alternatif (Ha)

Ada perbedaan antara data yang akan diuji dengan data distribusi normal.

Tabel 3 Hipotesis dalam uji normalitas.

Dalam program SPSS, lakukan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov yang ada dalam menu analisis non parametrik. Hasil analisis yang dilakukan program analisis statistik ditampilkan dalam Tabel 4.

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

 

 

Waktu Tunggu

N

20

Normal Parametersa,,b

Mean

52.9500

Std. Deviation

21.08997

Most Extreme Differences

Absolute

.089

Positive

.089

Negative

-.067

Kolmogorov-Smirnov Z

.399

Asymp. Sig. (2-tailed)

.997

Tabel 4 Hasil uji normalitas.

Dalam tabel hasil uji normalitas tersebut, perhatikan nilai yang dicetak tebal (0,399). Karena nilai tersebut >0,05, maka hipotesis 0 (H0) diterima sehingga tidak ada beda antara data yang diuji dengan data terdistribusi normal. Dengan kata lain, data indikator tersebut adalah data terdistribusi normal sehingga analisis statistik dapat dilanjutkan dengan statistik parametrik.

Langkah kedua dalam analisis statistik adalah menguji beda rerata antara kedua kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan pertama (sebelum intervensi) dan kelompok perlakuan kedua (setelah intervensi) dianalisis bedanya dengan independent sample t-test. Mengapa tidak dianalisis dengan paired sample t-test? Walaupun analisis ini akan menguji beda sebelum dan setelah intervensi, tidak ada subjek penelitian yang diukur dua kali. Subjek untuk data sebelum intervensi berbeda dengan subjek untuk data setelah intervensi.

Sebelum melakukan uji beda, mari kita menetapkan hipotesis 0 (H0) dan hipotesis alternatif. Prinsipnya, uji normalitas membandingkan data yang akan diuji dengan data distribusi normal. Hipotesis dalam uji ini ditampilkan dalam Tabel 5. Pada uji beda, kita akan membandingkan nilai p dengan nilai suatu konstanta. Pada tingkat kepercayaan 95%, kita akan membandingkan nilai p dengan angka 0,05. Apabila nilai p>0,05 maka hipotesis nol (H0) diterima. Sebaliknya, apabila nilai p<0,05 maka hipotesis nol (H0) ditolak dan otomatis hipotesis alternatif (Ha) yang diterima.

Hipotesis 0 (H0)

Tidak ada perbedaan antara data sebelum intervensi dan setelah intervensi.  

Hipotesis Alternatif (Ha)

Ada perbedaan antara data sebelum intervensi dan setelah intervensi.  

Tabel 5 Hipotesis dalam uji beda.

Setelah menetapkan kedua hipotesis, kita dapat langsung melakukan uji beda dengan memerintahkan SPSS untuk melakukan uji independent sample t-test. Hasil uji beda tersebut akan nampak seperti pada Tabel 6.

art4jan

Tabel 6 Hasil uji independent sample t-test.

Perhatikan angka yang dicetak tebal (0,016). Nilai p tersebut <0,05 sehingga hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima. Hal tersebut berarti ada beda secara signifikan pada kedua kelompok. Dengan kata lain, data setelah intervensi berbeda secara signifikan dengan data sebelum intervensi.

Interpretasi

Proses analisis yang dijelaskan di atas merupakan salah satu contoh penerapan statistika dalam pengelolaan rumah sakit. Dalam hal ini, secara khusus adalah pengelolaan mutu pelayanan rumah sakit. Statistika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan, mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan mempresentasikan data. Walau demikian, karena pengelolaan rumah sakit bersandar pada sumber-sumber ilmiah tertentu, maka interpretasi atas apa yang telah diterapkan oleh statistika tidak boleh dilakukan secara sembarangan.

Ketika melakukan analisis terhadap data sebelum intervensi, tim mutu di rumah sakit dibiasakan untuk memakai metode tertentu seperti metode tulang ikan atau 5-why's. Diagram tulang ikan biasa mengungkap berbagai faktor kontributor terhadap suatu masalah. Dalam ilustrasi kasus di atas, dijelaskan ada dua faktor yang menyebabkan waktu tunggu persiapan rawat inap, yaitu panjangnya proses administrasi dan masalah pengantaran atau penjemputan pasien.

