(Catatan kecil: refleksi tentang kualitas hidup pasien demensia di tengah pandemi)
Penulis:
Sabar P Siregar (Psikiater Dokdiknis (NIDK)
RSJ Prof dr Soeroyo, Magelang)
Seorang wanita 60 tahun dibawa oleh keluarganya ke poliklinik psikiatri. Dari informasi yang disampaikan bahwa belakangan menunjukkan perubahan perilaku. Awalnya tampak jadi pendiam dibanding biasanya, jarang senyum, jarang mengungkapkan apa yang dirasakan dan jarang memberi respon terhadap ungkapan perasaan orang lain terhadap dirinya. Masih dapat beraktivitas sehari-hari tetapi beberapa hal kegiatan harus diingatkan. Puncak perubahan perilaku itu terjadi saat klien suatu waktu mau memasak nasi.
Kegiatan ini sudah dilakukan bertahun-tahun. Seperti biasa sebelum memasak nasi, beras dicuci dulu dengan wadah berbahan plastik. Setelah itu baru ditempatkan ke tempat memasak nasi lalu ditaruh diatas kompor dan kompor dinyalakan. Tapi yang terjadi adalah wadah pencuci beras berbahan plastik yang biasa digunakan untuk mencuci beras, langsung ditaruh diatas kompor dan kompornya dinyalakan. Gejala lain yang bertambah berat adalah semakin lama penderita semakin pelupa terhadap banyak hal dan tambah banyak diam. Rawat diri, misal: makan dan mandi, harus dibantu.
***
Belakangan ini banyak aspek kehidupan di hubungkan dengan situasi pandemi yang sedang terjadi hampir di seluruh dunia. Tulisan ini mencoba membuat sedikit catatan untuk refleksi dampak pandemi terhadap klien demensia.
Literatur tentang demensia dapat banyak ditemukan dari berbagai sumber. Masih banyak hal yang belum diketahui tentang demensia. Walaupun demikian, sudah ada beberapa pemahaman yang telah diterima secara luas. Dari beberapa literatur disampaikan bahwa demensia adalah suatu terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan adanya berbagai gangguan kognitif (sindrom), terutama gangguan memori, yang disebabkan karena “sakit” otak.
Jadi demensia bukanlah suatu penyakit. Akan tetapi terjadinya demensia disebabkan berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit Alzheimer, yang bulan ini diperingati. Demensia Alzheimer adalah demensia yang disebabkan penyakit Alzheimer. Jenis demensia ini yang paling banyak terjadi dibandingkan jenis demensia lainnya. Selanjutnya pada tulisan ini, demensia yang dimaksud adalah demensia Alzheimer.
Dampak dari demensia sangat luas. Dapat berdampak langsung kepada klien demensianya sendiri maupun kepada sekitarnya, terutama bagi keluarganya. Dampak yang luas ini dilandasi seberapa luas jaringan otak yang “sakit” dimana hal ini akan menentukan tingkat gangguan kognitifnya. Definisi tentang kognitif yang dikemukakan dari berbagai literatur juga beragam. Pada tulisan ini yang dimaksud kognitif adalah kemampuan untuk berpikir dan mengetahui, menggunakan intelektual, logika, pertimbangan, memori dan semua fungsi tertinggi dari kortikal.
Kognitif yang utuh memungkinkan seseorang mampu menghargai dunia luar maupun dunia di dalam dirinya sendiri, juga memampukan seseorang berinteraksi dengan orang lain dan bernegosiasi dalam kehidupannya sehari-hari. Selanjutnya, komunikasi dan pemahaman yang tepat dari seseorang, tidak hanya tergantung pada kemampuan bahasa dan berbicara serta tidak adanya gangguan pada pikiran tetapi tergantung juga pada keadaan fungsi otak lainnya yaitu kognitif dan intelektual yang dimiliki. Fungsi kognitif adalah satu hal penting dalam kehidupan setiap orang.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa pada demensia ditemukan beberapa gangguan kognitif. Dengan pemahaman fungsi kognitif seperti di atas dan pada klien demensia ditemukan beberapa gangguan kognitif maka dapat dipahami kenapa klien-klien demensia mengalami hambatan pada hampir setiap aspek kehidupan pribadinya. Aspek yang paling terdampak adalah menurunnya kemampuan untuk mandiri.
