Kemenkes kembangkan robotik bedah jarak jauh di RSHS Bandung
Kementerian Kesehatan RI mengembangkan Pusat Bedah Robotik Indonesia di RSUP Dr Hasan Sadikin (RSHS) Bandung dan RSUP Dr Sardjito Yogyakarta untuk memfasilitasi pengembangan layanan bedah jarak jauh.
"Proyek robotik merupakan proyek multi tahun yang bertujuan meningkatkan akses layanan dan mutu layanan kesehatan untuk daerah yang tidak terjangkau di Indonesia. Strateginya adalah menggunakan Robotic Telesurgery sebagai bagian dari program telemedisin," kata Staf Khusus Menkes Bidang Ketahanan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan Prof Laksono Trisnantoro melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Ahad pagi.
Ia mengatakan fasilitas itu berawal dari inisiasi business matching pada Health Business Forum, dibuat suatu desain proyek multi tahun dan multi pemangku kepentingan Robotic Telesurgery 2021-2024.
Proyek tersebut tidak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga mempunyai nilai edukasi. "Dengan diberikannya akses transfer pengetahuan dan alih teknologi, industri dalam negeri juga mampu memproduksi alat dan sparepart-nya di dalam negeri dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang mencukupi," katanya.
Laksono mengatakan program robotic telesurgery hingga saat ini dalam tahap pelatihan para dokter bedah dengan Virtual Reality (VR) Simulator Robotic Telesurgery.
"Kurikulum pelatihan bedah robotik akan tersertifikasi dan terakreditasi, sehingga ke depan keahlian bedah robotik direkomendasikan masuk ke dalam kurikulum pendidikan spesialis dokter bedah di Indonesia," kata Laksono.
Program tersebut mendukung transformasi layanan sekunder berbasis teknologi kesehatan melalui layanan operasi atau bedah jarak jauh. Ke depannya, teknologi tersebut dapat menurunkan pasien rujukan ke RS tipe A atau RS Rujukan Nasional dengan pelayanan bedah jarak jauh. Dokter Ahli Bedah Robotik di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Reno Rudiman mengatakan program robotic telesurgery di RS Hasan Sadikin berjalan sejak 2020.
Robotic Sina misalnya, robot bedah yang ada di RS Hasan Sadikin itu melakukan pembedahan menggunakan instrumen moduler dari masing-masing menara, sehingga pergerakannya lebih fleksibel.
"Instrumen yang digunakan Sina memiliki ukuran 5 mm, sehingga luka yang diakibatkan operasi bisa lebih minimally invassive lagi,” ujar Reno.
Dari skema pembiayaan, kata Reno, dinilai lebih ekonomis untuk usulan pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Apalagi, program ini akan alih teknologi, dimana instrumennya nanti bisa diproduksi oleh industri dalam negeri,” katanya.
Proyek robotic telesurgery merupakan contoh konkret dari transformasi sistem kesehatan yang diinisiasi oleh Kemenkes RI, yang terdiri atas gabungan empat pilar, yakni Transformasi Layanan Rujukan, Pembiayaan Kesehatan, Ketahanan Industri Alkes, dan SDM Kesehatan.
Reno menambahkan rekomendasi kebijakan untuk mengimplementasikan program robotic telesurgery di Indonesia membutuhkan komitmen besar dari semua pemangku kepentingan, utamanya Kementerian Kesehatan, rumah sakit, universitas dan industri alat kesehatan BUMN.
Antre tindakan bedah
Sementara itu sebanyak 1.914 pasien di Jawa Barat antre menunggu giliran mendapat tindakan bedah di RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, kata Direktur RSHS Dr Ayi Ambar Sari di Bandung, Selasa. "Hingga 7 Januari 2015, terdapat 1.914 pasien antre menunggu giliran tindakan bedah dan inap bedah. Mereka menjadi prioritas kami, ya terpaksa harus menunggu giliran karena itu memerlukan penanganan intensif dan ruangan perawatan kami yang terbatas," kata Ayi Ambar Sari.
Menurut dia, para pasien bedah itu berasal dari wilayah Kota Bandung maupun rujukan dari rumah sakit - rumah sakit di daerah di Jawa Barat. Sebagian besar kondisi mereka sudah cukup berat sehingga harus mendapatkan tindakan bedah di rumah sakit umum pusat di Jabar itu.
Sebagian besar pasien itu merupakan anggota jaminan kesehatan, baik itu peserta mandiri maupun penerima bantuan insentif (PBI) dari pemerintah.
Lebih lanjut, Dirut RS Hasan Sadikin, menyebutkan tingkat kunjungan pasien ke RS itu mencapai 27.400-an per bulan, karena sekitar 17.000-an merupakan pasien rawat inap.
"Sebagian besar pasien adalah penderita penyakit keganasan, seperti kangker, kemudian hipertensi, jantung dan diare. Sisanya penyakit lainnya," katanya.
Sekitar 80 persen adalah pasien yang melakukan kunjungan adalah pasien jaminan kesehatan nasional (JKN). Setelah pemberlakuan pelayanan fasilitas kesehatan tingkat primer, menurut dia idealnya kunjungan pasien ke rumah sakit rujukan menurun, namun kenyataanya pada 2014 masih tetap tinggi.
"Idealnya setelah adanya optimalisasi fasilitas kesehatan tingkat primer jumlah pasien ke rumah sakit rujukan menurun, tapi tahun 2014 masih tinggi," katanya.
RSHS merupakan rumah sakit umum pusat terbesar di Jabar dan menjadi rumah sakit rujukan di provinsi itu. Berdiri di atas lahan sembilan hektare, rumah sakit yang didirikan pada zaman kolonial itu kini memiliki 994 tempat tidur pasien dan 35 unit di antaranya di ruangan intensif atau ICU.
"Jumlah tempat pelayanan di ICU masih kurang, idealnya kami memiliki 10 persen dari total kapasitas daya tampung pasien atau minimal 99 unit, namun saat ini baru terpenuhi 4,3 persennya saja," kata Dirut RSHS itu menambahkan.