Ketika dua masalah tersebut dipecahkan secara konsisten, pengukuran pada bulan berikutnya menunjukkan penurunan waktu tunggu persiapan rawat inap yang yang signifikan secara statistik. Statistika menjelaskan sampai di sini. Apakah penurunan secara signifikan ini akibat intervensi yang dilakukan? Analisis statistik yang tadi dilakukan tidak sepenuhnya bisa menjelaskan. Secara akal sehat, penurunan tersebut sangat mungkin akibat intervensi yang kita lakukan. Mengapa demikian?

Dengan asumsi bahwa penelusuran penyebab lamanya waktu tunggu persiapan rawat inap dilakukan dengan teliti dan sah (benar), maka penyebab yang ditemukan (atau faktor kontributornya) pun juga sahih. Apabila faktor penyebab (atau kontributor) tersebut diatasi, maka secara logis waktu tunggu persiapan rawat inap akan berkurang. Inilah yang kemungkinan besar terjadi pada kasus ini. Dalam kerangka pengelolaan mutu di sistem mikro rumah sakit, interpretasi ini lebih sahih daripada klaim yang hanya berdasarkan naik atau turunnya grafik.

Interpretasi juga dapat dilakukan dengan mencari sumber bukti yang terpercaya mengenai suatu masalah. Misalnya penurunan kejadian infeksi daerah operasi setelah intervensi penggunaan desinfektan baru yang berbasis bukti (evidence-based). Apabila desinfektan yang disarankan suatu penelitian sahih diterapkan, maka penurunan angka infeksi daerah operasi yang mengikutinya merupakan dampak langsung dari penerapan tersebut.

Penutup

Analisis statistik seperti yang diuraikan dalam tulisan ini belum jamak diterapkan dalam pengelolaan mutu di rumah sakit. Bila akan diterapkan pun, seringkali diperoleh kekeliruan dalam pemilihan uji statistik sehingga hasilnya tidak sahih digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan oleh manajemen rumah sakit. Diharapkan setelah membaca tulisan ini, tim pengelola mutu di rumah sakit dapat secara rutin menerapkan statistika lebih dalam untuk menganalisis indikator mutu rumah sakit.

Penulis

Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis yaitu dr. Robertus Arian Datusanantyo, M.P.H. Penulis adalah dokter, pernah memimpin instalasi gawat darurat rumah sakit swasta di Yogyakarta. Saat ini penulis merupakan peserta pendidikan dokter spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

 

Penyakit kardiovaskular masih menjadi penyebab utama kematian secara global Penyakit ini masih menjadi hal yang menakutkan bagi banyak orang. Beberapa tantangan dalam mengatasi permasalahan kardiovaskular ini seperti permasalahan anggaran dan infrastruktur dalam perawatan serta terbatasnya tenaga profesional atau langkanya sumber daya yang tersedia dalam perawatan ikut menjadi penyababnya sulitnya menekan kematian akibat kardiovasuler sedangkan jumlahnya kematiannya tidak berubah secara signifikan di negara-negara berpenghasilan tinggi sejak tahun 1990, bahkan jumlah kematian telah meningkat sekitar 66% pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs).

Secara berlahan, kasus kardiovasuler pada ibu hamil juga sudah mulai merangkak naik, hal ini terlihat dari Riskesdas Tahun 2013 bahwa penyebab kematian ibu secara tidak langsung ditempati oleh penyakit tidak langsung yakni hipertensi sebesar 27,1%. Hal ini menuntut Negara berpengahasilan rendah dan menengah harus memperbaiki kualitas persalinan dan kualitas pelayanan Kardiovaskuler. Studi sistematik review yang disampaikan oleh Lee Edward dkk dalam meningkatkan kualitas pencegahan dan pengelolaan cardiovaskuler berbasis klinik di Negara LMICs dengan melakukan peninjauan naratif terhadap uji coba klinis komparatif yang dipublikasikan dan mengevaluasi keampuhannya atau efektivitas pengembangan pencegahan dan peningkatan kualitas cardiovaskuler berbasis klinik intervensi di LMICs.