Kemampuan untuk hidup mandiri pada level demensia tertentu, sangat menurun. Tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri bahkan untuk kebutuhan hidup yang paling dasar. Sehingga klien demensia sangat tergatung pada lingkungannya. Penurunan kemandirian ini juga terkait dengan menurunnya kemampuan memilih apa yang tepat untuk dirinya sendiri, termasuk keputusan-keputusan moral, kehilangan kesempatan menikmati aktivitas sehari-hari yang sebelumnya menyenangkan bagi dirinya dan terganggunya hubungan pribadi.
Pada klien demensia juga dapat terjadi beberapa masalah gejala-gejala psikopatologi seperti apatis, agitasi, depresi dan psikosis. Adanya gejala-gejala psikiatri ini tentu akan membuat keadaan akan lebih rumit karena gejala-gejala itu dapat berupa bagian gejala dari demensianya sendiri, juga dapat berupa kondisi klinis yang berdiri sendiri atau gejala itu merupakan cara klien demensia mengekspresikan apa yang dirasakan di dalam dirinya atau cara respon klien terhadap lingkungannya.
Jadi ekspresi adanya gejala-gejala psikopatologi pada klien demensia tidak selalu menunjukkan adanya gangguan-gangguan psikiatri. Untuk itu sangat diperlukan evaluasi yang komprehensif dan cermat dalam menganalisa gejala-gejala psikopatologi pada klien demensia. Karena pastinya hal ini akan terkait dengan penanganan lebih lanjut.
Level terakhir demensia adalah level dimana fungsi kognitif sudah terganggu total. Kontrol motorik hilang. Kontrol motorik yang hilang ini semakin berat karena biasanya klien demensia sudah lanjut usia (lansia). Seorang lansia pada umumnya sudah mengalami penurunan kontrol motorik. Sehingga ketika digabungkan, keadaan demensia dan lanjutnya usia maka dapat diprediksi hilangnya kontrol motorik bertambah berat.
Hal lain yang paling bermakna pada demensia level akhir adalah gangguan komunikasi. Gangguan komunikasi yang berat akan membuat seorang klien demensia tidak mampu menyampaikan: apa yang mereka pikirkan, rasakan, termasuk apa yang mereka inginkan, maupun butuhkan dan menyampaikan gejala-gejala medis yang mereka alami. Walaupun belakangan alat-alat medis sudah semakin maju dan itu adalah hal yang harus disyukuri, akan tetapi komunikasi antara terapis dan klien pada pelayanan medis adalah hal prinsip yang tidak dapat diganti alat-alat modern.
Hambatan komunikasi tentu akan mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan yang sebagian besar membutuhkan komunikasi dua arah antara terapis dan klien. Jika ada bias dalam komunikasi antara terapis dan kliennya dapat mengakibatkan tidak akuratnya diagnosis yang tentunya diikuti kurang maksimalnya hasil terapi.
Di tengah pandemi covid-19 yang tidak ada seorangpun dapat memprediksi kapan berakhirnya, klien demensia adalah salah satu kelompok yang memiliki resiko ganda. Kenapa resiko ganda? Seperti disampaikan melalui media-media bahwa kelompok lansia adalah kelompok paling rentan terinfeksi covid-19. Dari sisi usia klien demensia rata-rata sudah lansia, dengan demikian secara alami sudah memilki satu faktor resiko. Faktor resiko lainnya adalah klien demensia sangat tergantung kepada orang lain. Kontak klien demensia dengan yang merawat mereka adalah salah satu jalur kemungkinan terinfeksinya klien demensia.
Jadi sudah ada dua faktor resiko yaitu usia dan ketergantungannya dirawat orang lain. Hal lain adalah jika klien demensia positip terinfeksi covid-19, tentu ada gangguan komunikasi, maka klien demensia tidak mampu menyampaikan apa yang mereka alami karena lupa. Untuk pemeriksaan dan terapi yang membutuhkan prosedur-prosedur tertentu untuk kepentingan perawatan medis, tentu juga sulit dilakukan. Hambatan disebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengingat tahapan-tahapan prosedur yang diinstruksikan, padahal prosedur-prosedur sangat dibutuhkan untuk mencapai hasil terbaik.
Evaluasi progres penanganan pasien juga membutuhkan komunikasi. Terutama jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan efek dari terapi. Sebagian efek terapi memang dapat diobservasi tetapi ada efek terapi yang hanya dapat dilaporkan klien. Pada klien demensia sering lupa instruksi-instruksi yang diberikan sehingga tidak dapat melaporkan apa efek obat yang dialami dan sangat mungkin muncul efek yang tidak diharapkan. Klien demensia juga dapat salah melaporkan efek obat yang dialami. Karena klien demensia sulit mengingat kejadian-kejadian baru yang dialami maka yang dilaporkan adalah pengalaman efek obat lain yang sebelumnya pernah dipakai.
Permasalahan gangguan kognitif pada demensia ini sering juga memunculkan masalah dalam keluarga atau dengan pihak yang merawatnya. Masalah sering dimulai dari keseharian klien demensia. Sering mengatakan belum diberi makan, padahal sudah. Hal sebaliknya dapat terjadi, menolak makan karena merasa sudah makan, padahal belum. Menolak minum obat karena merasa sudah minum obat atau sebaliknya.
Mandi berkali-kali karena lupa sudah mandi atau belum, tetapi dapat juga sebaliknya. Mengatakan ke orang-orang bahwa barang berharga miliknya hilang diambil orang, padahal karena lupa tempat menyimpannya. Pergi dari rumah dan lupa jalan pulang. Menetap disatu tempat di luar rumah dan ketika diajak pulang tidak mau, karena meyakini tempat itulah rumahnya. Kadang bangun malam lalu menghidupkan kompor untuk merebus air lalu pergi tidur lagi dan lupa sedang menghidupkan kompor merebus air. Merasa ketakutan karena meyakini ada orang lain di dalam rumah, padahal tidak ada.
Saat bicara, kadang-kadang tiba-tiba diam karena lupa mau menyampaikan apa. Menyampaikan bahwa dirinya bertemu dengan kerabat atau orang yang sudah lama meninggal dunia. Menggabungkan suatu peristiwa di masa lalu dengan situasi saat ini, padahal sesungguhnya hal itu adalah keadaan yang tidak ada hubungan sama sekali. Semakin parah ketika klien demensia lupa bagaimana seharusnya ke kamar kecil. Kejadian-kejadian tersebut, dan masih banyak kejadian lain, sering membuat ketegangan antara klien demensia dengan orang / anggota keluarga yang merawatnya.
Ketegangan semakin memuncak karena ketika kepada klien demensia disampaikan semua fakta-fakta tentang apa yang sudah dilakukan, klien demensia sering membantahnya bahkan sampai marah membantahnya. Karena bantahan dari klien, keluarga juga mungkin menjadi jengkel karena menganggap klien demensia melawan atau berbohong, padahal sesungguhnya klien demensia membantah karena mereka sendiri lupa apa yang sudah dilakukan. Karenanya klien demensia sangat berpotensi mengalami kecelakaan karena tidak memahami resiko dari apa yang dilakukannya.
Orang atau keluarga yang merawat klien demensia juga punya kebutuhan dasar yang harus dipenuhi tapi di sisi lain harus merawat klien demensia yang sulit dipahami. Walaupun demikian, kebanyakan dari keluarga yang merawat tetap lebih mendahulukan terpenuhinya kebutuhan klien demensia karena mereka menyadari bahwa klien demensia lebih memerlukan bantuan dibandingkan dengan diri mereka sendiri yang masih mampu mengurus diri sendiri.