Dari 847 artikel yang diidentifikasi dalam pencarian elektronik, 49 memenuhi kriteria inklusi penuh dan dipilih untuk ditinjau Penelitian terpilih dilakukan di 19 LMIC yang berbeda. Ada 10 studi tentang intervensi peningkatan kualitas tingkat sistem, 38 penelitian pasien/ penyedia intervensi, dan satu studi yang sesuai dengan kedua kriteria tersebut. Pada tingkat pasien / penyedia, terlepas dari Intervensi spesifik, diintensifkan, perawatan berbasis tim umumnya menyebabkan pengobatan yang lebih baik pada kepatuhan dan kontrol hipertensi.

Metode yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan penyakit Kardiovaskular dengan membuat matrix berikut:

Fhase akut Fhase kronis

Level

sistem kesehatan

Contoh sistem pada level akut:

 

  1. Strategi dari lokal hospital dalam mengurangi keterlambatan penanganan
  2. Meningkatkan keterampilan dalam penanagan pelayanan persalinan. Meningkatkan upah tambahan bagi pelayanan kesehatan.
  3. Meningkatkan akses untuk pelayanan revaskularisasi.
  4. Menignkatkan transportasi menuju pelayanan kesehatan
  5. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang jegala akut dan mengetahui akses pelayanan akut.
  6. Memformulasikan dan mendesiminasikan standar dan panduan praktek klinis

Contoh sistem pada level kronis:

 

  1. Memformulasikan dan mendesiminasikan standar dan panduan praktek klinis.
  2. Menignkatkan akses pelayanan kesehatan dan obat.
  3. Memberikan pelatihan pada provider pelayanan kesehatan.
  4. Dukungan pendanaan untuk peningkatan kualitas pelayanan.
  5. Peningkatan infrastruktur: fasilitas pelayanan kesehatan: elektronik dan komunikasi telepon.

Level

pasien –pemberi

pelayanan kesehatan

Contoh sistem pada level pasien akut:
  1. Melaksanakan panduan praktek klinis:  menggunakan clinical pathway
  2. Meningkatkan perencanaan pulang dari rumah sakit dan transisi untuk pelayanan kronis.

Contoh sistem pada level pasien kronis:

  1. Pendidikan pada pasien dan pemberi layanan kesehatan.
  2. Mengimplementasikan panduan praktek klinik
  3. Meningktakna monitoring pada faktor risiko
  4. Meningkatkan ketaatan dalam pengobatan.

 

Beberapa intervensi dari beberapa negara digunakan untuk menilai kualitas pelayanan CVD antara lain:

  1. Meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien melalui pil kombinasi
  2. Meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien melalui intervensi kesehatan bergerak. Dua belas studi menyelidiki peran kesehatan bergerak dalam pencegahan dan pengelolaan CHF, diabetes, hipertensi, dan penyakit arteri koroner di LMICs.
  3. Penerapan panduan dan pendidikan penyedia layanan yang mengarah pada hasil pasien yang lebih baik. Pendidikan dan pedoman praktek layanan kesehatan dapat berpotensi membakukan, memperbaiki, dan mempertahankan kualitas perawatan untuk kondisi vaskular dan kondisi lainnya di LMIC.
  4. Mendidik pasien untuk meningkatkan kesehatan. Kajian tersebut menemukan delapan penelitian untuk mengevaluasi pendidikan manajemen penyakit di antara pasien dengan hipertensi, diabetes, dan CHF.