Sementara di sisi lain, klien demensia tidak mengerti seberapa besarnya pengorbanan pihak yang merawatnya. Hal ini tentu dapat menimbulkan rasa lelah yang berat bagi yang merawat klien demensia. Sangat perlu dukungan bagi siapapun yang merawat klien demensia karena selain menghadapi gangguan kognitif yang sulit dipahami, perawatan demensia juga sering berlangsung lama dan harapan pulih sangat kecil. Keadaan ini sangat menguras energi psikis dan fisik.
Pada masa pandemi ini terjadi distraksi perekonomian, maka sangat mungkin pencari nafkah utama dalam keluarga yang salah satu anggota keluarganya adalah klien demensia, kehilangan pekerjaannya atau pendapatan usaha sangat menurun maka keadaan ini akan berdampak terhadap perawatan klien demensia selanjutnya baik secara psikis dan fisik.
Penulis pernah mendapatkan informasi seorang ibu yang memiliki beberapa anak dan anak-anaknya sudah pada menikah. Ibu ini tinggal dirumahnya sendiri ditemani anak perempuannya yang bungsu dan sudah menikah. Di saat usia bertambah lanjut ibu ini mengalami demensia. Lama kelamaan anak perempuan yang tinggal bersama ibu ini menyampaikan ke saudara-saudaranya yang lain sudah tidak kuat merawat ibu mereka dengan berbagai alasan dan salah satu alasannya karena memiliki anak-anak yang masih kecil. Anak-anak ibu ini, yang dilahirkan dari rahimnya, yang dirawat mulai janin sampai dewasa, saling melempar tanggung jawab.
Tetapi keputusan harus dibuat dan diputuskan anak pertama laki-laki dalam keluarga yang harus merawat. Keputusan tersebut diambil karena anak laki-laki tersebut secara ekonomi paling mapan dibanding saudara-saudara lainnya, rumahnya cukup besar dan juga tanggung jawab sebagai anak pertama. Seiring berjalannya waktu kondisi ibu ini bertambah sulit. Buang hajat sembarangan dan selalu mondar mandir. Tidak dapat dikendalikan. Sudah mendatangkan pengasuh lansia tapi semuanya minta berhenti karena tidak kuat. Akhirnya istri anak pertama marah dan mengatakan: “Itu bukan ibu saya, kenapa harus saya yang mengurus?”. Puncaknya, istri anak pertama itu minta supaya ibu mertuanya itu diurus anak-anaknya yang perempuan, kalau tidak, sang istri mau pergi.
Sebagai catatan, sang menantu (istri anak pertama) tidak berkarir di luar rumah. Reaksi pembaca mesti beragam kalau membaca kisah ini. Ini hanya sebagian konflik kecil yang dapat menggambarkan betapa sulit dan kompleksnya dampak merawat klien dengan demensia dan semoga sang menantu serta anak-anak yang lain tidak menjadi demensia di kemudian hari.
Studi kasus diawal tulisan ini menunjukkan gejala klinis dengan gangguan kognitif yang berat. Pasien tidak dapat lagi mencapai tujuannya (memasak nasi) dengan cara yang semestinya, padahal selama ini kegiatan itu sudah berulang-ulang dilakukan. Gejala diawali dengan gejala-gejala apatis. Gangguan memori terjadi belakangan. Jadi pada kasus-kasus demensia kadang diawali dengan gejala-gejala afektif bukan gangguan memori. Keluarga sangat memperhatikan keadaan klien dan mengantarkannya kontrol teratur. Tempat tinggal klien dekat dengan tempat tinggal anggota keluarga yang lain sehingga anggota keluarga dapat bergantian merawat klien. Kebersamaan keluarga klien memperhatikan klien ini adalah nilai positip untuk terjaminnya keberlanjutan perawatannya.