Penting untuk ditekankan bahwa kesadaran, keterjangkauan, dan ketersediaan adalah hambatan umum yang dapat menunda penanganan kejadian akut pada penyakit kardiovaskular. Pendidikan masyarakat dan sistem infrastruktur, logistik, dan perencanaan sumber daya manusia yang dapat mengatasi hambatan perawatan tepat waktu dan tepat untuk CVD akut. Serta perlu juga melibatkan Integrasi sektor swasta untuk perusahaan ambulans, rumah sakit, dan penyedia layanan yang merupakan bagian penting untuk mencapai peningkatan kualitas perawatan CVD akut di LMICs, dimana sektor swasta menyediakan sebagian besar perawatan kesehatan dan berada dalam posisi secara efisien dapat mengisi kesenjangan dalam sistem perawatan kesehatan masyarakat

Mengadopsi panduan praktik klinis dari negara berpenghasilan tinggi ke LMICs merupakan kesempatan baik untuk menerapkan standar peningkatan kualitas dan benchmarking perbaikan praktik dan hasil yang signifikan. Keuntungan menggunakan panduan praktik klini dapat mendorong klinisi untuk menilai kembali kelayakan intervensi yang sudah diberikan; meningkatkan perencanaan multidisiplin dan pemecahan masalah; memelihara kepedulian semua anggota tim terhadap perkembangan pasien dan status kesehatan pasien setiap saat; menjamin bahwa intervensi dapat dilakukan tepat waktu dalam perencanaan pelayanan yang komplek; peningkatan mutu berkelanjutan; menyediakan instrumen untuk mengidentifikasi masalah sistem yang mengganggu pelayanan; instrumen pendidikan yang berharga; meningkatkan kewenangan pasien; meningkatkan komunikasi dan kepuasan staf. Studi yang diidentifikasi menunjukkan beberapa perbaikan ukuran proses klinis, untuk wilayah berpenghasilan tinggi, namun secara kualitas tidak secara konsisten memperbaiki semua hasil yang telah ditentukan sebelumnya serta Kepatuhan terhadap obat-obatan dapat menyelematkan kehidupan dan merubah gaya hidup.

Pada Tingkat penyedia layanan intensif, perawatan berbasis tim pada umumnya menyebabkan kepatuhan terhadap pengobatan yang lebih baik dan kontrol hipertensi. Pada tingkat sistem, penelitian memberikan bukti bahwa pengenalan cakupan asuransi kesehatan universal memperbaiki hipertensi dan pengendalian hasil. Yang dibutuhkan sekarang adalah lebih banyak bukti bahwa peningkatan kualitas dapat dipertahankan di jangka panjang

Secara umum 49 penelitian menunjukkan bukti bahwa program peningkatan kualitas memiliki potensi memperbaiki perawatan Kardiovaskular di LMIC, baik untuk mengobati kejadian akut atau dalam jangka panjang pencegahan dan penanganan penyakit pada level kronis.

Oleh: Andriani Yulianti, MPH.
Referensi: Lee ES, Vedanthan R, Jeemon P, Kamano JH, Kudesia P, Rajan V, et al. (2016) Quality Improvement for Cardiovascular Disease Care in Low- and Middle-Income Countries: A Systematic Review. PLoS ONE 11(6): e0157036. doi:10.1371/ journal.pone.0157036.

Pendahuluan

Dokter yang lulus pendidikan di millenium ketiga pasti pernah mendapatkan nasehat terkait penggunaan internet oleh pasien. Dalam nasehat tersebut, diungkapkan tantangan bahwa pasien yang semakin cerdas serta memiliki akses internet akan semakin kritis di depan dokter. Pencarian informasi kesehatan oleh pasien yang semakin mudah dilakukan menuntut dokter untuk selalu memperbarui pengetahuan dan mengembangkan komunikasi yang sehat untuk menjaga kualitas praktik tetap sesuai dengan standar tertinggi yang etis dan berorientasi pada kebutuhan pasien.

Salah satu contoh bagaimana peran media sosial dalam mengubah paradigma hidup sehat adalah gerakan antivaksin. Kampanye yang masif dari pada penggiat antivaksin di media sosial telah berhasil menggeser perilaku bahkan banyak kaum terpelajar untuk tidak memvaksin anak dan cucu mereka atas dasar berbagai pseudoscience dan sentimen yang bersifat fanatisme sempit. Di Nigeria, sebuat cuitan tentang konsumsi banyak air garam untuk memerangi ebola mengakibatkan dua kematian dan lebih dari 12 perawatan dilakukan di rumah sakit (Carter 2014). Melalui sebuah systematic review yang bersumber dari 22 penelitian, penulis mencoba menelaah bagaimana pasien menggunakan media sosial terkait hubungannya dengan para dokter (Smailhodzic et al. 2016).

Media Sosial

Media sosial dalam review ini dibatasi sebagai aplikasi berbasis internet yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user generated content. Melalui pembatasan ini, media sosial dapat berupa blog, komunitas, situs jejaring sosial, proyek kolaboratif, game virtual, dan dunia sosial virtual. Aplikasi-aplikasi ini memungkinkan para pengguna, dalam hal ini pasien, untuk bertukar informasi dengan alasan kesehatan atau kondisi kesehatan. Di Indonesia, terdapat beberapa aplikasi yang sangat sering dan intens digunakan secara luas untuk berbagi informasi kesehatan pasien pengguna sehat maupun pasien.

Saat ini, media sosial yang sering digunakan oleh orang Indonesia terutama adalah situs jejaring sosial seperti misalnya Twitter, Facebook, Path, Instagram, dan beberapa situs lain yang kurang populer. Orang Indonesia secara bebas saling bertukar informasi melalui media sosial ini, bahkan untuk berbagai kondisi kesehatan pribadi. Sepengetahuan penulis, belum banyak yang juga menggunakan situs jejaring sosial khusus untuk pasien seperti misalnya Diabetic Connect (www.diabeticconnect.com) atau Inspire (www.inspire.com). Situs jejaring sosial ini menyediakan informasi yang lebih mendalam dan penting bagi pasien. Diabetic Connect misalnya, menyediakan berbagai informasi mengenai diabetes sampai dengan pemilihan menu dan berbagai edukasi penanganan penderita. Di Inspire, pengguna dapat secara khusus berbagai dengan orang-orang yang menderita kondisi yang sama dan tidak umum.

Tujuan Penggunaan Media Sosial oleh Pasien

Penelitian ini mengungkapkan dua tujuan utama penggunaan media sosial oleh pasien, untuk mendapatkan dukungan sosial dan tujuan lain. Dukungan sosial adalah proses interaksi pada hubungan yang bertujuan meningkatkan coping, kepercayaan diri, rasa memiliki, dan kompetensi melalui pertukaran sumber daya psikososial secara aktual maupun dirasakan. Dukungan sosial yang dimaksud adalah dukungan emosional, kepercayaan diri, dukungan informasi, dan dukungan jejaring. Sedangkan tujuan penggunaan lainnya adalah ekspresi emosional dan perbandingan sosial.

Dukungan emosional memungkinkan para pasien untuk membagikan kesulitan-kesulitan emosional, berbagi emosi dengan pasien dengan kondisi yang mirip, dan meraih kenyamanan dari dukungan-dukungan emosional. Jelas bahwa tujuan penggunaan media sosial sebagai dukungan emosional ini adalah komunikasi untuk mencapai kebutuhan emosi atau afektif seseorang. Dukungan-dukungan ini pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan diri pasien.

Dukungan informasi memungkinkan para pasien untuk saling bertukar informasi mengenai kondisi yang diderita. Para pasien yang baru saja didiagnosis suatu kondisi tertentu dapat meminta informasi mengenai berbagai tipe terapi yang tersedia kepada mereka yang telah lebih dulu mengalami kondisi tersebut. Berbagai interaksi di sini dapat memungkinkan seorang pasien merasa diterima dalam satu bagian jejaring.

Komunitas daring memungkinkan pasien untuk terbuka dan mengurangi hambatan membagikan pengalaman secara langsung. Pasien, dengan demikian dapat menggunakan media sosial untuk ekspresi emosi secara bebas. Ada atau tidaknya tanggapan terhadap ekspresi tersebut bukanlah yang terpenting. Di sisi lain, salah satu tujuan lain penggunaan media sosial adalah membandingkan kondisi yang diderita dengan kondisi penderita yang lain.