Sebagai catatan, penulis pernah menemukan kasus lain, seorang wanita lansia dengan demensia, diantar suaminya yang juga sudah lansia datang ke poliklinik. Klien ini sudah pada level demensia akhir, jadi harus total care. Memiliki seorang anak perempuan yang sudah nikah, tinggal di luar negeri dan tidak pernah lagi pulang ke Indonesia bahkan komunikasipun sangat jarang. Keluarga lansia ini hanya tinggal berdua di rumah. Semua kegiatan di rumah, termasuk merawat klien demensia ini, dilakukan sendiri oleh sang suami. Kadang ada asisten rumah tangga datang membantu. Saudara-saudara tinggal jauh dan tentunya saudara-saudaranya juga punya kehidupan masing-masing yang harus diurus jadi tidak mungkin diharapkan membantu secara terus menerus. Setelah beberapa kali pertemuan di poliklinik, suami klien bertanya pada penulis: “dokter, kalau saya “duluan”, istri saya ini bagaimana ya dok?”.
Di Undang-undang sudah diatur bagaimana tanggung jawab negara terhadap warganya termasuk lansia dan juga berarti lansia dengan demensia. Negara bukanlah hanya pemerintah tapi semua elemen yang ada dalam suatu negara. Seharusnya jika melihat undang-undang yang ada, maka keresahan sang suami yang disampaikan ke dokter, tidak perlu terjadi. Namun kesulitan suatu kebijakan adalah justru pada tataran pelaksanaan. Beberapa literatur melaporkan bahwa perhatian negara, terutama negara-negara berkembang, sangat terbatas pada kelompok demensia. Karena bagi negara-negara berkembang masih banyak kebutuhan lain yang lebih mendesak dan menyangkut kebutuhan khalayak lebih banyak.
Demensia memang dilematis. Bagaimanapun keberadaan seseorang, termasuk jika mengalami demensia, mereka tetap sebagai warga negara suatu negara. Negara harus merawatnya. Di sisi lain, seberapapun besar investasi yang diberikan untuk merawat dan penelitian untuk penanganan demensia, saat ini progresnya memang masih sangat terbatas. Sejarah mencatat beberapa pesohor dunia, dimasa tuanya mengalami demensia dan salah satunya adalah mantan presiden negara adidaya. Artinya siapapun dapat menjadi seseorang dengan demensia. Para pesohor dunia itu pun tidak mengerti sebelumnya bahwa mereka nantinya akan mengalami demensia. Seandainya mereka mengerti akan mengalami demensia, tentu para pesohor tersebut, saat lagi berkuasa, akan membuat kebijakan-kebijakan yang memprioritaskan penanganan demensia.
Alangkah indahnya jika para pesohor dunia dimanapun saat ini, selagi berkuasa, memberi perhatian yang berkualitas dan berkelanjutan terkait kebijakan bagi klien-klien demensia. Bukan tidak mungkin kebijakan yang dibuat saat ini, secara tidak sengaja dipersiapkan untuk para pembuat kebijakan itu sendiri, siapa tau dimasa mendatang akan mengalami demensia. Walaupun jika nantinya benar mengalami demensia, akan lupa bahwa dirinyalah dahulu yang mempersiapkan kebijakan-kebijakan terhadap klien-klien demensia.
Diakhir tulisan ini penulis mengajak semua pihak, sejenak merenung, tentang klien demensia dengan segala dinamikanya dan hidup sebatang kara, siapakah yang akan merawatnya? Marilah kita semua, mengingat sesama kita yang sudah tidak mampu mengingat kita.
Daftar Pustaka:
- Edited by: Budson A E, Kowall N W. The handbook of alzheimer’s disease ant other dementias. Wiley-Blackwell. 2011.
- Budson A E, Solomon P R. Memory Loss, alzheimer’s disease and dementia. 2nd edition. Elsevier. 2016.
- Hay D P, Klein D T, Hay L K, Groosberg G T, Kennedy J S. Agitation in patient with dementia. American Psychiatric Publishing, Inc. 2003.
- Weiner M F & Lipton A M. Textbook of alzheimer disease and other dementias. American Psychiatric Publishing, Inc. 2009.
- Edited by: Weiner M F & Lipton A M. Clinical manual of alzheimer disease and other dementias. American Psychiatric Publishing, Inc. 2012.