Efek terhadap Pasien

Efek penggunaan media sosial terhadap para pasien secara umum dibagi menjadi dua, yaitu pemberdayaan pasien dan efek yang lain. Pemberdayaan pasien adalah penemuan dan pengembangan kapasitas inheren pasien untuk bertanggung jawab terhadap hidupnya sendiri. Hal ini akan meningkatkan kondisi secara subjektif, psikologis, dan perbaikan manajemen dan pengendalian diri.

Walau demikian, terdapat empat efek lain penggunaan media sosial oleh pasien. Keempat efek itu adalah berkurangnya kondisi secara subjektif, hilangnya privasi, menjadi target promosi, dan kecanduan media sosial. Menurunnya kondisi secara subjektif adalah akibat perasaan khawatir dan cemas. Kecanduan media sosial juga terjadi, dengan keluhan bahwa pasien yang menggunakan media sosial kerap mengakibatkan terbengkalainya urusan yang lain akibat terlalu sering menggunakan media sosial.

Efek terhadap Hubungan dengan Dokter

Terdapat empat macam efek penggunaan media sosial oleh pasien terhadap hubungan antara pasien dan dokter profesional. Keempatnya adalah komunikasi yang makin sejajar, berpindah dokter, hubungan yang lebih harmonis, dan interaksi yang suboptimal.

Dengan penggunaan media sosial, pasien merasa lebih percaya diri ketika berdiskusi dengan para dokter. Hal ini karena pasien merasa telah mendapatkan tambahan informasi mengenai kondisi dan berbagai pilihan pengobatannya. Pasien juga merasa bahwa media sosial memungkinkan mereka lebih siap ketika bertemu dengan dokter sehingga tahu mana pertanyaan yang harus diajukan dalam diskusi. Penggunaan media sosial dapat meningkatkan kesempatan belajar dan meningkatkan komunikasi kesehatan.

Penggantian dokter, dengan demikian juga dimungkinkan sebagai akibat penggunaan media sosial oleh pasien. Diskusi mengenai bagaimana dokter tertentu menangani kondisi tertentu secara langsung akan berpengaruh pada pilihan pasien.

Hubungan yang lebih harmonis antara pasien dan dokter dapat menjadi salah satu efek penggunaan media sosial oleh pasien. Hal tersebut dapat tercapai karena media sosial dapat mendukung pasien untuk mengikuti rekomendasi dokter dan menjadi tempat pasien meluapkan emosi. Namun demikian, ketika pasien membawa hasil informasi dari media sosial ke meja konsultasi dengan dokter, terdapat tambahan proses memilah informasi, mengubahnya menjadi risiko potensial kepada dokter, dan menantang ekspertise para dokter. Hal ini dapat menyebabkan reaksi negatif para dokter terhadap apa yang dipelajari pasien dari media sosial dan secara umum menurunkan kondisi pasien.

Kesimpulan

Penelitian systematic review ini membawa peneliti kepada tiga proposisi penting, yaitu penggunaan media sosial oleh pasien untuk dukungan jaringan meningkatkan kondisi psikologis, membaca pengalaman negatif orang lain menurunkan kondisi subjektif pasien, dan pemberdayaan pasien karena penggunaan media sosial menyebabkan adanya keseimbangan kekuatan antara dokter dan pasien sehingga meningkatkan kualitas pengambilan keputusan klinis. Ketiganya menjadi penting karena penggunaan media sosial oleh pasien semakin meningkat terutama untuk mendapatkan dukungan sosial.

Peneliti mengharapkan berbagai penelitian berdasarkan ketiga proposisi di atas untuk menyelidiki lebih lanjut mengenai penggunaan media sosial oleh pasien, terutama dalam hal perubahan hubungan dengan dokter. Para dokter perlu memahami fenomena ini agar tidak resisten ketika pasien yang berdiskusi mengajukan berbagai pertanyaan atau informasi yang didapatkannya dari media sosial.

Penulis

Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis: dr. Robertus Arian Datusanantyo, M.P.H.. Penulis adalah dokter peserta pendidikan dokter spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

Daftar Bacaan

Carter, M 2014, 'Medicine and the Media: How Twitter may have helped Nigeria contain Ebola', BMJ, vol 349, p. g6946.
Smailhodzic, E, Hooijsma, W, Boonstra, A & Langley, DJ 2016, 'Social media use in healthcare: A systematic review of effects on patients and on their relationship with healthcare professionals', BMC Health Services Research, vol 16, no. 442.

Di Belanda, resiko peningkatan pasien kardiovaskular berangsur berkurang sejak diterapkannya sistem pencegahan berbasis Nurse Coordinated Prevention Programmes (NCPPs). Kemajuan ini mendorong European Society of Cardiology (ESC) pada 2012, merekomendasikan agar NCPPs diintegrasikan ke dalam praktik klinis pada sistem perawatan kesehatan di negara-negara Eropa. Meskipun tentu saja harus diakui bahwa, sebagai salah satu bentuk pendekatan pencegahan tersistem, NCPPs bukanlah sebuah program sederhana yang dapat diduplikasi dengan mudah. Faktanya Untuk membuat NCPPs berjalan dengan baik diperlukan rangkaian persiapan matang yang meliputi penyiapan sumber daya manusia yang memadai dari segi kompetensi, keahlian dan wawasan penunjang tambahan. Oleh karenanya ESC menekankan pula perlunya riset guna mengetahui jenis kompetensi dan keahlian apa saja yang harus dimiliki serta tahapan pendidikan tambahan apa saja yang diperlukan untuk menjamin kesiapan kualitas sumber daya manusia agar NCPPs sebagai kegiatan pencegahan kardiovaskular tersistem dapat berjalan secara efektif.

Adapun gambaran umum NCPPs sendiri secara singkat merupakan serangkaian kegiatan prevensi resiko kardiovaskular yang terdiri dari konseling, motivasi, konsultasi, pemeriksaan fisik berkala, intervensi terhadap pola dan gaya hidup, wawancara tentang tingkat kepatuhan konsumsi obat sesuai resep dan jadwal, hingga rekomendasi rujuk jika diperlukan. Dalam implementasinya NCPPs dijalankan oleh perawat yang direkrut melalui proses seleksi tertentu serta diwajibkan menyelsaikan beberapa tahapan pelatihan dan kursus yang diselenggarakan oleh Departemen Psikologi Medis dan Academic Medical Center Universitas Amsterdam, Belanda.

Dalam NCPPs berbagai rangkaian kegiatan prevensi di lapangan dilakukan oleh perawat dengan merujuk pada panduan nasional dan pedoman tekhnis yang telah ditetapkan. Panduan nasional berfokus pada (1) gaya hidup sehat, (2) faktor resiko biometrik dan (3) kepatuhan konsumsi obat. Sementara pedoman teknis dirumuskan untuk memenuhi target tertentu seperti gaya hidup bebas rokok, pemilihan makanan sehat, olahraga teratur, pengendalian indeks massa tubuh 25Kg/m² atau kurang, kontrol diabetes, kontrol hipertensi dan dislipidaemia serta kepatuhan terhadap rangkaian proses pengobatan. Berikut contoh daftar singkat intervensi tekhnis yang dilakukan perawat pada program NCPPs;

art okt1

Adopsi dan Integrasi NCPPs dengan Program Perkeskom dan Promkes di Puskesmas

Data Riset Kesehatan Dasar 2013 oleh Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan jumlah pasien dengan gejala kardiovaskular berdasarkan diagnosa dokter mencapai angka 2.650.340 jiwa, dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Fakta ini tentu bisa saja mengindikasikan banyak hal, mulai dari rendahnya kualitas pola dan gaya hidup dari segi kesehatan hingga belum efektifnya program dan kegiatan pencegahan peningkatan resiko kardiovaskular oleh berbagai lembaga, intansi dan penyedia layanan kesehatan. Sebuah kondisi yang tentunya laik dikhawatirkan mengingat hingga saat ini kardiovaskular/penyakit jantung koroner termasuk dalam daftar penyumbang angka kematian tertinggi di dunia.


Sejauh ini berbagai kalangan sepakat bahwa cara paling efektif dalam mencegah dan meminimalisir resiko kematian akibat kardiovaskular adalah melalui pola dan gaya hidup sehat. Namun sayangnya kesadaran dan pemahaman sebagaian besar masyarakat terutama kalangan menengah kebawah, masih sangat terbatas terkait pola dan gaya hidup sehat. Pada akhirnya pilihan paling rasional dalam menyikapi situasi semacam ini adalah dengan memaksimalkan kegiatan pencegahan melalui berbagai kegiatan promosi dan edukasi kesehatan secara langsung dan berkesinambungan kepada masyarakat.

Di Indonesia berbagai program yang terfokus dan berorientasi pada promosi dan edukasi kesehatan telah ada dan telah terselenggara cukup lama, hanya saja belum kunjung menunjukkan hasil yang signifikan terutama dalam kaitannya dengan upaya menekan angka penderita kardiovaskular. Di tingkat fasilitas kesehatan primer Sumber: Diolah berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar2013, Badan Litbangkes Kementerian (PUSKESMAS) misalnya, kita dapat menjumpai banyak program yang berkutat pada promosi kesehatan lingkungan, keluarga dan komunitas, dua diantaranya yakni Program Perawat Kesehatan Komunitas (PERKESKOM) dan Program Promosi Kesehatan (PROMKES) akan di bahas secara singkat dalam ulasan ini.

Dua program tersebut yakni PERKESKOM dan PROMKES sebenarnya memiliki potensi untuk dapat dimaksimalkan dan diandalkan dalam menekan angka resiko peningkatan kardiovaskular. Dikatakan demikian karena dua program tersebut memiliki beberapa syarat utama yang membuatnya mungkin menjadi instrument prevensi (pencegahan) yang efektif. Misalnya bahwa dua program tersebut memuat sejumlah aktivitas kongkrit seputar promosi dan edukasi kesehatan disamping memiliki intensitas pertemuan yang tinggi secara langsung dengan masyarakat, merupakan dua modal utama yang sangat mungkin dimaksimalkan.

Sementara beberapa faktor yang membuat dua program tersebut (PERKESKOM dan PROMKES) atau program lain yang sejenis belum mampu menunjukkan signifikansi pengaruhnya pada penurunan angka radiovaskular adalah karena tugas dan fungsinya yang terlampau umum dan luas. Dengan kata lain, tidak seperti program NCPPs di belanda yang memang sejak awal di desain untuk tujuan dan tugas yang sangat spesifik dibidang pencegahan dan penanganan kardiovaskular.

Kembali pada upaya memaksimalkan program PERKESKOM dan PROMKES, penulis melihat terdapat peluang dua program tersebut dapat mengadopsi dan mengintegrasikan pola dan strategi yang diterapkan di NCPPs. Meskipun adopsi/duplikasi ini bukanlah susatu yang sederhana dan mudah mengingat terbatasnya sumber daya medis yang kita memiliki, namun bukan berarti proses adopsi dan integrasi konsep program tersebut tidak mungkin dilakukan. Kita bisa misalnya memulai dengan proses adopsi dan integrasi bertahap. Sebagai contoh, PERKESKOM dan PROMKES yang sebelumnya memiliki tugas dan sasaran yang bersifat sangat umum dalam keseluruhan aktivitas dan kerjanya, perlahan dapat diarahkan untuk menyediakan sebagian ruang dan waktu khusus dalam rangkaian aktivitasnya guna menempatkan kegiatan promosi dan edukasi yang berkaitan dengan prevensi kardiovaskular sebagai salah satu agenda prioritas.

Selanjutnya proses adopsi dan integrasi NCPPs ke dalam PERKESKOM dan PROMKES tentu membutuhkan proses pra-kondisi yang cukup. Misalnya dengan mempersiapkan tenaga petugas lapangan melalui proses literasi dan studi banding terhadap NCPPs serta berbagai bentuk persiapan dan adaptasi lain yang diperlukan. Dengan demikian ke depan PREKESKOM dan PROMKES bukan tidak mungkin dapat diandalkan serta memberikan kontribusi signifikan dalam kaitannya dengan prevensi atau pencegahan kardiovaskular.

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri, S.Kep., MPH.